PESANTREN
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia”
Disusun Oleh: kelompok 9:
Wahyu Nurohim (210315044)
Fiki Zahro Z. (210315071)
Liya Rizki Fadillah
(210315058)
Kelas/Semester:
TB.B/III
Dosen
Pengampu:
Yusmicha Ulya Afif, M.Pd.I.
FAKULTAS
TARBIYAH
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
DESEMBER 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara yang penduduknya mayoritas
beragama Islam, ternyata memiliki sebuah sistem pendidikan yang khas dan unik
bernama pesantren. Dikatakan khas karena pendidikan model pesantren hanya
berkembang pesat di Indonesia. Sementara di negara lain akan sulit model
pendidikan seperti ini. Selain khas dan unik, pesantren juga merupakan
pendidikan Islam asli produk Indonesia.
Karena unik dank has itulah maka sudah banyak ragam perspektif yang
mengkaji pesantren. Diantaranya tentang sejarah, materi, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka kami akan mencoba menguraikan
sedikit tentang pesantren dilihat dari aspek sejarah berdirinya, unsur-unsur,
sistem pendidikan, dan jenis-jenis pesantren.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana sejarah berdirinya
pesantren?
2.
Apa unsur-unsur pesantren?
3.
Bagaimana sistem pendidikan di
pesantren?
4.
Apa jenis-jenis pesantren?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Berdirinya Pesantren
Pengertian pesantren berasal dari kata santri,
dengan awalan pe- dan akhiran –an berarti tempat tinggal santri. Di dalam
bukunya prof. Dr. H Haidar Putra Daulay, MA, Soegarda Poerbakawatja menjelaskan
bahwa pesantren berasal dari kata santri, yaitu seseorang yang belajar agama Islam,
sehingga dengan demikian pesantren mempunyai arti sebagai tempat orang
berkumpul untuk belajar agama Islam. Ada juga yang mengartikan pesantren adalah
salah satu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional” untuk
mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian.[1]
Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah islamiyah, yakni
menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader
ulama’ atau da’i. pesantren sendiri menurut pengertian dasarnya “tempat belajar
para santri”, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang
terbuat dari bambu. Disamping itu “pondok” juga berasal dari bahasa Arab “funduq”
yang berarti hotel atau asrama.
Pembangunan suatu pesantren didorong oleh kebutuhan masyarakat akan
adannya lembaga pendekatan lanjutan. Namun demikian faktor guru yang memenuhi
persyaratan keilmuan yang diperlukan sangat menentukan bagi tumbuhnya suatu
pesantren. Pada umumnya, berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan
masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena
keinginan menuntut untuk memperoleh ilmu dari guru tersebut, maka masyarakat
sekitar, bahkan dari masyarakat luar daerah datang kepadannya untuk belajar.[2]
Mereka lalu membangun tempat tinggal yang sederhana disekitar tempat tinggal
guru tersebut. Semakin tinggi ilmu guru, semakin banyak pula orang dari luar
daerah yang datang untuk menuntut ilmu kepadanya, dan berarti semakin besar
pula pondok pesantrennya.[3]
B.
Unsur-Unsur Pesantren
Sementara itu, yang menjadi ciri khas pesantren sekaligus menunjukkan
unsur-unsur pokoknya, membedakan dengan lembaga pendidikan lainnya.
1.
Pondok
Adanya pondok
pesantren sebagai tempat tinggal bersama antara kiai dengan para santrinya, dan
bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, merupakan pembeda
dengan lembaga pendidikan yang berlangsung di masjid atau langgar. Pesantren
juga menampung santri-santri dari daerah yang jauh untuk bermukim. Pada awal
perkembangannya, pondok bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat training
atau latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam
masyarakat. Para santri dibawah bimbingan kiai bekerja untuk untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, dalam situasi berkekeluargaan dan bergotong royong
sesama warga. Tetapi dalam perkembangannya berikutnya terutama pada masa
sekarang tampaknya lebih menonjol fungsinnya sebagai tempat pemondokan atau
asrama dan setiap santri dikenakan semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan
pondok terebut.[4]
Ada beberapa
alasan pokok sebab pentingnya pondok dalam satu pesantren. Pertama, banyak
santri yang berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada kiai
yang sudah termashur keahliannya. Kedua, pesantren tersebut terletak di
desa-desa dimana tidak tersedia perumahan untuk menampung santri yang
berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kiai
dan santri, dimana para santri menganggap kiai adalah seolah-olah orang tuannya
sendiri.[5]
2.
