Sabtu, 07 Juli 2018

Materi PAI (Beriman Kepada Qada dan Qadar)


BERIMAN KEPADA QADHA DAN QADAR
A.    Pengertian Qadha Qadar
Keyakinan pada Qadha Qadar yang menjadi rukun iman keenam ini berasal dari Sunah Nabi yang kini dihimpun dalam kitab-kitab Hadis, merupakan bagian integral iman atau keyakinan Islam.[1] Menurut bahasa “qadha berasal dari kata Qadha-Yaqdii yang berarti memutuskan sutu perkara dengan ucapan atau perbuatan. Secara istilah Qadha berarti ketetapan, ketentuan atau keputusan Allah SWT tentang suatu perkara sejak zaman azali (sebelum adanya alam ini) yang belum diketahui dan belum diterima oleh makhluk-Nya. Sedangkan menurut bahasa kata “Qadar” berasal dari lafaz Qadara-Yaqdiru yang berarti kuasa mengerjakan sesuatu. Secara istilah Qadar berarti pembatasan Allah SWT tentang sesuatu, dengan kata lain Qadar berarti ukuran atau aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk perkara tersebut atau bisa juga berarti ketentuan atau ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT atas makhluk-Nya dan telah diterima serta telah berlaku bagi makhluk-Nya.[2]
Khusus mengenai perkataan qada (kada) dan qadar (kadar) yang disebut dalam al-Qur’an antara lain dalam surat al-Ahzab (33): 36, dan surat al-Qamar (54): 49, perlu diberikan catatan berikut. Di dalam sejarah Islam, perkataan kada dan kadar yang disebut juga takdir dalam pembicaraan sehari-hari, pernah menimbulkan salah paham terhadap Islam. Sebabnya, karena perkataan takdir diartikan sebagai sikap yang pasrah kepada nasib tanpa usaha atau ikhtiar. Untuk menghindari kesalah pengertian itu, perlu dipahami benar makna yang dikandung oleh kedua perkataan tersebut. Yang dimaksud dengan kada adalah ketentuan mengenai sesuatu atau ketetapan tentang sesuatu, sedang kadar adalah ukuran sesuatu menurut hukum tertentu. Dapat pula dikatakan bahwa kada adalah ketentuan atau ketetapan, sedang kadar adalah  ukuran. Dengan demikian yang dimaksud dengan kada dan kadar atau takdir adalah ketentuan atau ketetapan (Allah) menurut ukuran atau norma tertentu.[3]
Dalam meyakini Rukun Iman yang keenam ini ada beberapa hal yang perlu dijelaskan. Diantaranya yang terpenting adalah hubungan takdir dengan kehendak bebas atau free will manusia tersebut diatas. Untuk itu perlu dikemukakan pertanyaan berikut: dalam meyakini takdir Ilahi apakah manusia masih mempunyai kehendak bebas dalam mengatur perbuatannya? Dalam menjawab pertanyaan ini ada dua teori yang berbeda. Perbedaan itu disebabkan karena perbedaan pendapat mengenai kekuasaan Tuhan yang mutlak dan keadilan Tuhan mengenai perbutan manusia.[4]
Yang menganggap kekuasaan Tuhan itu mutlak berpendapat bahwa Allah dapat berbuat apa saja, baik yang kelihatan adil maupun yang kelihatan tidak adil oleh manusia (teori pertama). Menurut pandangan ini, manusia adalah alat Tuhan yang tidak mempunyai kebebasan dalam mengatur nasibnya. Teori ini, yang terkenal sebagai fatalisme (ajaran atau paham bahwa manusia dikusai oleh nasib), telah menyebabkan Islam dilecehkan sebagai agama fatalis (ajaran yang pemeluknya percaya atau menyerah saja pada nasib). Menurut Mahmud Syaltut pendapat ini adalah salah sesalah-salahnya, karena Islam mengakui peranan manusia dalam mengatur perbuatan-perbuatannya.[5]
Pendapat Mahmud Syaltut ini sejalan dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa manusia bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya (teori kedua). Dengan akal yang ada padanya, manusia dapat menentukan pilihannya. Dengan kehendak bebas (free will) yang ada padanya, manusia menjadi pembuat nasibnya sendiri. Ini jelas dalam ayat yang mengatakan bahwa (terjemahannya lebih kurang):”Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubaah nasib mereka” (Q.S. ar-Ra’du (13): 11). Perkataan sesuatu kaum dalam ayat diatas dapat diganti dengan seseorang. Oleh karena itu, apa yang disebut nasib, sesungguhnya, tidaklah lain dari berlakunya hukum sebab akibat dalam kehidupan manusia (seseorang).[6]
Menurut al-Qur’an, demikian Mahmud Syaltut, manusia bebas memilih perbuatan yang akan dilakukannya. Ia bebas pula menentukan kepercayaan yang dianutnya dan dia akan memperoleh sesuatu baik hukuman atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Allah hanya menunjukkan jalan yang seyogianya diikuti oleh manusia. Manusia bebas memilih untuk menuruti atau tidak menuruti jalan itu. Allah tidak mengganggu pilihan manusia. Oleh karena itu manusia harus mengerjakan penyelamatan dirinya dan penyelamatan ini hanya dapat dalam beriman dan beramal saleh. Beramal saleh artinya berbuat sesuatu yang baik yang bermanfaat bagi diri sendiri, orang ain, dan masyarakat. Di dalam al-Qur’an perkataan iman selalu diikuti dengan perkatan amal saleh sebagai syarat bagi manusia untuk memasuki surga yang telah disediakan Allah untuknya.[7]
B.     Bukti Akan Adanya Qadha Qadar
Dalil-dalil yang menunjukkan bukti adanya Qadha Qadar antara lain:
1.   Surat Al-Furqon/25 ayat: 2
وَخَلَقَ كُلَّ شَيۡءٖ فَقَدَّرَهُۥ تَقۡدِيرٗا ٢
Artinya:
    “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”.
2.      Surat ar-Ro’du/13 ayat: 8
وَكُلُّ شَيۡءٍ عِندَهُۥ بِمِقۡدَارٍ ٨
Artinya:
    “Segala sesuatu disisi Allah telah ditentukan”.
3.      Surat Ar-Ro’du/13 ayat: 39
يَمۡحُواْ ٱللَّهُ مَا يَشَآءُ وَيُثۡبِتُۖ وَعِندَهُۥٓ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ ٣٩
Artinya:
    “Allah menghapus apa yang dikehendaki dan menetapkan (apa yang dikehendaki) dan disisi-Nya lah terdapat Ummul Kitab (Lauhil Mahfudz)”.
4.      Surat Al-Hijr/15 ayat: 21
وَإِن مِّن شَيۡءٍ إِلَّا عِندَنَا خَزَآئِنُهُۥ وَمَا نُنَزِّلُهُۥٓ إِلَّا بِقَدَرٖ مَّعۡلُومٖ ٢١
Artinya:
    “Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami lah khazanahnya. Dan kami tidak menurunkan melainkan dengan ukuran tertentu.”[8]
C.    Ciri-Ciri Perilaku Orang Yang Beriman Kepada Qadha Qadar
Beriman kepada Qadha Qadar sangatlah berat bagi orang-orang yang tipis iman karena takdir yang terjadi sering tidak sesuai dengan kehendak hati. Untuk menjaga keimanan kepada Qadha Qadar diri kita maka perlu senantiasa menanamkan keyakinan bahwa apapun yang terjadi, baik yang sesuai dengan kehendak kita atau pun yang tidak sesuai, semata-mata merupakan ketentuan dari Allah SWT.
Sikap yang mesti kita lakukan adalah menerima dengan rasa syukur ketika taqdir dari Allah sesuai dengan kehendak kita. Sebaliknya apabila ternyata taqdir yang terjadi pada diri kita tidak sesuai dengan kehendak hati atau tidak menyenangkan, maka harus diterima dengan lapang dada, seraya meningkatkan keyakinan bahwa allah pasti akan memberi kebaikan di balik semuanya itu. Pada dasarnya takdir yang baik merupakan nikmat dan taqdir yang buruk adalah musibah yang semuanya merupakan ujian bagi manusia untuk bersyukur, bersabar, dan ikhlas.
Adapun ciri-ciri orang yang beriman kepada Qadha Qadar, dapat ditunjukkan dengan perilaku antara lain sebagai berikut:
1.      Bersyukur dan bersabar
Perilaku ini ditunjukkan ketika mendapat kebaikan dan musibah. Kebaikan yang diterima akan disambut dengan rasa syukur yang mendalam. Sebaliknya, apabila terkena musibah maka akan diterima dengan kesabaran. Hal itu merupakan kehendak Allah SWT. 
2.      Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Biasanya manusia dihinggapi sifat sombong sekaligus mudah putus asa. Orang-orang yang beriman  kepada Qadha Qadar menyadari bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, sedangkan orang-orang yang sombong menganggap bahwa segala keberhasilan diterima dianggap sebagai hasil  jerih payah dan usahanya sendiri kemudian menganggap  dirinya yang paling hebat. Sebaliknya apabila tertimpa kegagalan, orang-orang yang beriman kepada Qadha Qadar akan menerima dengan ketabahan hati, sedangkan orang-orang yang mudah putus asa akan selalu berkeluh kesah. Mereka lupa bahwa segala yang terjadi pada diri manusia semata-mata merupakan ketentuan Allah.
3.      Optimis dan giat bekerja
Tidak ada seorangpun yang mengetahui keadaan takdir yang akan menyertai hidupnya, tetapi semua menginginkan takdir yang sesuai dengan harapannya. Bagi orang yang beriman kepada Qadha Qadar menyadari bahwa nasib baik tidak akan berpihak tanpa adanya upaya untuk meraihnya. Sikap yang demikian ini akan mendorong seseorang untuk selalu bersikap optimis dan ditunjukkan dengan giat bekerja sehingga harapan kebahagiaan akan dapat diraih.
4.      Ketenangan Jiwa
Ketenangan jiwa juga merupakan salah satu ciri orang yang beriman kepada Qadha Qadar. Mereka ridha dengan segala ketentuan Allah SWT. Apabila  mendapatkan kebahagian mereka bersyukur, dan jika mendapatkan kegagalan mereka tetap tenang dan bangkit lagi untuk mencapai sukses. Semua kegagalan yang telah ditetapkan oleh Allah tidak pernah menyurutkan langkahnya, dia kembalikan semuanya kepada Allah SWT.
5.      Memperkuat Tawakal kepada Allah
Orang yang beriman kepada Qadha Qadar menyadari bahwa kebaikan dan keburukan yang terjadi pada diri mereka semata-mata menjadi hak mutlak kehendak Allah SWT. Keyakinan ini menimbulkan sikap memperteguh tawakal kepada Allah.[9]
D.    Ikhtiar dan Berdoa serta Hubungannya Dengan Takdir
Untuk memahami takdir,  manusia  harus hidup dengan ikhtiar, sebab dalam kehidupan sehari-hari nyatanya takdir Ilahi berkaitan erat dengan usaha manusia. Usaha manusia harusah maksimal (sebanyak-banyaknya), dan optimal (sebaik-baiknya) diiringi dengan doa dan tawakal. Tawakal yang dimaksud adalah tawakal dalam makna menyerahkan nasib dan kesudahan usaha kita kepada Allah, sementara kita terus berikhtiar serta yakin bahwa penentuan terakhir segala-galanya berada dalam kekusaan Allah. Inilah makna takdir yang sebenarnya, yang berlangsung melalui proses usaha (ikhtiar), do’a dan tawakkal.[10]
Manusia diwajibkan berikhtiar untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. Ikhtiar adalah usaha manusia untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Walaupun segala sesuatu yang terjadi  di dunia ini telah ditetapkan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan segala usaha manusia sebagai bentuk ikhtiar yang memberi kesempatan dan kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Kewajiban berikhtiar ini telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW. dalam sebuh hadis “suatu ketika Nabi didatangi oleh seorang Arab Badui yang menunggang sebuah unta. Setelah sampai, ia turun dari untanya dan langsung menghadap Rasul tanpa terlebih dahulu mengikat untanya. Nabi menegur orang tersebut, kemudian orang badui itu berkata, “Biarlah saya bertawakal kepada Allah.” Nabi bersabda, “Ikatlah untamu, setelah itu bertawakallah kepada Allah.”
Dari riwayat tersebut jelaslah, meskipun Allah menentukan segala sesuatu, manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita. Oleh sebab itu, kita harus berikhtiar (berusaha). Sebagai contoh: Apabila ingin pandai, kita harus belajar sungguh-sungguh.
Di samping itu, ikhtiar juga harus ditopang oleh kekuatan do’a. Berdoa mengandung pengertian permohonan pertolongan kepada Allah atas segala sesuatu. Berdoa tidak saja di kala ditimpa musibah, melainkan dalam keadaan segar dan sehat. Dengan berdoa, kita mengembalikan segala urusan kita kepada Allah. Dengan demikian, apa yang akan terjadi pada diri kita akan kita terima dengan ridha dan ikhlas.
Mengenai hubungan antara Qadha Qadar dengan ikhtiar ini, para ulama berpendapat bahwa takdir itu ada dua macam:
1.      Takdir Muallaq, yakni takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia, takdir ketergantungan. Maksudnya, takdir yang masih dapat diubah bergantung pada ikhtiar (usaha) manusia. Contoh, seorang ingin menjadi dokter, maka ia harus giat sekolah dengan belajar yang tekun sesuai dengan jurusannya.
2.      Takdir Mubram, yakni takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat ditawar-tawar lagi. Contohnya tentang kematian, kelahiran, jenis kelamin, banyak sedikitnya rezeki, dan sebagainya. [11]
E.     Hikmah Iman Kepada Qadha Qadar
Seorang muslim wajib beriman dengan taqdir (Al-qadr khairuhu syarruhu) sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
Memahami taqdir harus secara benar, karena kesalahan memahami taqdir akan melahirkan pemahaman dan sikap yang salah pula dalam menempuh kehidupan di dunia ini.
Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari keimanan kepada taqdir ini, antara lain yaitu:
1.      Melahirkan kesadaran bagi umat manusia bahwa segala sesuatu di alam semesta ini berjalan sesuai dengan undang-undang, aturan dan hukum yang telah ditetapkan dengan pasti oleh Allah SWT. Oleh sebab itu manusia harus mempelajari, memahami, dan mematuhi ketetapan Allah SWT tersebut supaya dapat mencapai keberhasilan baik di dunia maupun di akhirat nanti.
2.      Mendorong manusia untuk berusaha dan beramal dengan sungguh-sungguh untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan diakhirat, mengikuti hukum sebab akibat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
3.      Mendorong manusia untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT yang memiliki kekuasaan dan kehendak yang mutlak, di samping memiliki kebijaksanaaan, keadilan, dan kasih sayang kepada makhluk-Nya.
4.      Menanamkan sikap tawakal dalam diri manusia, karena menyadari bahwa manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a, sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT.
5.      Mendatangkan ketenangan jiwa dan ketentraman hidup, karena meyakini apa pun yang terjadi adalah atas kehendak dan qadar Allah SWT. Di saat memperoleh kebahagiaan dan nikmat dia segera bersyukur kepada Allah SWT dan tidak memiliki kesombongan karena semuanya itu didapat atas izin Allah SWT. Di saat mendapat musibah dan kerugian dia bersabar karena meyakini semuanya itu adalah karena kesalahannya sendiri dan karena cobaan dan ujian dari Allah SWT yang kelak kemudian juga akan mendatangkan kebaikan.[12]
Sumber:
1. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,       1998).
2. Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008).
3. Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2006).
4. Ahmad Syauqil, Akidah Akhlak (Jakarta: Kementerian Agama, 2016).
5. Team Penulis TAQWA,  Aqidah Akhlak (Jakarta: Kementerian Agama, 2016).




[1]Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998),  230.
[2]Ahmad Syauqil, Akidah Akhlak (Jakarta: Kementerian Agama, 2016), 72.
[3]Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama..., 230-231.
[4]Ibid., 231.
[5]Ibid.
[6]Ibid., 231-132.
[7]Ibid.,  232.
[8]Team penulis TAQWA, Aqidah Akhlak (Jakarta: Kementerian Agama, 2016), 4.
[9] Team penulis TAQWA, Aqidah..., 6-8.
[10]Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),  233.
[11] Rosihan Anwar, Akidah Akhlak (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), 196-197.
[12]Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2006), 191-192.

1 komentar:

  1. Bagi seorang muslim dan muslimah sudah seharusnya Kita memiliki semangat dan ghirah dalam mempelajari bahasa arab. Terlebih lagi bahasa arab dan wasilah bagi kita dalam mengenal ilmu syari.
    Qada dan Qadar Kaifa Haluk Artinya Ufa Bunga SMartphone

    BalasHapus

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi)

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Tekno...