Jumat, 04 Januari 2019

Kemajuan Islam pada masa Bani Abbasiyah



Kelompok       : 3
Kelas/semester: PAI.B/5
Anggota          : Diah Permata Krisna (210315065)
Liya Rizki Fadillah   (210315058)
Ma’rifatul Uma         (210315039)

KEMAJUAN ISLAM PADA MASA BANI ABBASIYAH
A.    Sejarah Berdirinya Bani Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.[1]
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.[2] Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1.      Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.      Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3.      Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.      Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.      Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.[3]
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.[4]
Dinasti Abbasiyah mencapai keberhasilannya disebabkan dasar-dasarnya telah berakar semenjak Umayyah berkuasa. Ditinjau dari proses pembentukannya, Dinasti Abbasiyah didirikan atas dasar-dasar antara lain:
1.      Dasar kesatuan untuk menghadapi perpecahan yang timbul dari dinasti sebelumnya.
2.      Dasar universal (bersifat universal), tidak terlandaskan atas kesukuan.
3.      Dasar politik dan administrasi menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan.
4.      Dasar kesamaan hubungan dalam hukum bagi setiap masyarakat Islam.
5.      Pemerintahan bersifat Muslim moderat, ras Arab hanyalah dipandang sebagai salah satu bagian saja di antara ras-ras lain.
6.      Hak memerintah sebagai ahli waris nabi masih tetap di tangan mereka.[5]
Di antara situasi-situasi yang mendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan menjadi lemah dinasti sebelumnya adalah:
1.      Timbulnya pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bin Abi Thalib (Syiah).
2.      Munculnya golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara Muawiyah dengan Syiah, dan kebijakan-kebijakan land reform yang kurang adil.
3.      Timbulnya politik penyelesaian khalifah dan konflik dengan cara damai.
4.      Adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada Al-Qur’an dan oleh golongan Khawarij orang Islam non-Arab.
5.      Adanya konsep hijrah dimana setiap orang harus bergabung dengan golongan Khawarij yang tidak bergabung dianggapnya sebagai orang yang berada pada dar al-harb, dan hanya golongan Khawarijlah yang berada pada dar al-Islam.
6.      Bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertempuran Karbala.
7.      Munculnya paham mawali, yaitu paham tentang perbedaan antara orang Islam Arab dengan non-Arab.[6]
Sejarah telah mengukir bahwa pada masa dinasti Abbasiyah, umat Islam benar-benar berada di puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu. Masa pemerintahan ini merupakan golden age dalam perjalanan sejarah peradaban Islam.[7]
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekusaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya, dibunuh oleh Abu Muslim al Khurasani atas perintah Abu Ja’far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.[8]
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Clesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan perananya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.[9]
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Diantara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.[10]
B.     Kemajuan Islam Pada Masa Bani Abbasiyah
1.      Kemajuan Politik
Pada masa awal berdirinya dinasti Abbasiyah, ada beberapa langkah yang digunakan untuk upaya pemantapan dan stabilitas dinasti Abbasiyah yang mewarisi seluruh wilayah dinasti Umayyah, antara lain:
a.       Melenyapkan kekuasaan dinasti Umayyah yang tersisa
Meskipun pada saat itu kekuasaan dinasti Umayyah sudah mulai lemah, namun khalifah Abu al-Abbas tetap menyiapkan pasukan-pasukan di bawah pimpinan Abdullah bin Ali, paman Abu al-Abbas untuk melenyapkan kekuatan dinasti Umayyah yang masih tersisa. Hal ini dilakukan karena, dinasti Umayyah dianggap akan membahayakan dinasti Abbasiyah yang baru berdiri.
