Sabtu, 05 Januari 2019

Perbandingan Konsep Filsafat Pendidikan antar Aliran dan Tokoh



Perbandingan Konsep Filsafat Pendidikan antar Aliran dan Tokoh
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Pendidikan
LOGO IAIN.jpg
Disusun Oleh: kelompok 11:
Dian Ratri K.                          (210315062)
Fiki Zahro Z.M.                      (210315071)
Liya Rizki Fadillah                 (210315058)
Kelas/Semester:
TB.B/III
Dosen Pengampu:
Muhammad Heriyudanta, M.Pd.I.

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
DESEMBER 2016


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kajian filsafat, kita mengenal beberapa aliran filsafat pendidikan, dimana antara satu dan yang lainnya memiliki tipologi masing-masing. Benturan antar aliran akan banyak ditemui, terutama setelah satu pandangan dengan pandangan lain bertemu pada satu terra besar yang menjadi inti dari masing­-masing aliran itu. 
Secara sederhana, semua aliran merupakan bentuk pertentangan dari cara pandang yang telah berlaku secara menyeluruh, untuk kemudian ditemukan formula baru dalam memandang. Pola komunikasi yang semacam inilah yang membuat filsafat sampai kini masih selalu menarik untuk bahan kajian yang diminati banyak orang. Yang menarik dari semua itu adalah bahwa dari berbagai tokoh-tokoh tertentu yang menggunakan cara pandang tersebut sebagai pilau analisis, tetapi hampir berlaku secara menyeluruh dalam kehidupan sosial.
Dalam filsafat pendidikan banyak sekali aliran-aliran, seperti aliran Perenialisme, progressivisme, esensialisme, dan rekontruksisme. Dalam aliran-aliran yang telah disebutkan diatas masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Selain aliran, juga terdapat konsep pendidikan para tokoh, seperti konsep pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara, Drriyakarya, Paulo Freire, dan Ivan Illich.
Untuk itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai perbandingan konsep filsafat pendidikan antar aliran dan tokoh.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perbandingan konsep filsafat pendidikan antar aliran?
2.      Bagaimana perbandingan konsep filsafat pendidikan antar tokoh?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perbandingan Konsep Filsafat Pendidikan antar Aliran
1.      Perenialisme
a.       Hakikat Pendidikan
Perenialisme memandang pendidikan itu sebagai jalan kembali yaitu sebagai suatu proses mengembalikan kebudayaan sekarang (zaman modern) ini terutama pendidikan zaman sekarang ini perlu dikembalikan ke masa lampau.[1]
b.      Tujuan Pendidikan
Pandangannya mengenai pendidikan dapat menjadi semakin jelas pada pendirian dan sikap perenialisme terhadap tujuan pendidikan sekolah. Dalam konteks pendidikan sekolah, tujuan pendidikan yang ditekankan adalah membantu anak untuk dapat menyingkap dan menginternalisasi kebenaran hakiki. Karena kebenaran hakiki ini bersifat universal dan konstan (tetap, tidak berubah), maka hal ini harus menjadi tujuan murni pendidikan.
Kebenaran hakiki dapat diperoleh melalui dua jalan. Pertama, latihan intelektual (intellectual exercise) secara cermat untuk melatih kemampuan pikir. Kedua, latihan karakter (character exercise) untuk mengembangkan kemampuan spiritual.[2]
c.       Pendidik/Guru
Menurut Zuhairini Arikunto dalam Jalaluddin Abdullah peran guru adalah mengajar dan memberikan bantuan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di kelas. Guru hendaknya orang yang menguasai suatu cabang ilmu, seorang guru yang ahli (a master teacher) bertugas membimbing diskusi yang akan memudahkan siswa menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat, dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang sebagai orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya tidak diragukan.
d.      Peserta Didik
Murid dalam aliran perenialisme merupakan makhluk yang dibimbing oleh prinsip-prinsip pertama, kebenaran-kebenaran abadi, pikiran mengangkat dunia biologis. Hakikat pendidikan upaya proses transformasi pengetahuan dan nilai kepada subyek didik, mencakup totalitas aspek kemanusiaan, kesadaran, sikap dan tindakan kritis terhadap seluruh fenomena yang terjadi di sekitarnya.[3]
e.       Kurikulum
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk menjadi “terpelajar secara cultural” para siswa harus berhadapan dengan bidang-bidang ini (seni dan sains) yang merupakan karya terbaik yang diciptakan oleh manusia.
Dua pendukung dari filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins., dan Mortimer Adler. Sebagai Rektor the  University of Chicago, Hutchin (1963) mengembangkan suatu kurikulum mahasiswa S1 berdasarkan penelitian terhadap Buku Besar bersejarah (Greeat Books) dan pembahasan buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam kegiatan seminar-seminar kecil. Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan asumsi mengenai pendidikan:
1)      Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar dimana pun juga, pendek kata, kebenaran bersifat universal dan tak terikat waktu.
2)      Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan-gagasan, pendidikan juga harus memfokuskan pada gagasan-gagasan. Pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan.
3)      Pendidikan harus menstimulasi para mahasiswa untuk berpikir secara mendalam mengenai gagasan-gagasan signifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti metode pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.[4]
f.       Metode Pembelajaran
Sedang metode pendidikan yang dianjurkan, dengan menggunakan metode dalam bentuk diskusi untuk menganalisis buku-buku yang tergolong karya besar, terutama karya filosof terkemuka seperti Plato, Aristotelels, dan lain sebagainya.  Metode ini dikembangkan berdasarkan keyakinan bahwa akal pikiran mempunyai kemampuan analisis induktif dan sintesis deduktif. Dengan metode diskusi, kecerdasan pikiran peserta didik dapat dikembangkan.[5]
2.      Progressivisme
a.       Hakikat Pendidikan
Progressivisme dalam pendidikan adalah bagian dari gerakan revormis umum sosial-politik yang menandai kehidupan Amerika. Progressivisme sebagai teori yang mucul dalam reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan metode formal pengajaran, belajar mental dan, suasana klasik peradaban barat. Pada dasarnya teori menekankan beberapa prinsip, antara lain; Pertama, proses pendidikan berawal dan berakhir pada anak. Kedua, subjek didik adalah aktif, bukan pasif. Ketiga, peran guru hanya sebagai fasilitator, pembimbing atau pengarah. Keempat, sekolah harus koperatif dan demokratif. Kelima, aktifitas lebih fokus pada pemecahan masalah, bukan untuk pengajaran materi kajian.
 Menurut progresivisme proses pendidikan memiliki dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpangaruh di Amerika, yaitu psikologi dari aliran Behaviorisme dan Pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana tenaga-tenaga itu harus dibimbingnya (Imam Barnabid, 1994). 
b.      Tujuan Pendidikan
Menurut aliran ini tujuan pendidikan adalah memberikan keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berada dalam proses perubahan secara terus menerus. Yang dimaksud dengan alat-alat adalah keterampilan pemecahan masalah (problem solving) yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan, menganalisis, dan memecahkan masalah. Proses belajar terpusatkan pada perilaku cooperative dan disiplin diri. Di mana kebudayaan sangat dibutuhkan dan sangat berfungsi dalam masyarakat.
c.       Pendidik/Guru
Peranan guru adalah membimbing siswa-siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dan kegiatan proyek. Guru harus menolong siswa dalam menentukan dan memilih masalah-masalah yang bermakna, menemukan sumber-sumber data yang relevan, menafsirkan dan menilai akurasi data, serta merumuskan kesimpulan. Guru harus mampu negenali siswa, terutama pada saat apakah ia memerlukan bantuan khusus dalam suatu kegiatan, sehingga ia dapat meneruskan penelitiannya. Guru dituntut untuk sabar, fleksibel, berpikir interdisipliner, kreatif, dan cerdas.[6]
d.      Peserta Didik
Proses belajar terpusat kepada anak, namun hal ini tidak berarti bahwa anak akan diizinkan untuk mengikuti semua keinginannya, karena ia belum cukup matang untuk menentukan tujuan yang memadai. Anak memang banyak berbuat dalam menentukan proses belajar, namun ia bukan penentu akhir. Siswa membutuhkan bimbingan dan arahan dari guru dalam melaksanakan aktivitasnya.[7]
e.       Kurikulum
Kurikulum disusun sekitar pengalaman siswa, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Sains sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam pengalaman-pengalaman siswa, dan dalam pemecahan masalah serta dalam kegiatan proyek. Kurikulum saharusnya menggunakan pendekatan interdisipliner. Buku merupaka alat dalam proses belajar, bukan sumber pengetahuan.
f.       Metode Pembelajaran
Metode yang dipergunakan aladalah metode ilmiah dalam inkuiri dan metode problem solving.[8]
3.       Esensialisme
a.       Hakikat Pendidikan
Pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awak peradaban umat manusia. Menurut Joe Park, esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.[9]
b.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang.
Selain merupakan warisan budaya, tujuan pendidikan esensialisme adalah “mempersiapkan manusia untuk hidup”. Namun, hidup tersebut sangat kompleks dan luas, sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk hidup tersebut berada di luar wewenang sekolah. Hal ini tidak berarti bahwa sekolah tidak dapat memberikan kontribusi untuk mempersiapkan hidup tersebut. Kontribusi sekolah terutama bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, terutama tujuan pelajaran yang dapat dipertanggungjwabkan, yang pada akhirnya memadai untuk meempersiapkan manusia hidup.[10]
c.       Pendidik/Guru
Guru dianggap sebagai seseorang yang menguasai lapangan subjek khusus, dan merupakan model contoh yang sangat baik untuk ditiru dan digugu. Guru merupakan orang yang menguasai pengetahuan, dan kelas berada di bawah pengaruh dan pengawasan guru.[11]
d.      Peserta Didik
Sekolah bertanggung jawab atas pemberian pengajaran yang logis atau dapat dipercaya. Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa. Siswa pergi ke sekolah untuk belajar, bukan untuk mengatur pelajaran.[12]
e.       Kurikulum
Kurikulum esensialisme seperti halnya perenialisme, yaitu kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran (subject matter centered). Di sekolah dasar penekanannya pada kemampuan dasar membaca, menulis, dan matematika. Di sekolah menengah diperluas dengan perluasan pada matematika, sains, humaniora, bahasa, dan sastra.[13]
f.       Metode Pembelajaran
Metode tradisional, menekankan pada inisiatif guru.[14]
4.      Rekonstruksi
a.       Hakikat Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sosial. Misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial.[15]
b.      Tujuan Pendidikan
1)      Sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat.
2)      Tugas sekolah-sekolah konstruksionis adalah mengembangkan insinyur-insinyur sosial, warga-warga negara mempunyai tujuan mengubah cara radikal wajah masyarakat masa kini.
3)      Tujuan pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan kesadaran para pesrta didik tentang masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
c.       Pendidik/Guru
Guru harus membuat para peserta didik menyadari masalah masalah yang dihadapi umat manusia dan membantu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut.
d.      Peserta Didik
Siswa hendaknya dipandang sebagai bunga yang sedang mekar. Hal ini mengandung arti bahwa siswa adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat masa depan.
e.       Kurikulum
Kurikulum berisi mata-mata pelajaran yang berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan. Kurikulum banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia, yang termasuk didalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik sendiri, dan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif.
f.       Metode Pembelajaran
Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan programatik untuk perbaikan. Dengan demikian dengan menggunakan metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan, dan penyusun program aksi perbaikan masyarakat.[16]
B.     Perbandingan Konsep Filsafat Pendidikan antar Tokoh
1.      Ki Hadjar Dewantoro
a.       Hakikat Pendidikan
Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.
b.      Tujuan Pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan dari pendidikan adalah penguasaan diri, sebab disinilah pendidikan memanusiakan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia. Ketika peserta didik mampu menguasai dirinya, maka mereka akan mampu untuk menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa. Beliau juga menunjukkan bahwa tujuan diselenggarakannya pendidikan adalah membantu peserta didik menjadi manusia yang merdeka. Menjadi manusia yang merdeka berarti tidak hidup terperintah, berdiri tegak dengan kekuatan sendiri, dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Dengan kata lain, pendidikan menjadikan seseorang mudah diatur, tetapi tidak dapat disetir.
c.       Pendidik/Guru
Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar.
d.      Peserta Didik
Pendidik menempatkan peserta didiknya sebagai subjek, bukan objek pendidikan. Artinya, peserta didik diberi ruang yang seluas-luasnya untuk melakukan eksplorasi potensi-potensi dirinya dan kemudian berekspresi secara kreatif, mandiri dan bertanggung jawab. Pendidik atau pamong adalah orang yang menuntun proses pengekspresian potensi-potensi diri peserta didiknya agar terarah dan tidak destrktif bagi dirinya dan sesamanya.[17]
e.       Kurikulum
Pelajaran yang dibolehkan kepada anak-anak boleh dibagi menjadi dua. Pertama, mata pelajaran yang selain memberi pengetahuan atau kepandaian juga berpengaruh kepada kemajuan batin, dalam arti memasakkan (mematangkan) pikiran, rasa dan kemauan. Sedangkan yang Kedua, adalah mata pelajaran yang akan memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu mata pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.
Pada bagian berikutnya Ki Hadjar mengatakan:
Bahwa pelajaran yang menajamkan pikiran dan berdasarkan kemasyarakatan itu umumnya menjadi pokoknya program pendidikan secara Barat, yang kita jumpai dalam sistem sekolah dengan ekor-ekornya: intelektualisme dan materialisme, yaitu mendewakan angan-angan dan keduniaan. Adapun pendidikan secara Timur yang sekarang juga mulai dimasukkan dalam cara pendidikan di Eropa, biasanya mengutamakan keluhuran budi pekerti.[18]
f.       Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran sistem among dapat digambarkan dalam semboyan filsafat kependidikan beliau yang sangat terkenal:
 Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan),
 Ing madya mangun karsa (di tengah memberi kesempatan untuk berkarya), Tut wuri handayani (dari belakang memberi dorongn dan arahan).[19]
2.      Driyakarya
a.       Hakikat Pendidikan
Pendidikan didefinisikan sebagai upaya memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Pendidikan itu adalah pelaksanaan (pemberlakuan) nilai-nilai. Dalam hal ini, pendidikan seharusnya mampu membawa anak didik untuk mengalami, menghayati nilai-nilai keagamaan, sehingga anak didik membangun nilai-nilai keagamaan itu di dalam kepribadannya.
Pendidikan adalah pemanusiaan anak. Pemanusiaan di sini mempunyai dua arti: pendidik memanusiakan anak didik dan anak didik mmemanusiakan dirinya. Pendidikan adalah pembudayaan anak. Pembudayaan di sini menunjukkan aktivitas baik dari pendidik maupun anak didik. Pembudayaan di sini jangan dipandang dalam arti yang khusus dan bertingkat tinggi. Sebagai contoh: ibu mengajari anak mengenakan sepatu dan celana, dan anak kelak dapat berbuat hal itu sendiri, itupun sudah masuk kebudayaan dan pembudayaan.[20]
b.      Tujuan Pendidikan
Menurut Driyakarya tujuan pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Selain itu pendidikan juga sebagai pembentukan manusia yang berbudaya.
c.       Pendidik/Guru
Pendidik memanusiakan anak didik dan anak didik mmemanusiakan dirinya, serta pendidik membudayakan anak, dan anak karena di budayakan itu membudayakan diri.
d.      Peserta Didik
Anak didik adalah manusia muda, manusia yang masih dalam taraf potensial, manusia yang belum sampai pada taraf “maksimal”. Maka dari itu, mengapa mendidik itu disebut suatu perbuatan fundamental. Sebabnya, karena mendidik itu adalah memanusiakan manusia muda, mendidik itu adalah homonisasi dan humanisasi, yaitu perbuatan yang menyebabkan manusia menjadi manusia.[21]
3.      Paulo Freire
a.       Hakikat Pendidikan
Filsafat pendidikan Paulo Freire merupakan suatu usaha untuk menganalisis secara filosofis terhadap konsep pendidikan Paulo Freire yang berangkat dari asumsi bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dari sistem yang menindas. Konsekuensinya, pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik pihak yang berkuasa dalam sebuah rezim. Pendidikan merupakan suatu sarana untuk memproduksi kesadaran dalam rangka mengembalikan sifat kemanusiaan setelah terjadinya proses dehumanisasi. Dalam kerangka pembebasan, pendidikan harus memiliki kepekaan terhadap persoalan ketidakadilan sosial dan harus mendudukkan peserta didik sebagai subjek dari segala kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, kesadaran kritis sangat diperlukan wujudnya pada kepribadian peserta didik.
Dalam filsafat pendidikannya, Paulo Freire juga menekankan pentingnya pendidikan yang dialogis sebagai manifestasi dari pendidikan hadapmasalah yang menekankan problem-problem aktual melalui kegiatan yang disebutnya dengan: kodifikasi dan dekodifikasi, diskusi kultural dan aksi kultural. Dengan demikian, pendidikan gaya bank harus ditinggalkan dan dihilangkan sama sekali sejalan dengan munculnya pendidikan sebagai proses pembebasan.
Proses pendidikan pembebasan dengan cara mengalihkan semua cara dan aktivitas yang bernada dehumanisasi kepada cara dan aktivitas yang bernada penuh kepada proses humanisasi. Jadi, Paulo Freire telah menjadikan pendidikan sebagai sebuah proses transformasi sosial menuju kepada perubahan ke arah kemajuan yang ditandai dengan adanya peralihan situasi dari: teologi tradisional menuju teologi pembebasan, proses anti dialog menuju proses dialog, masyarakat tertutup menjadi masyarakat terbuka, invasi kultural menjadi aksi kultural dialogis, masifikasi menuju konsientisasi, pendidikan gaya bank menuju pendidikan hadap-masalah dan masyarakat buta huruf menuju “masyarakat melek huruf”.[22]
b.      Tujuan Pendidikan
Freire merumuskan sebuah konsep tujuan pendidikan yang dapat memberikan hak manusia untuk mengaktualisasikan potensi dan kreativitasnya sendiri, berikut konsep tujuan pendikan dalam pandangan Freire:
1)      Pendidikan untuk penyadaran (Conscientizacao)
Konsep pendidikan freire yang paling urgen adalah bertujuan untuk penyadaran manusia akan realitas sosialnya (Conscientizacao).
2)      Pendidikan untuk pembebasan
Dalam banyak kesempatan Freire mengatakan bahwa pendidikan nilai paling vital bagi proses pembebasan manusia. Baginya pendidikan jalur permanen pembebasan, dan berada dalam dua tahap: pertama pendidikan menjadikan orang sadar akan penindasan yang menimpa mereka dan melalui gerakan praksis untuk mengbubah keadaan itu. Kedua pendidikan merupakan proses permanen aksi budaya pembebasan.[23]
3)      Pendidikan untuk humanisasi
Humanisasi merupakan fitrah manusia, namun ia sering di ingkari oleh manusia sendiri (terutama oleh golongan penindas), justru karena adanya pengingkaran tersebut, humanisasi menjadi disadari. Pengingkaran biasanya berupa perlakuan tidak adil, pemerasan, penindasan dan kekejaman kaum penindas. Bentuk kerinduan kaum tertindas akan kebebasan dan keadilan, serta perjuangan mereka untuk menarik kembali harkat kemanusiaan mereka yang hilang.[24]
c.       Pendidik/Guru
Desain pembelajaran model Paulo Freire menginspirasi model pendidikan andragogi yaitu pendidikan orang dewasa, secara dialogis, guru berposisi sebagai fasilitator.[25]
d.      Peserta Didik
Peserta didik dituntut untuk aktif memaknai berbagai persoalan seputar pengalaman hidupnya dan berusaha memecahkannya. Peserta didik tidak saja dipersiapkan supaya mampu mengantisipasi masa depan. Namun juga sekaligus menyadari dan ikut berpartisipasi dengan situasi sosial sesungguhnya
e.       Kurikulum
Kurikulum dalam pandangan Freire berpusat pada “problematisasi” situasi yang kongkret. Peserta didik bersama pendidiknya memaknai berbagai persoalan seputar pengalaman hidupnya dan berusaha memecahkannya. Kurikulum yang bertolak dari realitas kongkret peserta didik serta berdasarkan atas prinsip-prinsip yang dinamis, bukan pola statis (seperti dalam pendidikan sistem bank), adalah mutlak bagi proses pendidikan yang sejati yang membebaskan.16 Inilah yang dimaksud Freire dengan perlunya perlunya experience-centerd curriculum dalam sistem sekolah.  Aspek-aspek dalam experience-centerd curriculum didasarkan pada kebutuhan dan minat peserta didik untuk, kemudian diarahkan bagi perkembangan pribadinya secara integral terutama aspek berfikir, emosi, motorik, dan pengalaman sosial.
f.       Metode Pembelajaran
Metode dialogis merupakan upaya yang dilakukan oleh Freire terhadap pendidikan “gaya bank”, yang telah menjadikan pendidikan sebagai ajang monopoli pendidik terhadap peserta didik di sekolah. Peserta didik akan menjadi sangat tumpul daya kreasinya jika pendekatan model monolog tersebut tetap diterapkan. Menurut Freire dialog antar manusia harus bedasarkan atas kepekaan terhadap kemampun bawaan untuk menemukan diri sendiri. Dialog mengandalkan kerendahan hati, yaitu kemauan belajar dari orang lain meskipun menurut perasaan kebudayaan dianggap lebih rendah, memperlakukan orang lain sederajat, keyakinan bahwa orang lain dapat mengajar kita. Dialog menuntut sikap mau mendengar dan memahami diri sendiri bahwa manusia sebagai makhluk yang belum selesai.[26]
4.      Ivan Illich
a.       Hakikat Pendidikan
Sebagai pemikir Humanis dan Religius, Illich cenderung mendefenisikan pendidikan dalam arti luas. Baginya pendidikan sama dengan hidup. Pedidikan adalah segala sesuatu yang ada dalam kehidupan untuk mempengaruhi proses pertumbuhan dan perkembangan. Jadi pendidikan dapat diartikan sebagai pengalaman belajar sesorang sepanjang hidupnya.[27]
b.      Tujuan Pendidikan
Tentang tujuan pendidikan Ivan Illich berpendapat bahwa suatu sistem pendidikan yang baik harus mempunyai tiga tujuan, yaitu (1) memberi kesempatan semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat, (2) memungkinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dapat dengan mudah melakukannya, demikian pula bagi yang ingin mendapatkannya, (3) menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.Sistem semacam itu menuntut agar jaminan pendidikan menurut konstitusi benar-benar ditegakkan. Para pelajar tidak boleh dipaksa untuk tunduk pada suatu kurikulum wajib, atau tunduk pada diskriminasi yang didasarkan pada apakah mereka memiliki sertifikat atau ijazah.[28]
c.       Pendidik/Guru
Kearifan yang berkaitan dengan lembaga sekolah mengatakan kepada orang tua, murid, dan pendidik bahwa guru, kalau sedang mengajar, harus menunjukkan wibawanya dalam penampilan yang angker. Sekolah juga cenderung menyita waktu dan tenaga guru. Ini pada gilirannya akan membuat guru sebagai pengawas, pengkotbah, dan ahli terapi.
Guru sebagai pengawas bertindak sebagai pemimpin upacara. Guru-sebagai-moralis mengganti peran orang tua, Tuhan, atau negara. Ia mengajarkan anak-anak tentang apa yang benar atau salah dari segi moral, tidak saja di dalam sekolah melainkan di dalam masyarakat luas. Ia berperan sebagai orang tua bagi setiap anak dan karena itu menjamin bahwa semua mereka merasa sebagai anak-anak dari negara yang sama. Guru- sebagai-ahli-terapi merasa punya wewenang untuk menyelidiki kehidupan pribadi setiap murid untuk membantunya berkembang sebagai seorang pribadi.
d.      Peserta Didik
Illich sendiri mendefinisikan anak adalah murid. Kita telah terbiasa dengan anak. Kita telah memutuskan bahwa mereka harus ke sekolah, mereka harus melakukan apa yang dikatakan pada mereka, sebab mereka belum punya gaji ataupun keluarganya sendiri. Kita juga berharap mereka tahu diri dan berperangai sebagaimana layaknya anak.[29]
e.       Kurikulum
Di manapun sekolah berada, ”kurikulum tersembunyi” selalu sama. Kurikulum itu menuntut agar semua anak berumur tertentu berkumpul dalam kelompok-kelompok sekitar 30 orang, di bawah bimbingan seorang guru berijasah, untuk belajar selama 500 hingga 1000 jam atau lebih pertahun.
Kurikulum selalu digunakan untuk menentukan rangking sosial. Kurikulum bisa terdiri dari rangkaian kemahiran atau kenaikan pangkat. Kini kita harus mengenali keterasingan manusia dari belajarnya sendiri ketika pengetahuan menjadi produk sebuah profesi jasa (guru) dan pelajar menjadi konsumennya. Alternatif bagi ketergantungan pada sekolah bukanlah penggunaan sumber-sumber daya masyarakat untuk membeli peralatan baru tertentu yang ”membuat” orang belajar, melainkan, penciptaan corak relasi edukatif yang baru antara manusia dengan lingkungannya. Untuk memacu corak relasi ini, sikap terhadap perkembangan pribadi seseorang, sarana yang tersedia untuk kegiatan belajar, dan kualitas serta struktur kehidupan sehari-hari harus diubah sejalan dengan itu.[30]
f.       Metode Pembelajaran
Ivan Illich percaya bahwa belajar secara pasif itu salah, maka para pelajar dibebaskan memutuskan sendiri apa yang mereka ingin pelajari dan bagaimana diajarkannya.[31]


BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antar aliran dan antar tokoh masing-masing mempunyai pandangan sendiri mengenai konsep pendidikan. Pandangan yang satu dengan yang lainnya memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Adakalanya, beberapa pandangan saling mendukung, dan adakalanya pula berbeda dan saling berlawanan.
Namun demikian, pandangan-pandangan tersebut mempunyai peran dalam kehidupan khususnya dalam dunia pendidikan. Dengan mempelajari perbandingan konsep filsafat pendidikan antar aliran dan tokoh, kita dapat mengetahui pemikiran (pandangan) dari masing-masing aliran dan tokoh tersebut. Sehingga dalam pelaksanaannya, kita dapat berpedoman atau membandingkan konsep pendididikan seperti apa yang pas dan cocok untuk diterapkan.


DAFTAR PUSTAKA
Baharudin. Gagasan Ivan Illich Tentang Pendidikan, Vol. 2, No. 2, Januari 2014.

Danuwinata. Sebuah Prawacana Dalam: Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, 2008.


Dewantara, Ki Hadjar. Karya Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama, Pendidikan. Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1967.

Freire, Paulo. Pendidikan Yang Membebaskan, Pendidikan Yang Memanusiakan, Dalam Omi Intan Naomi, Menggugat Pendidikan Fundamentalisme, Konserfatif, Liberal, Dan Anarkhis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.


Hanif, Muh.. Desain Pembelajaran untuk Transformasi Sosial, Vol. 8, No. 2, Desember 2014.


http://sriastutiolivemon.blogspot.co.id/2015/10/makalah-filsafat-pendidikan-aliran.html, diakses pada hari Rabu, 28 Desember 2016 pukul 06.00 WIB.

Idi, Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014.

Maunah, Binti. Landasan Pendidikan. Yogyakarta: Teras, 2009.

Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabetaa, 2003.

Saefuddin, A.M.. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan, 1991.

Suhartono, Suparlan. Wawasan Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruzz, 2008.

Zuhairini dkk.. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2012.


[1] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), 89.
[2] Suparlan Suhartono, Wawasan Pendidikan (Yogyakarta: Ar Ruzz, 2008), 132.
[3] http://sriastutiolivemon.blogspot.co.id/2015/10/makalah-filsafat-pendidikan-aliran.html, diakses pada hari Rabu, 28 Desember 2016 pukul 06.00 WIB.
[4] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabetaa, 2003), 155-156.
[5]  Suparlan Suhartono, Wawasan Pendidikan, 133.
[6] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 147-148.
[7] Ibid., 146.
[8] Ibid., 148.
[9] Zuhairini dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), 25.
[10] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 161.
[11] Ibid., 163.
[12] Ibid., 165.
[13] Ibid., 162.
[14] Ibid., 165.
[15] Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 171.
[16] Binti Maunah, Landasan Pendidikan (Yogyakarta: Teras, 2009), 204-205.
[18] Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara: Bagian Pertama, Pendidikan (Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1967), 80.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Muh. Hanif, Desain Pembelajaran untuk Transformasi Sosial, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, 120-121.
[23] Paulo Freire, Pendidikan Yang Membebaskan, Pendidikan Yang Memanusiakan, Dalam Omi Intan Naomi, Menggugat Pendidikan Fundamentalisme, Konserfatif, Liberal, Dan Anarkhis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 446-447.   
[24] A.M.Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi (Bandung: Mizan 1991), 126. 
[25] Muh. Hanif, Desain Pembelajaran untuk Transformasi Sosial, 124.
[26] Danuwinata, Sebuah Prawacana Dalam: Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, 2008), 23.
[27] Baharudin, Gagasan Ivan Illich Tentang Pendidikan, Vol. 2, No. 2, Januari 2014, 131.
[28] Ibid., 133.
[29] Ibid., 136-138.
[30] Ibid., 139-141.
[31] Ibid., 142.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi)

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Tekno...