Perbandingan
Konsep Filsafat Pendidikan antar Aliran dan Tokoh
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat
Pendidikan”
Disusun Oleh: kelompok 11:
Dian Ratri K. (210315062)
Fiki Zahro
Z.M. (210315071)
Liya Rizki Fadillah
(210315058)
Kelas/Semester:
TB.B/III
Dosen
Pengampu:
Muhammad Heriyudanta, M.Pd.I.
FAKULTAS
TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
DESEMBER 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kajian filsafat, kita mengenal beberapa aliran
filsafat pendidikan, dimana antara satu dan yang lainnya memiliki tipologi
masing-masing. Benturan antar aliran akan banyak ditemui, terutama setelah satu
pandangan dengan pandangan lain bertemu pada satu terra besar yang menjadi inti
dari masing-masing aliran itu.
Secara sederhana, semua aliran merupakan bentuk
pertentangan dari cara pandang yang telah berlaku secara menyeluruh, untuk
kemudian ditemukan formula baru dalam memandang. Pola komunikasi yang semacam
inilah yang membuat filsafat sampai kini masih selalu menarik untuk bahan
kajian yang diminati banyak orang. Yang menarik dari semua itu adalah bahwa dari
berbagai tokoh-tokoh tertentu yang menggunakan cara pandang tersebut sebagai
pilau analisis, tetapi hampir berlaku secara menyeluruh dalam kehidupan sosial.
Dalam filsafat pendidikan banyak sekali aliran-aliran,
seperti aliran Perenialisme, progressivisme, esensialisme, dan rekontruksisme.
Dalam aliran-aliran yang telah disebutkan diatas masing-masing mempunyai
keunggulan dan kelemahan. Selain aliran, juga terdapat konsep pendidikan para
tokoh, seperti konsep pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, Drriyakarya,
Paulo Freire, dan Ivan Illich.
Untuk itu, dalam makalah ini kami akan membahas
mengenai perbandingan konsep filsafat pendidikan antar aliran dan tokoh.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perbandingan konsep
filsafat pendidikan antar aliran?
2.
Bagaimana perbandingan konsep
filsafat pendidikan antar tokoh?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perbandingan Konsep Filsafat
Pendidikan antar Aliran
1.
Perenialisme
a.
Hakikat Pendidikan
Perenialisme memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai
suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) ini terutama
pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke masa lampau.[1]
b.
Tujuan Pendidikan
Pandangannya
mengenai pendidikan dapat menjadi semakin jelas pada pendirian dan sikap
perenialisme terhadap tujuan pendidikan sekolah. Dalam konteks pendidikan
sekolah, tujuan pendidikan yang ditekankan adalah membantu anak untuk dapat
menyingkap dan menginternalisasi kebenaran hakiki. Karena kebenaran hakiki ini
bersifat universal dan konstan (tetap, tidak berubah), maka hal ini harus
menjadi tujuan murni pendidikan.
Kebenaran
hakiki dapat diperoleh melalui dua jalan. Pertama, latihan intelektual
(intellectual exercise) secara cermat untuk melatih kemampuan pikir. Kedua,
latihan karakter (character exercise) untuk mengembangkan kemampuan spiritual.[2]
c.
Pendidik/Guru
Menurut Zuhairini Arikunto dalam Jalaluddin Abdullah
peran guru adalah mengajar dan memberikan bantuan kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan
kegiatan belajar-mengajar di kelas. Guru hendaknya orang yang menguasai suatu
cabang ilmu, seorang guru yang ahli (a master teacher) bertugas membimbing
diskusi yang akan memudahkan siswa menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat,
dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang sebagai orang yang memiliki otoritas
dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya tidak diragukan.
d.
Peserta Didik
Murid dalam aliran perenialisme merupakan makhluk yang
dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenaran-kebenaran abadi, pikiran
mengangkat dunia biologis. Hakikat pendidikan upaya proses transformasi
pengetahuan dan nilai kepada subyek didik, mencakup totalitas aspek
kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis terhadap seluruh fenomena
yang terjadi di sekitarnya.[3]
e.