b.      Memadamkan upaya-upaya gerakan pemberontakan
Sekalipun pasukan-pasukan dinasti Abbasiyah telah bekerja keras menghabisi semua yang dianggap bahaya, namun masih ada upaya pemberontakan dan ancaman yang dilakukan sebagian pihak, di masa pemerintahan khalifah al-Mansur, di antaranya:
1)        Abdullah ibn Ali
Abdullah ibn Ali adalah orang yang berjasa besar dan berhasil membunuh khalifah Marwan II. Dia membuat gerakan pemberontakan karena ketidakpuasannya terhadap penunjukan khalifah Abu Ja’far al-Mansur sebagai khalifah, bukan menunjuk dirinya. Dia mempunyai alasan yang kuat karena sebelumnya oleh khalifah Abu al-Abbas dijanjikan menjadi khalifah, dia berhasil membunuh khalifah Marwan II. Namun gerakan ini telah berhasil diatasi oleh khalifah al-Mansur.
2)        Abu Muslim al-Khurasani
Sebagaimana Abdullah ibn Ali, Abu Muslim al-Khurasani adalah orang yang sangat berjasa dalam penggulingan dinasti Umayyah. Dia berhasil menumpulkan kekuatan di Khurasan. Karena potensi-potensi yang dimiliki Abu Muslim sangat kuat, maka khalifah al-Mansur takut bila sewaktu-waktu dia menggulingkan dirinya sebagai khalifah dinasti Abbasiyah. Lalu khalifah al-Mansur memerintahkan algojo istana untuk membunuh Abu Muslim al-Khurasani.
3)        Gerakan Syi’ah
Golongan ini juga mempunyai peran penting dalam penggulingan dinasti Abbasiyah. Namun setelah dinasti Abbasiyah berdiri, golongan ini memberontak, karena khalifah lebih memihak kepada golongan mawali dalam urusan pemerintahan.
2.      Bidang Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan salah satu faktor terpenting dalam menopang tegaknya pemerintahan. Begitu pula dengan masa pemerintahan bani Abbasiyah yang juga sangat memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Unsur-unsur ekonomi yang dikembangkan zaman dinasti Abbasiyah sebagai berikut:
a.       Pertanian
Para petani dibina dan diarahkan, bahkan pajak bumi mereka diringankan. Selain itu, khalifah juga berusaha memperluas areal pertanian, sarana pra-sarana transportasi baik darat maupun laut ke daerah-daerah pertanian serta membangun irigasi dan mengairi kanal untuk menyalurkan air ke areal pertanian.[11] Dengan perhatiannya khalifah yang begitu besar, maka dapat meningkatkan produktifittas pertanian, yang sekaligus menambah pendapatan Negara. 
b.      Perindustrian
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan perindustrian adalah adanya potensi alam berupa barang tambang seperti perak, tembaga, biji besi dan lain-lain, serta hasil pertanian sebagai bahan baku industri. Selain itu adanya usaha alih teknologi industri, misalnya apa yang dilakukan oleh tawanan serdadu China yang dikalahkan dalam pertempuran di Asia Tengah pada tahun 751 H. Mereka ini adalah ahli dalam perindustrian. Khalifah mengadakan proyek alih teknologi dari mereka khususnya industri kertas. Dari sini muncullah kota-kota industri dan kota kosmopolitan dengan beraneka hasil industrinya, seperti tekstil, sutra, wol, gelas dan keramik.[12]
3.      Bidang Administrasi
Dalam menjalankan tugasnya khalifah dibantu oleh wazir (perdana menteri). Wazir di sini adalah orang terdekat khalifah dan orang kepercayaannya. Wazir berhak memecat pegawai pemerintahan, kepala daerah, dan hakim. Urusan teknis masa dinasti Abbasiyah dibagi menjadi tiga bagian: pertama, bagian pengarsipan (diwan al-rasail); kedua, bagian pajak (diwan al-kharaj); ketiga, bagian keuangan untuk menggaji tentara khalifah, pegawai istana, dan para pensiunan.[13] Adapun pendapatan negara pada saat pemerintahan bani Abbas ini secara umum:
a.       Pajak hasil bumi yang disebut kharaj.
b.      Pajak jiwa yang disebut jizyah.
c.       Berbagai macam bentuk zakat.
d.      Pajak perniagaan dan cukai yang disebut dengan syur.
e.       Pembayaran pihak musuh karena kalah perang disebut fai’.
f.       Rampasan perang atau ghanimah.[14]
4.      Bidang Ilmu Pengetahuan
a.       Bidang Tafsir
Banyak ahli tafsir yang muncul pada masa dinasti Abbasiyah, di antaranya adalah Syu’bat ibn Hajjaj (160 H), Waki’ ibn al-Jarrah (197 H), Sufyan ibn Uyainat (198 H), Raul ibn Ubadat al-Basri (205 H), Abd al-Razzaq ibn al-Hammam (211 H), ibn Majah (273 H), Ibn Jarir al-Thabari (310 H), dan lain-lain.[15]
b.      Bidang Hadis
Pada masa ini, lahirlah kitab sahih, sunan dan musnad, setelah al-Muwatta’. Imam Bukhari dan Muslim menghimpun hadis ke dalam kitab sahih, sedangkan imam hadis terkenal lainnya, seperti Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan ibn Majah masing-masing menyusun kitab sunan. Demikian juga Imam Ahmad dengan kitab musnadnya. Kitab-kitab hadis inilah, yang hingga sekarang dijadikan rujukan oleh para ulama.[16]
c.       Bidang Fikih
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Yaitu Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi’i (767-820 M), Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M). dalam pendapat-pendapat hukum Imam Abu Hanifah banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah. Pendapat ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Sedangkan Imam Malik menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat hukum dua imam tersebut di tengahi oleh ImamSyafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal.
d.      Bidang Kalam
Tokoh-tokoh yang terkenal pada masa ini antara lain. Al-Asy’ari (324 H), Al-Baqilani (403 H), Al-Juwaini (478 H), Al-Ghozali (505 H), Al-Maturidi (333 H).[17]
e.       Bidang Qiraat
Ulama-ulama bidang ini yang terkenal adalah  Yahya ibn Haris al-Zimari (145 H), Hamzah ibn Habib al-Zayat (156 H), Abu Abdirahman al-Muqri’ (213 H), Khalaf ibn Hisyam al-Bazaz (229 H), Ibn Zakwan (242 H).[18]
f.       Bidang Filsafat, Kedokteran, Astronomi, Optika, Matematika, Kimia, dan Sejarah
Dalam bidang filsafat tokoh-tokoh yang terkenal antara lain: Al-Kindi (873 H), Ibn Sina (428 H), Ibn Rusyd (428 H), Al-Farabi (339 H). Dalam bidang kedokteran adalah IBn Sina dan Al-Razi. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolabe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Gerard Cremona dan Johanes Hispalensis. Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami yang di Eropa terkenal dengan nama Alhazen adalah tokoh yang terkenal di bidang optika. Dalam bidang matematika tokoh yang terkenal adalah Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang menciptakan ilmu aljabar. Jabir ibn Hayyan adalah tokoh yang terkenal di bidang kimia. Sedangkan al-Mas’udi terkenal di bidang sejarah.[19]
C.    Sebab-sebab Kemunduran Dinasti Abbasiyah
1.      Faktor Internal
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, sehingga benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
     Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami.
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447 H), dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590 H).
b.      Munculnya Dinasti-dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti.
Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi. Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan Turki.
c.       Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H. Setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
2.      Faktor Eksternal
a.       Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.
b.      Serangan Mongol
Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H). 
Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongol menguasai negeri-negeri Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil. Pada bulan September 1257, Hulagu mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota. Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang. Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.[20]















KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.      Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah. Pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dam budaya.
2.      Kemajuan yang dicapai dinasti Abbasiyah meliputi kemajuan politik, kemajuan di bidang ekonomi, kemajuan di bidang administrasi, dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
3.      Pada tahun 1258 M dinasti Abbasiyah mengalami kemunduran. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain:
a.       Faktor internal: adanya perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri, dan kemerosotan perekonomian.
b.      Faktor eksternal: adanya perang salib dan serangan dari Mongol.


DAFTAR PUSTAKA

Fuadi, Imam. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras, 2011.


http://cicikcantik.blogspot.co.id/2016/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html, Diakses pada tanggal 5 Oktober 2017, pukul 17.10.


Ilaihi, Wahyu dan Harjani Hefni. Pengantar Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana, 2007.


Saefuddin, Didin. Zaman Keemasan Islam. Jakarta: PT. Grasindo, 2002.

Suwito dan Fauzan. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2005.

Syalabi, A.. Sejarah Peradaban Islam 3. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997.


Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011.


Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.


Tim Catha Edukatif. Sejarah Kebudayaan Islam. Sukoharjo: CV Sindunata, tanpa tahun.


Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.


Berilah tanda silang (x) pada huruf a, b, c, atau d pada jawaban yang benar dan tepat!
1.        Daulah Bani Abasiyah, berpusat di kota ….
a. Madinah
b. Mesir
c. Bagdad
d. Damaskus
2.        Pendiri Dinasti Bani Umayah adalah ….
a. Harun Al-Rasyid
b. Al-Makmun
c. Al-Mu’tasim
d. Abu Abbas As-Saffah
3.    Khalifah pertama dari Dinasti Bani Abasiyah adalah ….
a. Abu Abbas As-Saffah
b. Ja’far Al-Manshur
c. Yazid bin Muawiyah
d. Harun Al-Rasyid
4.    Daulah Bani Abasiyah mencapai puncak kejayaan pada masa khalifah ….
a. As-Safah
b. Harun Al-Rasyid
c. Sulaiman
d. Umar bin Abdul Azis
5.    Dinasti Abbasiyah berdiri pada tahun ….
a. 132 H
b. 136 H
c. 158 H
d. 169 H
6.    Ahli sejarah membagi perkembangan Bani Abasiyah menjadi lima tahap, tahap pertama mendapat pengaruh dari ….
a. Persia
b. Turki
c. Yunani
d. Arab 
7.    Kekuasaan Daulah Bani Abasiyah berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yakni selama … tahun.
a. 400
b. 500
c. 600
d. 700
8.    Khalifah yang memindahkan ibukota pemerintahan dari Damaskus ke Bagdad adalah ….
a. Abu Ja’far al-Manshur
b. Harun Al-Rasyid
c. Al-Mu’tasim
d. As-Safah
9.    Ulama fikih yang memasukkan unsur tradisi Madinah dalam mengambil keputusan hukum adalah ….
a. Imam Hanafi
b. Imam Malik
c. Imam Syafi’i
d. Imam Hambali
10. Imam Ahmad ibn Hambal yang mazhabnya dikenal dengan mazhab Hambali, meninggal dunia tahun ….
a. 780 M
b. 870 M
c. 855 M
d. 875 M



[1] Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005), 11.
[2] Ibid.
[3] Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007), 117.
[4] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 94.
[5] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 44. 
[6] Ibid., 45.
[7] Ibid., 53.
[8] A. Syalabi, Sejarah Peradaban Islam 3 (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997), 107.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 124.
[12] Ibid., 125.
[13] Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam (Jakarta: PT. Grasindo, 2002), 79.
[14] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, 126.
[15] Tim Catha Edukatif, Sejarah Kebudayaan Islam (Sukoharjo: CV Sindunata, tanpa tahun), 15.
[16] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, 141.
[17] Tim Catha Edukatif, Sejarah Kebudayaan Islam, 13.
[18] Ibid., 15.
[19] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 56.
[20] http://cicikcantik.blogspot.co.id/2016/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html, Diakses pada tanggal 5 Oktober 2017, pukul 17.10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi)

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Tekno...