Masjid
Masjid sebagai
kegiatan ibadah dan belajar. Disamping masjid sebagai tempat melakukan sholat
berjamaah setiap waktu shalat, juga berfungsi sebagai tempat melakukan belajar
mengajar. Pada sebagian pesantren, masjid juga sebagai tempat I’tikaf untuk
melakukan latihan-latihan suluk atau dzikir.[6]
Suatu
pesantren mutlak memiliki masjid, sebab disitulah akan dilangsungkan proses
pendidikan dalam bentuk komunikasi belajar mengajar antara kiai dan santri. Masjid
sebagai pusat pendidikan Islam telah langsung sejak Rasulullah Saw, dilsnjutkan
Khulafa Ar-rasyidin, Dinasti Bani Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyah dan dinasti-dinasti
lain. Tradisi itu tetap dipegang oleh para kiai pemimpin pesantren untuk untuk
menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan.[7]
3.
Santri
Santri
merupakan unsur pokok dari suatu pesantren, biasannya terdiri dari 2 kelompok,
yaitu:
a.
Santri mukim merupakan
santri yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.
b.
Santri kalong merupakan
santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya tidak
menetap dalam pesantren tersebut, mereka pulang ke rumah masing-masing setiap
selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren.[8]
Di dunia
pesantren bisa saja dilakukan seorang santri pindah dari satu pesantren ke
pesantren yang lain, setelah seorang santri merasa sudah cukup lama di satu
pesantren, maka dia pindah ke pesantren lainnya. Biasannya kepindahan santri
tersebut untuk menambah dan mendalami suatu ilmu yang menjadi keahlian dari
seorang kiai yang di datangi itu.
Pada pesantren
yang masih tergolong tradisional, lamanya santri bermukim di tempat itu bukan
ditentukan oleh tahun atau kelas, tapi diukur dari kitab yang dibaca. Seperti
yang diungkapkan terdahulu bahwa kitab-kitab itu ada yang bersifat dasar,
menengah dan kitab-kitab besar. Kitab-kitab itu semakin tinggi semakin sulit
memahami isinnya, oleh karena itu santri dituntut untuk menguasai kitab-kitab
dasar dan menengah sebelum memasuki kitab-kitab besar.[9]
4.
Kiai
Kiai merupakan
tokoh sentral dalam pesantren yang memberikan pengajaran. Karena itu, kiai
merupakan salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren.
Gelar kiai diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan
yang mendalam tentang agama Islam dan memiliki serta memimpin pondok pesantren,
serta mengajarkan kitab-kitab klasik kepada para santri.[10]
Dalam perkembangannya, kadang-kadang sebutan kiai juga diberikan kepada mereka
yang mempunyai keahlian yang mendalam dibidang agama Islam, dan tokoh
masyarakat, walaupun tidak memiliki atau memimpin serta memberikan pelajaran di
pesantren. Umumnya, tokoh-tokoh tersebut adalah alumni dari pesantren.[11]
5.
Kitab-kitab islam klasik
Unsur pokok
lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa
pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu,
mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Pelajaran
dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan
kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan
pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis-jenis kitab yang diajarkan.
Pada sebagian
pesantren, sistem penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran makin berubah,
karena dipengruhi perkembangan pendidikan di tanah air, serta tuntutan dari
masyarakat di lingkungan pondok pesantren sendiri. Namun sebagian pesantren
tetap mempertahankan sistem pendidikan yang lama.
Pergeseran-pergeseran
nilai yang terjadi menuntut pesantren untuk melakukan relevan sesuai zamannya,
tanpa kehilangan identitas sebagai lembaga pendidikan Islami.[12]
Kitab-kitab
klasik tersebut sering disebut dengan kitab kuning. Kitab kuning adalah sebutan
yang literatur yang digunakan sebagai rujukan umum dalam proses pendidikan Islam
tradisional pesantren. Kitab kuning digunakan secara luas di lingkungan
pesantren, terutama dalam pesantren yang masih menggunakan metode pengajaran
dalam bentuk halaqah.[13]
C.
Sistem Pendidikan di Pesantren
Pondok
pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal, yaitu
model sistem pendidikan dengan menggunakan metode pengajaran sorogan, wetonan
atau bandungan (berdasarkan istilah dari Jawa Barat) dan hafalan.
Sorogan disebut juga
sebagai cara mengajar perkepala, yaitu setiap santri mendapat kesempatan
tersendiri untuk memperoleh pelajaran secara langsung dari kiai. Dengan cara sorogan
ini, pelajaran diberikan oleh pembantu kiai disebut “badal”. Dengan metode bandungan
atau halaqah dan sering juga disebut wetonan, para santri
duduk di sekitar kiai dan membentuk lingkaran. Kiai maupun santri dalam halaqah
tersebut memegang kitab masing-masing. Kiai membacakan teks kitab, kemudian
menerjemahkannya kata demi kata, menerangkan maksudnya. Santri menyimak kitab
masing-masing dan mendengarkan dengan seksama terjemahan dan
penjelasan-penjelasan kiai. Kemudian, santri mengulang dan mempelajari kembali
secara sendiri-sendiri. Meskipun pesantren tidak mengenal evaluasi secara
formal, dengan mengajarkan secara halaqah ini, kemampuan para santri
dapat diketahui.[14]
Disamping
metode wetonan dan sorogan, maka metode hafalan pun juga sangat penting di
dunia pesantren. Pelajaran-pelajaran tertentu dengan materi-materi tertentu
diwajibkan untuk dihafalkan. Misalnya, dalam pelajaran Al-Qur’an dan Hadis, ada
sejumlah ayat-ayat dan hadis-hadis yang wajib dihafalkan oleh santri. Demikian
juga dalam pelajaran lainnya: fikih, bahasa Arab, tafsir, tasawuf, akhlaq, dan
lain-lain. Hafalan-hafalan tersebut biasannya berbentuk nazam (sya’ir).