Kurikulum
Kurikulum
menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada
seni dan sains. Untuk menjadi “terpelajar secara cultural” para siswa harus
berhadapan dengan bidang-bidang ini (seni dan sains) yang merupakan karya
terbaik yang diciptakan oleh manusia.
Dua pendukung
dari filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins., dan Mortimer Adler.
Sebagai Rektor the University of
Chicago, Hutchin (1963) mengembangkan suatu kurikulum mahasiswa S1 berdasarkan
penelitian terhadap Buku Besar bersejarah (Greeat Books) dan pembahasan
buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam kegiatan seminar-seminar kecil.
Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan asumsi mengenai pendidikan:
1)
Pendidikan harus mengangkat
pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun
akan selalu benar dimana pun juga, pendek kata, kebenaran bersifat universal
dan tak terikat waktu.
2)
Karena kerja pikiran adalah
bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan-gagasan, pendidikan juga
harus memfokuskan pada gagasan-gagasan. Pengolahan rasionalitas manusia adalah
fungsi penting pendidikan.
3)
Pendidikan harus menstimulasi para
mahasiswa untuk berpikir secara mendalam mengenai gagasan-gagasan signifikan.
Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti metode
pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.[4]
f.
Metode Pembelajaran
Sedang metode
pendidikan yang dianjurkan, dengan menggunakan metode dalam bentuk diskusi
untuk menganalisis buku-buku yang tergolong karya besar, terutama karya filosof
terkemuka seperti Plato, Aristotelels, dan lain sebagainya. Metode ini dikembangkan berdasarkan keyakinan
bahwa akal pikiran mempunyai kemampuan analisis induktif dan sintesis deduktif.
Dengan metode diskusi, kecerdasan pikiran peserta didik dapat dikembangkan.[5]
2.
Progressivisme
a.
Hakikat Pendidikan
Progressivisme
dalam pendidikan adalah bagian dari gerakan revormis umum sosial-politik yang
menandai kehidupan Amerika. Progressivisme sebagai teori yang mucul dalam
reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode formal
pengajaran, belajar mental dan, suasana klasik peradaban barat. Pada dasarnya
teori menekankan beberapa prinsip, antara lain; Pertama, proses pendidikan
berawal dan berakhir pada anak. Kedua, subjek didik adalah aktif, bukan pasif.
Ketiga, peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing atau pengarah.
Keempat, sekolah harus koperatif dan demokratif. Kelima, aktifitas lebih fokus
pada pemecahan masalah, bukan untuk pengajaran materi kajian.
Menurut progresivisme proses pendidikan
memiliki dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi psikologis,
pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak
didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpangaruh di Amerika,
yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan Pragmatisme. Dari segi sosiologis,
pendidik harus mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya (Imam
Barnabid, 1994).
b.
Tujuan Pendidikan
Menurut aliran
ini tujuan pendidikan adalah memberikan keterampilan dan alat-alat yang
bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berada dalam proses
perubahan secara terus menerus. Yang dimaksud dengan alat-alat adalah
keterampilan pemecahan masalah (problem solving) yang dapat digunakan
oleh individu untuk menentukan, menganalisis, dan memecahkan masalah. Proses
belajar terpusatkan pada perilaku cooperative dan disiplin diri. Di mana
kebudayaan sangat dibutuhkan dan sangat berfungsi dalam masyarakat.
c.
Pendidik/Guru
Peranan guru
adalah membimbing siswa-siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan kegiatan
proyek. Guru harus menolong siswa dalam menentukan dan memilih masalah-masalah
yang bermakna, menemukan sumber-sumber data yang relevan, menafsirkan dan
menilai akurasi data, serta merumuskan kesimpulan. Guru harus mampu
negenali siswa, terutama pada saat apakah ia memerlukan bantuan khusus dalam
suatu kegiatan, sehingga ia dapat meneruskan penelitiannya. Guru dituntut untuk
sabar, fleksibel, berpikir interdisipliner, kreatif, dan cerdas.[6]
d.
Peserta Didik
Proses belajar
terpusat kepada anak, namun hal ini tidak berarti bahwa anak akan diizinkan
untuk mengikuti semua keinginannya, karena ia belum cukup matang untuk
menentukan tujuan yang memadai. Anak memang banyak berbuat dalam menentukan
proses belajar, namun ia bukan penentu akhir. Siswa membutuhkan bimbingan dan
arahan dari guru dalam melaksanakan aktivitasnya.[7]
e.
Kurikulum
Kurikulum
disusun sekitar pengalaman siswa, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman
sosial. Sains sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam
pengalaman-pengalaman siswa, dan dalam pemecahan masalah serta dalam kegiatan
proyek. Kurikulum saharusnya menggunakan pendekatan interdisipliner. Buku
merupaka alat dalam proses belajar, bukan sumber pengetahuan.
f.
Metode Pembelajaran
Metode yang
dipergunakan aladalah metode ilmiah dalam inkuiri dan metode problem
solving.[8]
3.
Esensialisme
a.
Hakikat Pendidikan
Pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak
awak peradaban umat manusia. Menurut Joe Park, esensialisme memandang bahwa
pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan
lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata
yang jelas.[9]
b.
Tujuan Pendidikan
Tujuan
pendidikan adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui
pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang
lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal
oleh semua orang.
Selain
merupakan warisan budaya, tujuan pendidikan esensialisme adalah “mempersiapkan
manusia untuk hidup”. Namun, hidup tersebut sangat kompleks dan luas,
sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk hidup tersebut berada di luar wewenang
sekolah. Hal ini tidak berarti bahwa sekolah tidak dapat memberikan kontribusi
untuk mempersiapkan hidup tersebut. Kontribusi sekolah terutama bagaimana
merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, terutama tujuan pelajaran
yang dapat dipertanggungjwabkan, yang pada akhirnya memadai untuk
meempersiapkan manusia hidup.[10]
c.
Pendidik/Guru
Guru dianggap
sebagai seseorang yang menguasai lapangan subjek khusus, dan merupakan model
contoh yang sangat baik untuk ditiru dan digugu. Guru merupakan orang yang
menguasai pengetahuan, dan kelas berada di bawah pengaruh dan pengawasan guru.[11]
d.
Peserta Didik
Sekolah
bertanggung jawab atas pemberian pengajaran yang logis atau dapat dipercaya.
Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa. Siswa pergi ke sekolah
untuk belajar, bukan untuk mengatur pelajaran.[12]
e.
Kurikulum
Kurikulum
esensialisme seperti halnya perenialisme, yaitu kurikulum yang berpusat pada
mata pelajaran (subject matter centered). Di sekolah dasar penekanannya
pada kemampuan dasar membaca, menulis, dan matematika. Di sekolah menengah
diperluas dengan perluasan pada matematika, sains, humaniora, bahasa, dan
sastra.[13]
f.
Metode Pembelajaran
Metode
tradisional, menekankan pada inisiatif guru.[14]
4.
Rekonstruksi
a.
Hakikat Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sosial. Misi sekolah adalah
untuk meningkatkan rekonstruksi sosial.[15]
b.
Tujuan Pendidikan
1)
Sekolah-sekolah rekonstruksionis
berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi, dan
politik dalam masyarakat.
2)
Tugas sekolah-sekolah
konstruksionis adalah mengembangkan insinyur-insinyur sosial, warga-warga
negara mempunyai tujuan mengubah cara radikal wajah masyarakat masa kini.
3)
Tujuan pendidikan rekonstruksionis
adalah membangkitkan kesadaran para pesrta didik tentang masalah sosial,
ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan
mengajarkan kepada mereka ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk
mengatasi masalah tersebut.
c.
Pendidik/Guru
Guru harus
membuat para peserta didik menyadari masalah masalah yang dihadapi umat manusia
dan membantu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut.
d.
Peserta Didik
Siswa
hendaknya dipandang sebagai bunga yang sedang mekar. Hal ini mengandung arti
bahwa siswa adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun
masyarakat masa depan.
e.
Kurikulum
Kurikulum
berisi mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan
masyarakat masa depan. Kurikulum banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi,
dan politik yang dihadapi umat manusia, yang termasuk didalamnya masalah-masalah
pribadi para peserta didik sendiri, dan program-program perbaikan yang
ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif.
f.
Metode Pembelajaran
Analisis
kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan
programatik untuk perbaikan. Dengan demikian dengan menggunakan metode
pemecahan masalah, analisis kebutuhan, dan penyusun program aksi perbaikan
masyarakat.[16]
B.
Perbandingan Konsep Filsafat
Pendidikan antar Tokoh
1.
Ki Hadjar Dewantoro
a.
Hakikat Pendidikan
Pendidikan
menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha
memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak
hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta
memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.
b.
Tujuan Pendidikan
Menurut Ki
Hajar Dewantara, tujuan dari pendidikan adalah penguasaan diri, sebab disinilah
pendidikan memanusiakan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah
yang dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia. Ketika
peserta didik mampu menguasai dirinya, maka mereka akan mampu untuk menentukan
sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Beliau
juga menunjukkan bahwa tujuan diselenggarakannya pendidikan adalah membantu
peserta didik menjadi manusia yang merdeka. Menjadi manusia yang merdeka
berarti tidak hidup terperintah, berdiri tegak dengan kekuatan sendiri, dan
cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Dengan kata lain, pendidikan menjadikan
seseorang mudah diatur, tetapi tidak dapat disetir.
c.
Pendidik/Guru
Bagi Ki Hajar
Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian
dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga
menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan
kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya
sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau
pengajar.
d.
Peserta Didik
Pendidik
menempatkan peserta didiknya sebagai subjek, bukan objek pendidikan. Artinya,
peserta didik diberi ruang yang seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi
potensi-potensi dirinya dan kemudian berekspresi secara kreatif, mandiri dan
bertanggung jawab. Pendidik atau pamong adalah orang yang menuntun proses
pengekspresian potensi-potensi diri peserta didiknya agar terarah dan tidak
destrktif bagi dirinya dan sesamanya.[17]
e.
Kurikulum
Pelajaran yang
dibolehkan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran
yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh kepada
kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan.
Sedangkan yang Kedua, adalah mata pelajaran yang akan memberi bekal pada
anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu mata pelajaran
yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.
Pada bagian
berikutnya Ki Hadjar mengatakan:
Bahwa pelajaran yang menajamkan
pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program
pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan
ekor-ekornya: intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan
dan keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai
dimasukkan dalam cara pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi
pekerti.[18]
f.
Metode Pembelajaran
Metode
pembelajaran sistem among dapat digambarkan dalam semboyan filsafat
kependidikan beliau yang sangat terkenal:
Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan),
Ing madya mangun karsa (di tengah memberi kesempatan untuk berkarya), Tut wuri handayani (dari belakang memberi dorongn dan arahan).[19]
Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan),
Ing madya mangun karsa (di tengah memberi kesempatan untuk berkarya), Tut wuri handayani (dari belakang memberi dorongn dan arahan).[19]
2.
Driyakarya
a.
Hakikat Pendidikan
Pendidikan
didefinisikan sebagai upaya memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia
muda ke taraf insani. Pendidikan itu adalah pelaksanaan (pemberlakuan)
nilai-nilai. Dalam hal ini, pendidikan seharusnya mampu membawa anak didik
untuk mengalami, menghayati nilai-nilai keagamaan, sehingga anak didik
membangun nilai-nilai keagamaan itu di dalam kepribadannya.
Pendidikan
adalah pemanusiaan anak. Pemanusiaan di sini mempunyai dua arti: pendidik
memanusiakan anak didik dan anak didik mmemanusiakan dirinya. Pendidikan adalah
pembudayaan anak. Pembudayaan di sini menunjukkan aktivitas baik dari pendidik
maupun anak didik. Pembudayaan di sini jangan dipandang dalam arti yang khusus
dan bertingkat tinggi. Sebagai contoh: ibu mengajari anak mengenakan sepatu dan
celana, dan anak kelak dapat berbuat hal itu sendiri, itupun sudah masuk
kebudayaan dan pembudayaan.[20]
b.
Tujuan Pendidikan
Menurut
Driyakarya tujuan pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia muda atau
pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Selain itu pendidikan juga sebagai
pembentukan manusia yang berbudaya.
c.
Pendidik/Guru
Pendidik
memanusiakan anak didik dan anak didik mmemanusiakan dirinya, serta pendidik
membudayakan anak, dan anak karena di budayakan itu membudayakan diri.
d.
Peserta Didik
Anak didik
adalah manusia muda, manusia yang masih dalam taraf potensial, manusia yang
belum sampai pada taraf “maksimal”. Maka dari itu, mengapa mendidik itu disebut
suatu perbuatan fundamental. Sebabnya, karena mendidik itu adalah memanusiakan
manusia muda, mendidik itu adalah homonisasi dan humanisasi, yaitu perbuatan
yang menyebabkan manusia menjadi manusia.[21]
3.
Paulo Freire
a.
Hakikat Pendidikan
Filsafat
pendidikan Paulo Freire merupakan suatu usaha untuk menganalisis secara
filosofis terhadap konsep pendidikan Paulo Freire yang berangkat dari asumsi
bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dari sistem yang menindas.
Konsekuensinya, pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik pihak
yang berkuasa dalam sebuah rezim. Pendidikan merupakan suatu sarana untuk
memproduksi kesadaran dalam rangka mengembalikan sifat kemanusiaan setelah
terjadinya proses dehumanisasi. Dalam kerangka pembebasan, pendidikan harus
memiliki kepekaan terhadap persoalan ketidakadilan sosial dan harus mendudukkan
peserta didik sebagai subjek dari segala kegiatan pendidikan. Oleh karena itu,
kesadaran kritis sangat diperlukan wujudnya pada kepribadian peserta didik.
Dalam filsafat
pendidikannya, Paulo Freire juga menekankan pentingnya pendidikan yang dialogis
sebagai manifestasi dari pendidikan hadapmasalah yang menekankan
problem-problem aktual melalui kegiatan yang disebutnya dengan: kodifikasi dan
dekodifikasi, diskusi kultural dan aksi kultural. Dengan demikian, pendidikan
gaya bank harus ditinggalkan dan dihilangkan sama sekali sejalan dengan
munculnya pendidikan sebagai proses pembebasan.
Proses
pendidikan pembebasan dengan cara mengalihkan semua cara dan aktivitas yang
bernada dehumanisasi kepada cara dan aktivitas yang bernada penuh kepada proses
humanisasi. Jadi, Paulo Freire telah menjadikan pendidikan sebagai sebuah
proses transformasi sosial menuju kepada perubahan ke arah kemajuan yang
ditandai dengan adanya peralihan situasi dari: teologi tradisional menuju
teologi pembebasan, proses anti dialog menuju proses dialog, masyarakat
tertutup menjadi masyarakat terbuka, invasi kultural menjadi aksi kultural
dialogis, masifikasi menuju konsientisasi, pendidikan gaya bank menuju
pendidikan hadap-masalah dan masyarakat buta huruf menuju “masyarakat melek
huruf”.[22]
b.
Tujuan Pendidikan
Freire
merumuskan sebuah konsep tujuan pendidikan yang dapat memberikan hak manusia
untuk mengaktualisasikan potensi dan kreativitasnya sendiri, berikut konsep
tujuan pendikan dalam pandangan Freire:
1)
Pendidikan untuk penyadaran
(Conscientizacao)
Konsep pendidikan
freire yang paling urgen adalah bertujuan untuk penyadaran manusia akan
realitas sosialnya (Conscientizacao).
2)
Pendidikan untuk pembebasan
Dalam banyak
kesempatan Freire mengatakan bahwa pendidikan nilai paling vital bagi proses
pembebasan manusia. Baginya pendidikan jalur permanen pembebasan, dan berada
dalam dua tahap: pertama pendidikan menjadikan orang sadar akan penindasan yang
menimpa mereka dan melalui gerakan praksis untuk mengbubah keadaan itu. Kedua
pendidikan merupakan proses permanen aksi budaya pembebasan.[23]
3)
Pendidikan untuk humanisasi
Humanisasi
merupakan fitrah manusia, namun ia sering di ingkari oleh manusia sendiri
(terutama oleh golongan penindas), justru karena adanya pengingkaran tersebut,
humanisasi menjadi disadari. Pengingkaran biasanya berupa perlakuan tidak adil,
pemerasan, penindasan dan kekejaman kaum penindas. Bentuk kerinduan kaum
tertindas akan kebebasan dan keadilan, serta perjuangan mereka untuk menarik
kembali harkat kemanusiaan mereka yang hilang.[24]
c.
Pendidik/Guru
Desain
pembelajaran model Paulo Freire menginspirasi model pendidikan andragogi yaitu
pendidikan orang dewasa, secara dialogis, guru berposisi sebagai fasilitator.[25]
d.
Peserta Didik
Peserta didik
dituntut untuk aktif memaknai berbagai persoalan seputar pengalaman hidupnya
dan berusaha memecahkannya. Peserta didik tidak saja dipersiapkan supaya mampu
mengantisipasi masa depan. Namun juga sekaligus menyadari dan ikut
berpartisipasi dengan situasi sosial sesungguhnya
e.
Kurikulum
Kurikulum
dalam pandangan Freire berpusat pada “problematisasi” situasi yang kongkret.
Peserta didik bersama pendidiknya memaknai berbagai persoalan seputar
pengalaman hidupnya dan berusaha memecahkannya. Kurikulum yang bertolak dari
realitas kongkret peserta didik serta berdasarkan atas prinsip-prinsip yang
dinamis, bukan pola statis (seperti dalam pendidikan sistem bank), adalah
mutlak bagi proses pendidikan yang sejati yang membebaskan.16 Inilah yang
dimaksud Freire dengan perlunya perlunya experience-centerd curriculum dalam
sistem sekolah. Aspek-aspek dalam
experience-centerd curriculum didasarkan pada kebutuhan dan minat peserta didik
untuk, kemudian diarahkan bagi perkembangan pribadinya secara integral terutama
aspek berfikir, emosi, motorik, dan pengalaman sosial.
f.
Metode Pembelajaran
Metode
dialogis merupakan upaya yang dilakukan oleh Freire terhadap pendidikan “gaya
bank”, yang telah menjadikan pendidikan sebagai ajang monopoli pendidik
terhadap peserta didik di sekolah. Peserta didik akan menjadi sangat tumpul
daya kreasinya jika pendekatan model monolog tersebut tetap diterapkan. Menurut
Freire dialog antar manusia harus bedasarkan atas kepekaan terhadap kemampun
bawaan untuk menemukan diri sendiri. Dialog mengandalkan kerendahan hati, yaitu
kemauan belajar dari orang lain meskipun menurut perasaan kebudayaan dianggap
lebih rendah, memperlakukan orang lain sederajat, keyakinan bahwa orang lain
dapat mengajar kita. Dialog menuntut sikap mau mendengar dan memahami diri
sendiri bahwa manusia sebagai makhluk yang belum selesai.[26]
4.
Ivan Illich
a.
Hakikat Pendidikan
Sebagai
pemikir Humanis dan Religius, Illich cenderung mendefenisikan pendidikan dalam
arti luas. Baginya pendidikan sama dengan hidup. Pedidikan adalah segala
sesuatu yang ada dalam kehidupan untuk mempengaruhi proses pertumbuhan dan
perkembangan. Jadi pendidikan dapat diartikan sebagai pengalaman belajar
sesorang sepanjang hidupnya.[27]
b.
Tujuan Pendidikan
Tentang tujuan
pendidikan Ivan Illich berpendapat bahwa suatu sistem pendidikan yang baik
harus mempunyai tiga tujuan, yaitu (1) memberi kesempatan semua orang untuk
bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat, (2) memungkinkan
semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dapat
dengan mudah melakukannya, demikian pula bagi yang ingin mendapatkannya, (3)
menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.Sistem
semacam itu menuntut agar jaminan pendidikan menurut konstitusi benar-benar
ditegakkan. Para pelajar tidak boleh dipaksa untuk tunduk pada suatu kurikulum
wajib, atau tunduk pada diskriminasi yang didasarkan pada apakah mereka
memiliki sertifikat atau ijazah.[28]
c.
