Sabtu, 05 Januari 2019

PESANTREN



PESANTREN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
LOGO IAIN.jpg
Disusun Oleh: kelompok 9:
Wahyu Nurohim                     (210315044)
Fiki Zahro Z.                           (210315071)
Liya Rizki Fadillah                 (210315058)
Kelas/Semester:
TB.B/III
Dosen Pengampu:
Yusmicha Ulya Afif, M.Pd.I.

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
DESEMBER 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, ternyata memiliki sebuah sistem pendidikan yang khas dan unik bernama pesantren. Dikatakan khas karena pendidikan model pesantren hanya berkembang pesat di Indonesia. Sementara di negara lain akan sulit model pendidikan seperti ini. Selain khas dan unik, pesantren juga merupakan pendidikan Islam asli produk Indonesia.
Karena unik dank has itulah maka sudah banyak ragam perspektif yang mengkaji pesantren. Diantaranya tentang sejarah, materi, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kami akan mencoba menguraikan sedikit tentang pesantren dilihat dari aspek sejarah berdirinya, unsur-unsur, sistem pendidikan, dan jenis-jenis pesantren.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah berdirinya pesantren?
2.      Apa unsur-unsur pesantren?
3.      Bagaimana sistem pendidikan di pesantren?
4.      Apa jenis-jenis pesantren?






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Berdirinya Pesantren
Pengertian pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an berarti tempat tinggal santri. Di dalam bukunya prof. Dr. H Haidar Putra Daulay, MA, Soegarda Poerbakawatja menjelaskan bahwa pesantren berasal dari kata santri, yaitu seseorang yang belajar agama Islam, sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti sebagai tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian.[1]
Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama’ atau da’i. pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya “tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu “pondok” juga berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti hotel atau asrama.
Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan adannya lembaga pendekatan lanjutan. Namun demikian faktor guru yang memenuhi persyaratan keilmuan yang diperlukan sangat menentukan bagi tumbuhnya suatu pesantren. Pada umumnya, berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut untuk memperoleh ilmu dari guru tersebut, maka masyarakat sekitar, bahkan dari masyarakat luar daerah datang kepadannya untuk belajar.[2] Mereka lalu membangun tempat tinggal yang sederhana disekitar tempat tinggal guru tersebut. Semakin tinggi ilmu guru, semakin banyak pula orang dari luar daerah yang datang untuk menuntut ilmu kepadanya, dan berarti semakin besar pula pondok pesantrennya.[3] 
B.     Unsur-Unsur Pesantren
Sementara itu, yang menjadi ciri khas pesantren sekaligus menunjukkan unsur-unsur pokoknya, membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya.
1.      Pondok
Adanya pondok pesantren sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya, dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda dengan lembaga pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Pesantren juga menampung santri-santri dari daerah yang jauh untuk bermukim. Pada awal perkembangannya, pondok bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat training atau latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat. Para santri dibawah bimbingan kiai bekerja untuk untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dalam situasi berkekeluargaan dan bergotong royong sesama warga. Tetapi dalam perkembangannya berikutnya terutama pada masa sekarang tampaknya lebih menonjol fungsinnya sebagai tempat pemondokan atau asrama dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok terebut.[4]
Ada beberapa alasan pokok sebab pentingnya pondok dalam satu pesantren. Pertama, banyak santri yang berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada kiai yang sudah termashur keahliannya. Kedua, pesantren tersebut terletak di desa-desa dimana tidak tersedia perumahan untuk menampung santri yang berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kiai dan santri, dimana para santri menganggap kiai adalah seolah-olah orang tuannya sendiri.[5] 
2.      Masjid
Masjid sebagai kegiatan ibadah dan belajar. Disamping masjid sebagai tempat melakukan sholat berjamaah setiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai tempat melakukan belajar mengajar. Pada sebagian pesantren, masjid juga sebagai tempat I’tikaf untuk melakukan latihan-latihan suluk atau dzikir.[6] 
Suatu pesantren mutlak memiliki masjid, sebab disitulah akan dilangsungkan proses pendidikan dalam bentuk komunikasi belajar mengajar antara kiai dan santri. Masjid sebagai pusat pendidikan Islam telah langsung sejak Rasulullah Saw, dilsnjutkan Khulafa Ar-rasyidin, Dinasti Bani Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah dan dinasti-dinasti lain. Tradisi itu tetap dipegang oleh para kiai pemimpin pesantren untuk untuk menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan.[7] 
3.      Santri
Santri merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasannya terdiri dari 2 kelompok, yaitu:
a.       Santri mukim merupakan santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
b.      Santri kalong merupakan santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya tidak menetap dalam pesantren tersebut, mereka pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.[8]
Di dunia pesantren bisa saja dilakukan seorang santri pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain, setelah seorang santri merasa sudah cukup lama di satu pesantren, maka dia pindah ke pesantren lainnya. Biasannya kepindahan santri tersebut untuk menambah dan mendalami suatu ilmu yang menjadi keahlian dari seorang kiai yang di datangi itu.
Pada pesantren yang masih tergolong tradisional, lamanya santri bermukim di tempat itu bukan ditentukan oleh tahun atau kelas, tapi diukur dari kitab yang dibaca. Seperti yang diungkapkan terdahulu bahwa kitab-kitab itu ada yang bersifat dasar, menengah dan kitab-kitab besar. Kitab-kitab itu semakin tinggi semakin sulit memahami isinnya, oleh karena itu santri dituntut untuk menguasai kitab-kitab dasar dan menengah sebelum memasuki kitab-kitab besar.[9]
4.      Kiai
Kiai merupakan tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena itu, kiai merupakan salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren. Gelar kiai diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren, serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santri.[10] Dalam perkembangannya, kadang-kadang sebutan kiai juga diberikan kepada mereka yang mempunyai keahlian yang mendalam dibidang agama Islam, dan tokoh masyarakat, walaupun tidak memiliki atau memimpin serta memberikan pelajaran di pesantren. Umumnya, tokoh-tokoh tersebut adalah alumni dari pesantren.[11]  
5.      Kitab-kitab islam klasik
Unsur pokok lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab yang diajarkan.
Pada sebagian pesantren, sistem penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran makin berubah, karena dipengruhi perkembangan pendidikan di tanah air, serta tuntutan dari masyarakat di lingkungan pondok pesantren sendiri. Namun sebagian pesantren tetap mempertahankan sistem pendidikan yang lama.
Pergeseran-pergeseran nilai yang terjadi menuntut pesantren untuk melakukan relevan sesuai zamannya, tanpa kehilangan identitas sebagai lembaga pendidikan Islami.[12]
Kitab-kitab klasik tersebut sering disebut dengan kitab kuning. Kitab kuning adalah sebutan yang literatur yang digunakan sebagai rujukan umum dalam proses pendidikan Islam tradisional pesantren. Kitab kuning digunakan secara luas di lingkungan pesantren, terutama dalam pesantren yang masih menggunakan metode pengajaran dalam bentuk halaqah.[13]

C.     Sistem Pendidikan di Pesantren
Pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal, yaitu model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorogan, wetonan atau bandungan (berdasarkan istilah dari Jawa Barat) dan hafalan.
Sorogan disebut juga sebagai cara mengajar perkepala, yaitu setiap santri mendapat kesempatan tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari kiai. Dengan cara sorogan ini, pelajaran diberikan oleh pembantu kiai disebut “badal”. Dengan metode bandungan atau halaqah dan sering juga disebut wetonan, para santri duduk di sekitar kiai dan membentuk lingkaran. Kiai maupun santri dalam halaqah tersebut memegang kitab masing-masing. Kiai membacakan teks kitab, kemudian menerjemahkannya kata demi kata, menerangkan maksudnya. Santri menyimak kitab masing-masing dan mendengarkan dengan seksama terjemahan dan penjelasan-penjelasan kiai. Kemudian, santri mengulang dan mempelajari kembali secara sendiri-sendiri. Meskipun pesantren tidak mengenal evaluasi secara formal, dengan mengajarkan secara halaqah ini, kemampuan para santri dapat diketahui.[14] 
Disamping metode wetonan dan sorogan, maka metode hafalan pun juga sangat penting di dunia pesantren. Pelajaran-pelajaran tertentu dengan materi-materi tertentu diwajibkan untuk dihafalkan. Misalnya, dalam pelajaran Al-Qur’an dan Hadis, ada sejumlah ayat-ayat dan hadis-hadis yang wajib dihafalkan oleh santri. Demikian juga dalam pelajaran lainnya: fikih, bahasa Arab, tafsir, tasawuf, akhlaq, dan lain-lain. Hafalan-hafalan tersebut biasannya berbentuk nazam (sya’ir). Misalnya kaidah-kaidah nahwu seperti Alfiyah, adalah merupakan bagian yang mesti dihafal oleh santri, begitu juga nadzam dari pelajaran lainnya.[15]
D.    Jenis-Jenis Pesantren
Pesantren dapat dibedakan menjadi tiga corak, yaitu pertama, pesantren tradisional, pesantren yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem pendidikanya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantren ini. Umumnya pesantren corak ini masih eksis di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa desa adalah benteng terakhir dalam mempertahankan tradisi-tradisi keIslaman. Kedua, pesantren tradisional, corak pendidikan pada pesantren ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi tidak sepenuhnya. Prinsip selektivitas untuk menjaga nilai tradisional masih terpelihara. Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan yang dapat menambah wawasan para santri sebagai penunjang kitab-kitab klasik. Manajemen dan administrasi sudah mulai ditata secara modern meskipun sistem tradisionalnya masih dipertahankan. Sudah ada semacam yayasan, biaya pendidikan sudah mulai dipungut. Alumni pesantren corak ini cenderung melanjutkan pendidikannya ke sekolah atau perguruan tinggi formal. Ketiga, pesantren modern. Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Pengembangan bakat atau minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan porsi sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (bahasa Arab dan Inggris) sangat ditekankan.[16]


BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
1.      Berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut untuk memperoleh ilmu dari guru tersebut, maka masyarakat sekitar, bahkan dari masyarakat luar daerah datang kepadannya untuk belajar.
2.      Unsur-unsur pesantren meliputi: pondok, masjid, santri, kiai, dan kitab-kitab Islam klasik.
3.      Sistem pendidikan di pesantren terdiri dari: sorogan, wetonan atau bandungan, dan hafalan.
4.      Jenis-jenis pesantren antara lain: pesantren tradisional, pesantren tradisional, dan pesantren modern.


DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.


Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.


Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai.  Jakarta: LP3ES, 1983.


Djamas, Nurhayati. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.


Engku, Iskandar dan Siti Zubaidah. SEjarah Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2014.


Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.


Wathoni, Kharisul. Dinamika Sejarah Pendidikan Islam. Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2011.


[1] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), 26-27.
[2] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2011), 127. 
[3] Iskandar Engku, Sejarah Pendidikan Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 116.
[4] Ibid., 117-118.
[5] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 62-63.
[6] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 129.
[7] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, 63.
[8] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 129.
[9] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, 64-65.
[10] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 129-130.
[11] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1983), 137.
[12] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islam, 120.
[13] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan  (Jakarta: PT RAJA GRAFIND                O PERSADA, 2009), 34.
[14] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, 130-131.
[15] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, 69-70.
[16] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 289-290.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi)

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Tekno...