Misalnya kaidah-kaidah nahwu seperti Alfiyah, adalah merupakan bagian yang
mesti dihafal oleh santri, begitu juga nadzam dari pelajaran lainnya.[15]
D.
Jenis-Jenis Pesantren
Pesantren
dapat dibedakan menjadi tiga corak, yaitu pertama,
pesantren tradisional, pesantren yang masih tetap mempertahankan
nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti
dalam sistem pendidikanya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak
pesantren ini. Umumnya pesantren corak ini masih eksis di daerah-daerah
pedalaman atau pedesaan. Sehingga bisa dikatakan bahwa desa adalah benteng
terakhir dalam mempertahankan tradisi-tradisi keIslaman. Kedua, pesantren tradisional, corak pendidikan pada pesantren ini
sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan modern, tetapi tidak sepenuhnya.
Prinsip selektivitas untuk menjaga nilai tradisional masih terpelihara.
Misalnya, metode pengajaran dan beberapa rujukan tambahan yang dapat menambah
wawasan para santri sebagai penunjang kitab-kitab klasik. Manajemen dan
administrasi sudah mulai ditata secara modern meskipun sistem tradisionalnya
masih dipertahankan. Sudah ada semacam yayasan, biaya pendidikan sudah mulai
dipungut. Alumni pesantren corak ini cenderung melanjutkan pendidikannya ke
sekolah atau perguruan tinggi formal. Ketiga,
pesantren modern. Pesantren corak ini telah mengalami transformasi yang sangat
signifikan baik dalam sistem pendidikannya maupun unsur-unsur kelembagaannya.
Materi pelajaran dan metodenya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Pengembangan
bakat atau minat sangat diperhatikan sehingga para santri dapat menyalurkan
bakat dan hobinya secara proporsional. Sistem pengajaran dilaksanakan dengan
porsi sama antara pendidikan agama dan umum, penguasaan bahasa asing (bahasa
Arab dan Inggris) sangat ditekankan.[16]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
1.
Berdirinya suatu pesantren diawali
dari pengakuan masyarakat akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau
kiai. Karena keinginan menuntut untuk memperoleh ilmu dari guru tersebut, maka
masyarakat sekitar, bahkan dari masyarakat luar daerah datang kepadannya untuk
belajar.
2.
Unsur-unsur pesantren meliputi:
pondok, masjid, santri, kiai, dan kitab-kitab Islam klasik.
3.
Sistem pendidikan di pesantren
terdiri dari: sorogan, wetonan atau bandungan, dan hafalan.
4.
Jenis-jenis pesantren antara lain:
pesantren tradisional, pesantren tradisional, dan pesantren modern.
DAFTAR PUSTAKA
Daulay, Haidar Putra. Pendidikan
Islam: Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Daulay, Haidar Putra. Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi
Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai. Jakarta:
LP3ES, 1983.
Djamas, Nurhayati. Dinamika
Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan. Jakarta: Rajawali Pers,
2009.
Engku, Iskandar dan Siti Zubaidah. SEjarah
Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset, 2014.
Nizar, Samsul. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
Wathoni, Kharisul. Dinamika
Sejarah Pendidikan Islam. Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2011.
[1] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam:
Dalam Sistem Pendidikan Nasional Di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), 26-27.
[2] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah
Pendidikan Islam Di Indonesia (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2011), 127.
[3] Iskandar Engku, Sejarah Pendidikan Islam (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2014), 116.
[4] Ibid., 117-118.
[5] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan
Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 62-63.
[6] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, 129.
[7] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan
Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, 63.
[8] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, 129.
[9] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan
Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, 64-65.
[10] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia, 129-130.
[11] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren:
Studi Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1983), 137.
[12] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah
Pendidikan Islam, 120.
[13] Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan
Islam Di Indonesia Pasca Kemerdekaan (Jakarta:
PT RAJA GRAFIND O PERSADA,
2009), 34.
[14] Kharisul Wathoni, Dinamika Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, 130-131.
[15] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan
Dan Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, 69-70.
[16] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007), 289-290.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar