BERIMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
A.
Pengertian Qadha Qadar
Keyakinan pada
Qadha Qadar yang menjadi rukun iman keenam ini berasal dari Sunah Nabi yang
kini dihimpun dalam kitab-kitab Hadis, merupakan bagian integral iman atau
keyakinan Islam.[1]
Menurut bahasa “qadha berasal dari kata Qadha-Yaqdii yang berarti memutuskan
sutu perkara dengan ucapan atau perbuatan. Secara istilah Qadha berarti
ketetapan, ketentuan atau keputusan Allah SWT tentang suatu perkara sejak zaman
azali (sebelum adanya alam ini) yang belum diketahui dan belum diterima oleh
makhluk-Nya. Sedangkan menurut bahasa kata “Qadar” berasal dari lafaz
Qadara-Yaqdiru yang berarti kuasa mengerjakan sesuatu. Secara istilah Qadar
berarti pembatasan Allah SWT tentang sesuatu, dengan kata lain Qadar berarti
ukuran atau aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk perkara tersebut atau
bisa juga berarti ketentuan atau ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT
atas makhluk-Nya dan telah diterima serta telah berlaku bagi makhluk-Nya.[2]
Khusus
mengenai perkataan qada (kada) dan qadar (kadar) yang disebut dalam al-Qur’an
antara lain dalam surat al-Ahzab (33): 36, dan surat al-Qamar (54): 49, perlu
diberikan catatan berikut. Di dalam sejarah Islam, perkataan kada dan kadar
yang disebut juga takdir dalam pembicaraan sehari-hari, pernah menimbulkan
salah paham terhadap Islam. Sebabnya, karena perkataan takdir diartikan sebagai
sikap yang pasrah kepada nasib tanpa usaha atau ikhtiar. Untuk menghindari
kesalah pengertian itu, perlu dipahami benar makna yang dikandung oleh kedua
perkataan tersebut. Yang dimaksud dengan kada
adalah ketentuan mengenai sesuatu atau ketetapan tentang sesuatu, sedang
kadar adalah ukuran sesuatu menurut hukum tertentu.
Dapat pula dikatakan bahwa kada adalah ketentuan atau ketetapan, sedang kadar
adalah ukuran. Dengan demikian yang
dimaksud dengan kada dan kadar atau takdir adalah ketentuan atau ketetapan (Allah)
menurut ukuran atau norma tertentu.[3]
Dalam meyakini
Rukun Iman yang keenam ini ada beberapa hal yang perlu dijelaskan. Diantaranya
yang terpenting adalah hubungan takdir dengan kehendak bebas atau free will
manusia tersebut diatas. Untuk itu perlu dikemukakan pertanyaan berikut: dalam
meyakini takdir Ilahi apakah manusia masih mempunyai kehendak bebas dalam
mengatur perbuatannya? Dalam menjawab pertanyaan ini ada dua teori yang
berbeda. Perbedaan itu disebabkan karena perbedaan pendapat mengenai kekuasaan
Tuhan yang mutlak dan keadilan Tuhan mengenai perbutan manusia.[4]
Yang
menganggap kekuasaan Tuhan itu mutlak berpendapat bahwa Allah dapat berbuat apa
saja, baik yang kelihatan adil maupun yang kelihatan tidak adil oleh manusia
(teori pertama). Menurut pandangan ini, manusia adalah alat Tuhan yang tidak
mempunyai kebebasan dalam mengatur nasibnya. Teori ini, yang terkenal sebagai
fatalisme (ajaran atau paham bahwa manusia dikusai oleh nasib), telah
menyebabkan Islam dilecehkan sebagai agama fatalis (ajaran yang pemeluknya
percaya atau menyerah saja pada nasib). Menurut Mahmud Syaltut pendapat ini
adalah salah sesalah-salahnya, karena Islam mengakui peranan manusia dalam
mengatur perbuatan-perbuatannya.[5]
Pendapat
Mahmud Syaltut ini sejalan dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa manusia
bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya (teori kedua). Dengan akal yang
ada padanya, manusia dapat menentukan pilihannya. Dengan kehendak bebas (free
will) yang ada padanya, manusia menjadi pembuat nasibnya sendiri. Ini jelas dalam ayat yang
mengatakan bahwa (terjemahannya lebih kurang):”Allah tidak akan mengubah nasib
sesuatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubaah nasib mereka” (Q.S. ar-Ra’du
(13): 11). Perkataan sesuatu kaum dalam ayat diatas dapat diganti dengan
seseorang. Oleh karena itu, apa yang disebut nasib, sesungguhnya, tidaklah lain
dari berlakunya hukum sebab akibat dalam kehidupan manusia (seseorang).[6]
Menurut
al-Qur’an, demikian Mahmud Syaltut, manusia bebas memilih perbuatan yang akan
dilakukannya. Ia bebas pula menentukan kepercayaan yang dianutnya dan dia akan
memperoleh sesuatu baik hukuman atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Allah
hanya menunjukkan jalan yang seyogianya diikuti oleh manusia. Manusia bebas
memilih untuk menuruti atau tidak menuruti jalan itu. Allah tidak mengganggu
pilihan manusia. Oleh karena itu manusia harus mengerjakan penyelamatan dirinya
dan penyelamatan ini hanya dapat dalam beriman dan beramal saleh. Beramal saleh
artinya berbuat sesuatu yang baik yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang ain,
dan masyarakat. Di dalam al-Qur’an perkataan iman selalu diikuti dengan
perkatan amal saleh sebagai syarat bagi manusia untuk memasuki surga yang telah
disediakan Allah untuknya.[7]
B. Bukti Akan
Adanya Qadha Qadar
Dalil-dalil
yang menunjukkan bukti adanya Qadha Qadar antara lain:
1.
Surat
Al-Furqon/25 ayat: 2
وَخَلَقَ كُلَّ شَيۡءٖ فَقَدَّرَهُۥ
تَقۡدِيرٗا ٢
Artinya:
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu
dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”.
2.
Surat
ar-Ro’du/13 ayat: 8
وَكُلُّ شَيۡءٍ عِندَهُۥ بِمِقۡدَارٍ
٨
Artinya:
“Segala sesuatu disisi Allah telah
ditentukan”.
3.
Surat
Ar-Ro’du/13 ayat: 39
يَمۡحُواْ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ
وَيُثۡبِتُۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ ٣٩
Artinya:
“Allah menghapus apa yang
dikehendaki dan menetapkan (apa yang dikehendaki) dan disisi-Nya lah terdapat
Ummul Kitab (Lauhil Mahfudz)”.
4.
Surat
Al-Hijr/15 ayat: 21
وَإِن مِّن شَيۡءٍ إِلَّا عِندَنَا
خَزَآئِنُهُۥ وَمَا نُنَزِّلُهُۥٓ إِلَّا بِقَدَرٖ مَّعۡلُومٖ ٢١
Artinya:
“Dan tidak ada sesuatupun
melainkan pada sisi Kami lah khazanahnya. Dan kami tidak menurunkan melainkan
dengan ukuran tertentu.”[8]
C. Ciri-Ciri
Perilaku Orang Yang Beriman Kepada Qadha Qadar
Beriman kepada
Qadha Qadar sangatlah berat bagi orang-orang yang tipis iman karena takdir yang
terjadi sering tidak sesuai dengan kehendak hati. Untuk menjaga keimanan kepada
Qadha Qadar diri kita maka perlu senantiasa menanamkan keyakinan bahwa apapun
yang terjadi, baik yang sesuai dengan kehendak kita atau pun yang tidak sesuai,
semata-mata merupakan ketentuan dari Allah SWT.
Sikap yang
mesti kita lakukan adalah menerima dengan rasa syukur ketika taqdir dari Allah
sesuai dengan kehendak kita. Sebaliknya apabila ternyata taqdir yang terjadi
pada diri kita tidak sesuai dengan kehendak hati atau tidak menyenangkan, maka
harus diterima dengan lapang dada, seraya meningkatkan keyakinan bahwa allah
pasti akan memberi kebaikan di balik semuanya itu. Pada dasarnya takdir yang
baik merupakan nikmat dan taqdir yang buruk adalah musibah yang semuanya
merupakan ujian bagi manusia untuk bersyukur, bersabar, dan ikhlas.
Adapun
ciri-ciri orang yang beriman kepada Qadha Qadar, dapat ditunjukkan dengan
perilaku antara lain sebagai berikut:
1.
Bersyukur dan
bersabar
Perilaku ini
ditunjukkan ketika mendapat kebaikan dan musibah. Kebaikan yang diterima akan
disambut dengan rasa syukur yang mendalam. Sebaliknya, apabila terkena musibah
maka akan diterima dengan kesabaran. Hal itu merupakan kehendak Allah SWT.
2.
Menjauhkan
diri dari sifat sombong dan putus asa
Biasanya
manusia dihinggapi sifat sombong sekaligus mudah putus asa. Orang-orang yang
beriman kepada Qadha Qadar menyadari
bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, sedangkan orang-orang yang sombong
menganggap bahwa segala keberhasilan diterima dianggap sebagai hasil jerih payah dan usahanya sendiri kemudian
menganggap dirinya yang paling hebat.
Sebaliknya apabila tertimpa kegagalan, orang-orang yang beriman kepada Qadha
Qadar akan menerima dengan ketabahan hati, sedangkan orang-orang yang mudah
putus asa akan selalu berkeluh kesah. Mereka lupa bahwa segala yang terjadi
pada diri manusia semata-mata merupakan ketentuan Allah.
3.
Optimis dan
giat bekerja
Tidak ada
seorangpun yang mengetahui keadaan takdir yang akan menyertai hidupnya, tetapi
semua menginginkan takdir yang sesuai dengan harapannya. Bagi orang yang
beriman kepada Qadha Qadar menyadari bahwa nasib baik tidak akan berpihak tanpa
adanya upaya untuk meraihnya. Sikap yang demikian ini akan mendorong seseorang untuk selalu bersikap
optimis dan ditunjukkan dengan giat bekerja sehingga harapan kebahagiaan akan
dapat diraih.
4.
Ketenangan
Jiwa
Ketenangan
jiwa juga merupakan salah satu ciri orang yang beriman kepada Qadha Qadar.
Mereka ridha dengan segala ketentuan Allah SWT. Apabila mendapatkan kebahagian mereka bersyukur, dan
jika mendapatkan kegagalan mereka tetap tenang dan bangkit lagi untuk mencapai
sukses. Semua kegagalan yang telah ditetapkan oleh Allah tidak pernah
menyurutkan langkahnya, dia kembalikan semuanya kepada Allah SWT.
5.
Memperkuat
Tawakal kepada Allah
Orang yang
beriman kepada Qadha Qadar menyadari bahwa kebaikan dan keburukan yang terjadi
pada diri mereka semata-mata menjadi hak mutlak kehendak Allah SWT. Keyakinan
ini menimbulkan sikap memperteguh tawakal kepada Allah.[9]
D. Ikhtiar dan
Berdoa serta Hubungannya Dengan Takdir
Untuk memahami
takdir, manusia harus hidup dengan ikhtiar, sebab dalam kehidupan sehari-hari nyatanya takdir Ilahi
berkaitan erat dengan usaha manusia. Usaha manusia harusah maksimal
(sebanyak-banyaknya), dan optimal (sebaik-baiknya) diiringi dengan doa dan
tawakal. Tawakal yang dimaksud adalah tawakal dalam makna menyerahkan nasib dan
kesudahan usaha kita kepada Allah, sementara kita terus berikhtiar serta yakin
bahwa penentuan terakhir segala-galanya berada dalam kekusaan Allah. Inilah
makna takdir yang sebenarnya, yang berlangsung melalui proses usaha (ikhtiar),
do’a dan tawakkal.[10]
Manusia
diwajibkan berikhtiar untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. Ikhtiar adalah
usaha manusia untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Walaupun segala sesuatu
yang terjadi di dunia ini telah
ditetapkan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan segala usaha manusia sebagai
bentuk ikhtiar yang memberi kesempatan dan kebebasan manusia untuk menentukan
nasibnya sendiri.
Kewajiban
berikhtiar ini telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW. dalam sebuh hadis “suatu
ketika Nabi didatangi oleh seorang Arab Badui yang menunggang sebuah unta.
Setelah sampai, ia turun dari untanya dan langsung menghadap Rasul tanpa
terlebih dahulu mengikat untanya. Nabi menegur orang tersebut, kemudian orang
badui itu berkata, “Biarlah saya bertawakal kepada Allah.” Nabi bersabda,
“Ikatlah untamu, setelah itu bertawakallah kepada Allah.”
Dari riwayat
tersebut jelaslah, meskipun Allah menentukan segala sesuatu, manusia tetap
berkewajiban untuk berikhtiar. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri
kita. Oleh sebab itu, kita harus berikhtiar (berusaha). Sebagai contoh: Apabila
ingin pandai, kita harus belajar sungguh-sungguh.
Di samping
itu, ikhtiar juga harus ditopang oleh kekuatan do’a. Berdoa mengandung
pengertian permohonan pertolongan kepada Allah atas segala sesuatu. Berdoa
tidak saja di kala ditimpa musibah, melainkan dalam keadaan segar dan sehat.
Dengan berdoa, kita mengembalikan segala urusan kita kepada Allah. Dengan
demikian, apa yang akan terjadi pada diri kita akan kita terima dengan ridha
dan ikhlas.
Mengenai hubungan antara Qadha Qadar dengan
ikhtiar ini, para ulama berpendapat bahwa takdir itu ada dua macam:
1.
Takdir
Muallaq, yakni takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia, takdir
ketergantungan. Maksudnya, takdir yang masih dapat diubah bergantung pada ikhtiar (usaha) manusia. Contoh, seorang ingin
menjadi dokter, maka ia harus giat sekolah dengan belajar yang tekun sesuai
dengan jurusannya.
2.
Takdir Mubram,
yakni takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Contohnya tentang kematian, kelahiran, jenis
kelamin, banyak sedikitnya rezeki, dan sebagainya. [11]
E.
Hikmah Iman Kepada Qadha Qadar
Seorang muslim
wajib beriman dengan taqdir (Al-qadr
khairuhu syarruhu) sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Allah SWT dan
Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
Memahami
taqdir harus secara benar, karena kesalahan memahami taqdir akan melahirkan
pemahaman dan sikap yang salah pula dalam menempuh kehidupan di dunia ini.
Ada beberapa
hikmah yang dapat dipetik dari keimanan kepada taqdir ini, antara lain yaitu:
1.
Melahirkan
kesadaran bagi umat manusia bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berjalan
sesuai dengan undang-undang, aturan dan hukum yang telah ditetapkan dengan
pasti oleh Allah SWT. Oleh sebab itu manusia harus mempelajari, memahami, dan
mematuhi ketetapan Allah SWT tersebut supaya dapat mencapai keberhasilan baik
di dunia maupun di akhirat nanti.
2.
Mendorong
manusia untuk berusaha dan beramal dengan sungguh-sungguh untuk mencapai
kehidupan yang baik di dunia dan diakhirat, mengikuti hukum sebab akibat yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT.
3.
Mendorong
manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT yang memiliki kekuasaan
dan kehendak yang mutlak, di samping memiliki kebijaksanaaan, keadilan, dan
kasih sayang kepada makhluk-Nya.
4.
Menanamkan
sikap tawakal dalam diri manusia, karena menyadari bahwa manusia hanya bisa
berusaha dan berdo’a, sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT.
5.
Mendatangkan
ketenangan jiwa dan ketentraman hidup, karena meyakini apa pun yang terjadi
adalah atas kehendak dan qadar Allah SWT. Di saat memperoleh kebahagiaan dan
nikmat dia segera bersyukur kepada Allah SWT dan tidak memiliki kesombongan
karena semuanya itu didapat atas izin Allah SWT. Di saat mendapat musibah dan
kerugian dia bersabar karena meyakini semuanya itu adalah karena kesalahannya
sendiri dan karena cobaan dan ujian dari Allah SWT yang kelak kemudian juga
akan mendatangkan kebaikan.[12]
Sumber:
1. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1998).
2. Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008).
3. Yunahar Ilyas, Kuliah
Aqidah Islam (Yogyakarta:
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2006).
4. Ahmad Syauqil, Akidah Akhlak (Jakarta: Kementerian Agama, 2016).
5. Team Penulis TAQWA, Aqidah Akhlak (Jakarta: Kementerian Agama, 2016).
[12]Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam
(Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2006), 191-192.
Bagi seorang muslim dan muslimah sudah seharusnya Kita memiliki semangat dan ghirah dalam mempelajari bahasa arab. Terlebih lagi bahasa arab dan wasilah bagi kita dalam mengenal ilmu syari.
BalasHapusQada dan Qadar Kaifa Haluk Artinya Ufa Bunga SMartphone