Pendidik/Guru
Kearifan yang
berkaitan dengan lembaga sekolah mengatakan kepada orang tua, murid, dan
pendidik bahwa guru, kalau sedang mengajar, harus menunjukkan wibawanya dalam
penampilan yang angker. Sekolah juga cenderung menyita waktu dan tenaga guru.
Ini pada gilirannya akan membuat guru sebagai pengawas, pengkotbah, dan ahli
terapi.
Guru sebagai
pengawas bertindak sebagai pemimpin upacara. Guru-sebagai-moralis mengganti
peran orang tua, Tuhan, atau negara. Ia mengajarkan anak-anak tentang apa yang
benar atau salah dari segi moral, tidak saja di dalam sekolah melainkan di
dalam masyarakat luas. Ia berperan sebagai orang tua bagi setiap anak dan
karena itu menjamin bahwa semua mereka merasa sebagai anak-anak dari negara
yang sama. Guru- sebagai-ahli-terapi merasa punya wewenang untuk menyelidiki
kehidupan pribadi setiap murid untuk membantunya berkembang sebagai seorang
pribadi.
d.
Peserta Didik
Illich sendiri
mendefinisikan anak adalah murid. Kita telah terbiasa dengan anak. Kita telah
memutuskan bahwa mereka harus ke sekolah, mereka harus melakukan apa yang
dikatakan pada mereka, sebab mereka belum punya gaji ataupun keluarganya
sendiri. Kita juga berharap mereka tahu diri dan berperangai sebagaimana layaknya
anak.[29]
e.
Kurikulum
Di manapun
sekolah berada, ”kurikulum tersembunyi” selalu sama. Kurikulum itu menuntut
agar semua anak berumur tertentu berkumpul dalam kelompok-kelompok sekitar 30
orang, di bawah bimbingan seorang guru berijasah, untuk belajar selama 500
hingga 1000 jam atau lebih pertahun.
Kurikulum
selalu digunakan untuk menentukan rangking sosial. Kurikulum bisa terdiri dari
rangkaian kemahiran atau kenaikan pangkat. Kini kita harus mengenali
keterasingan manusia dari belajarnya sendiri ketika pengetahuan menjadi produk
sebuah profesi jasa (guru) dan pelajar menjadi konsumennya. Alternatif bagi
ketergantungan pada sekolah bukanlah penggunaan sumber-sumber daya masyarakat
untuk membeli peralatan baru tertentu yang ”membuat” orang belajar, melainkan,
penciptaan corak relasi edukatif yang baru antara manusia dengan lingkungannya.
Untuk memacu corak relasi ini, sikap terhadap perkembangan pribadi seseorang,
sarana yang tersedia untuk kegiatan belajar, dan kualitas serta struktur
kehidupan sehari-hari harus diubah sejalan dengan itu.[30]
f.
Metode Pembelajaran
Ivan Illich
percaya bahwa belajar secara pasif itu salah, maka para pelajar dibebaskan
memutuskan sendiri apa yang mereka ingin pelajari dan bagaimana diajarkannya.[31]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa antar aliran dan antar tokoh masing-masing
mempunyai pandangan sendiri mengenai konsep pendidikan. Pandangan yang satu
dengan yang lainnya memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Adakalanya, beberapa pandangan saling mendukung, dan
adakalanya pula berbeda dan saling berlawanan.
Namun
demikian, pandangan-pandangan tersebut mempunyai peran dalam kehidupan
khususnya dalam dunia pendidikan. Dengan mempelajari perbandingan konsep
filsafat pendidikan antar aliran dan tokoh, kita dapat mengetahui pemikiran
(pandangan) dari masing-masing aliran dan tokoh tersebut. Sehingga dalam
pelaksanaannya, kita dapat berpedoman atau membandingkan konsep pendididikan seperti
apa yang pas dan cocok untuk diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Baharudin. Gagasan Ivan Illich Tentang
Pendidikan, Vol. 2, No. 2, Januari 2014.
Danuwinata. Sebuah Prawacana
Dalam: Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, 2008.
Dewantara, Ki Hadjar. Karya Ki
Hadjar Dewantara: Bagian Pertama, Pendidikan. Yogyakarta: Majlis Luhur
Tamansiswa, 1967.
Freire, Paulo. Pendidikan Yang Membebaskan,
Pendidikan Yang Memanusiakan, Dalam Omi Intan Naomi, Menggugat Pendidikan
Fundamentalisme, Konserfatif, Liberal, Dan Anarkhis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Hanif, Muh.. Desain
Pembelajaran untuk Transformasi Sosial, Vol. 8, No. 2, Desember 2014.
http://anastasiakristanti.blogs.uny.ac.id/2015/09/27/pengertian-pendidikan-menurut-kh-dewantara-dan-driyarkara/,
diakses pada Rabu, 28 Desember 2016 pukul 06.00 WIB.
http://sriastutiolivemon.blogspot.co.id/2015/10/makalah-filsafat-pendidikan-aliran.html,
diakses pada hari Rabu, 28 Desember 2016 pukul 06.00 WIB.
Idi, Abdullah
dan Jalaluddin. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2014.
Maunah, Binti.
Landasan Pendidikan. Yogyakarta: Teras, 2009.
Sadulloh,
Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabetaa, 2003.
Saefuddin,
A.M.. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1991.
Suhartono,
Suparlan. Wawasan Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzz, 2008.
Zuhairini
dkk.. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
[1] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2014), 89.
[2] Suparlan Suhartono, Wawasan Pendidikan
(Yogyakarta: Ar Ruzz, 2008), 132.
[3] http://sriastutiolivemon.blogspot.co.id/2015/10/makalah-filsafat-pendidikan-aliran.html,
diakses pada hari Rabu, 28 Desember 2016 pukul 06.00 WIB.
[4] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat
Pendidikan (Bandung: CV Alfabetaa, 2003), 155-156.
[5]
Suparlan Suhartono, Wawasan Pendidikan, 133.
[6] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,
147-148.
[7] Ibid., 146.
[8] Ibid., 148.
[9] Zuhairini
dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 25.
[10] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat
Pendidikan, 161.
[11] Ibid., 163.
[12] Ibid., 165.
[13] Ibid., 162.
[14] Ibid., 165.
[15] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat
Pendidikan, 171.
[16] Binti Maunah, Landasan Pendidikan (Yogyakarta:
Teras, 2009), 204-205.
[17] http://anastasiakristanti.blogs.uny.ac.id/2015/09/27/pengertian-pendidikan-menurut-kh-dewantara-dan-driyarkara/,
diakses pada Rabu, 28 Desember 2016 pukul 06.00 WIB.
[18] Ki Hadjar
Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama, Pendidikan (Yogyakarta:
Majlis Luhur Tamansiswa, 1967), 80.
[19] http://anastasiakristanti.blogs.uny.ac.id/2015/09/27/pengertian-pendidikan-menurut-kh-dewantara-dan-driyarkara/,
diakses pada Rabu, 28 Desember 2016 pukul 06.00 WIB.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Muh. Hanif, Desain Pembelajaran untuk
Transformasi Sosial, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, 120-121.
[23] Paulo Freire, Pendidikan Yang Membebaskan,
Pendidikan Yang Memanusiakan, Dalam Omi Intan Naomi, Menggugat Pendidikan
Fundamentalisme, Konserfatif, Liberal, Dan Anarkhis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), 446-447.
[24] A.M.Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran
Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan 1991), 126.
[25] Muh. Hanif, Desain Pembelajaran untuk
Transformasi Sosial, 124.
[26] Danuwinata, Sebuah Prawacana Dalam: Paulo
Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, 2008), 23.
[27] Baharudin, Gagasan Ivan Illich Tentang
Pendidikan, Vol. 2, No. 2, Januari 2014, 131.
[28] Ibid., 133.
[29] Ibid., 136-138.
[30] Ibid., 139-141.
[31] Ibid., 142.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar