Kelompok : 3
Kelas/semester: PAI.B/5
Anggota : Diah
Permata Krisna (210315065)
Liya Rizki Fadillah (210315058)
Ma’rifatul Uma (210315039)
KEMAJUAN ISLAM
PADA MASA BANI ABBASIYAH
A.
Sejarah
Berdirinya Bani Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah,
dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad
SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.[1]
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana
disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah
Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan
al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656
H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.[2]
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan
biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1.
Periode Pertama (132 H/750 M-232
H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.
Periode Kedua (232 H/847 M-334
H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3.
Periode Ketiga (334 H/945 M-447
H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah.
Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.
Periode Keempat (447 H/1055 M-590
H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah
Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.
Periode Kelima (590 H/1194 M-656
H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya
hanya efektif di sekitar kota Bagdad.[3]
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa
keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun
setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam
bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.[4]
Dinasti Abbasiyah mencapai keberhasilannya disebabkan
dasar-dasarnya telah berakar semenjak Umayyah berkuasa. Ditinjau dari proses
pembentukannya, Dinasti Abbasiyah didirikan atas dasar-dasar antara lain:
1.
Dasar kesatuan untuk menghadapi
perpecahan yang timbul dari dinasti sebelumnya.
2.
Dasar universal (bersifat
universal), tidak terlandaskan atas kesukuan.
3.
Dasar politik dan administrasi
menyeluruh, tidak diangkat atas dasar keningratan.
4.
Dasar kesamaan hubungan dalam hukum
bagi setiap masyarakat Islam.
5.
Pemerintahan bersifat Muslim
moderat, ras Arab hanyalah dipandang sebagai salah satu bagian saja di antara
ras-ras lain.
6.
Hak memerintah sebagai ahli waris
nabi masih tetap di tangan mereka.[5]
Di antara situasi-situasi yang mendorong berdirinya Dinasti
Abbasiyah dan menjadi lemah dinasti sebelumnya adalah:
1.
Timbulnya pertentangan politik
antara Muawiyah dengan pengikut Ali bin Abi Thalib (Syiah).
2.
Munculnya golongan Khawarij, akibat
pertentangan politik antara Muawiyah dengan Syiah, dan kebijakan-kebijakan land
reform yang kurang adil.
3.
Timbulnya politik penyelesaian
khalifah dan konflik dengan cara damai.
4.
Adanya dasar penafsiran bahwa
keputusan politik harus didasarkan pada Al-Qur’an dan oleh golongan Khawarij
orang Islam non-Arab.
5.
Adanya konsep hijrah dimana setiap
orang harus bergabung dengan golongan Khawarij yang tidak bergabung dianggapnya
sebagai orang yang berada pada dar al-harb, dan hanya golongan
Khawarijlah yang berada pada dar al-Islam.
6.
Bertambah gigihnya perlawanan
pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah terbunuhnya Husein bin Ali dalam
pertempuran Karbala.
7.
Munculnya paham mawali, yaitu
paham tentang perbedaan antara orang Islam Arab dengan non-Arab.[6]
Sejarah telah
mengukir bahwa pada masa dinasti Abbasiyah, umat Islam benar-benar berada di
puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu. Masa pemerintahan ini
merupakan golden age dalam perjalanan sejarah peradaban Islam.[7]
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat,
yaitu dari tahun 750-754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari daulat
Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi
lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi’ah yang merasa
dikucilkan dari kekusaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar
yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah
bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk
sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak
bersedia membaiatnya, dibunuh oleh Abu Muslim al Khurasani atas perintah Abu
Ja’far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya,
dihukum mati pada tahun 755 M.[8]
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah.
Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri
itu, al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya,
Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Clesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian,
pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di
ibu kota yang baru ini al Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban
pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di
lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan
tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, Wazir
pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia
juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah
ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan perananya dengan tambahan
tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah
sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan
pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.[9]
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang
sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di
daerah perbatasan. Diantara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng
di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke
utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus.
Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan
senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga
berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia,
Turki di bagian lain Oksus dan India.[10]
B.
Kemajuan Islam
Pada Masa Bani Abbasiyah
1.
Kemajuan Politik
Pada masa awal
berdirinya dinasti Abbasiyah, ada beberapa langkah yang digunakan untuk upaya
pemantapan dan stabilitas dinasti Abbasiyah yang mewarisi seluruh wilayah
dinasti Umayyah, antara lain:
a.
Melenyapkan kekuasaan dinasti
Umayyah yang tersisa
Meskipun pada
saat itu kekuasaan dinasti Umayyah sudah mulai lemah, namun khalifah Abu
al-Abbas tetap menyiapkan pasukan-pasukan di bawah pimpinan Abdullah bin Ali,
paman Abu al-Abbas untuk melenyapkan kekuatan dinasti Umayyah yang masih
tersisa. Hal ini dilakukan karena, dinasti Umayyah dianggap akan membahayakan
dinasti Abbasiyah yang baru berdiri.
b.
Memadamkan upaya-upaya gerakan
pemberontakan
Sekalipun
pasukan-pasukan dinasti Abbasiyah telah bekerja keras menghabisi semua yang
dianggap bahaya, namun masih ada upaya pemberontakan dan ancaman yang dilakukan
sebagian pihak, di masa pemerintahan khalifah al-Mansur, di antaranya:
1)
Abdullah ibn Ali
Abdullah ibn
Ali adalah orang yang berjasa besar dan berhasil membunuh khalifah Marwan II.
Dia membuat gerakan pemberontakan karena ketidakpuasannya terhadap penunjukan
khalifah Abu Ja’far al-Mansur sebagai khalifah, bukan menunjuk dirinya. Dia
mempunyai alasan yang kuat karena sebelumnya oleh khalifah Abu al-Abbas
dijanjikan menjadi khalifah, dia berhasil membunuh khalifah Marwan II. Namun
gerakan ini telah berhasil diatasi oleh khalifah al-Mansur.
2)
Abu Muslim al-Khurasani
Sebagaimana
Abdullah ibn Ali, Abu Muslim al-Khurasani adalah orang yang sangat berjasa
dalam penggulingan dinasti Umayyah. Dia berhasil menumpulkan kekuatan di
Khurasan. Karena potensi-potensi yang dimiliki Abu Muslim sangat kuat, maka khalifah
al-Mansur takut bila sewaktu-waktu dia menggulingkan dirinya sebagai khalifah
dinasti Abbasiyah. Lalu khalifah al-Mansur memerintahkan algojo istana untuk
membunuh Abu Muslim al-Khurasani.
3)
Gerakan Syi’ah
Golongan ini
juga mempunyai peran penting dalam penggulingan dinasti Abbasiyah. Namun
setelah dinasti Abbasiyah berdiri, golongan ini memberontak, karena khalifah
lebih memihak kepada golongan mawali dalam urusan pemerintahan.
2.
Bidang Ekonomi
Faktor ekonomi
merupakan salah satu faktor terpenting dalam menopang tegaknya pemerintahan.
Begitu pula dengan masa pemerintahan bani Abbasiyah yang juga sangat
memperhatikan pertumbuhan ekonomi. Unsur-unsur ekonomi yang dikembangkan zaman
dinasti Abbasiyah sebagai berikut:
a.
Pertanian
Para petani
dibina dan diarahkan, bahkan pajak bumi mereka diringankan. Selain itu,
khalifah juga berusaha memperluas areal pertanian, sarana pra-sarana
transportasi baik darat maupun laut ke daerah-daerah pertanian serta membangun
irigasi dan mengairi kanal untuk menyalurkan air ke areal pertanian.[11]
Dengan perhatiannya khalifah yang begitu besar, maka dapat meningkatkan
produktifittas pertanian, yang sekaligus menambah pendapatan Negara.
b.
Perindustrian
Adapun
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan perindustrian adalah adanya potensi
alam berupa barang tambang seperti perak, tembaga, biji besi dan lain-lain,
serta hasil pertanian sebagai bahan baku industri. Selain itu adanya usaha alih
teknologi industri, misalnya apa yang dilakukan oleh tawanan serdadu China yang
dikalahkan dalam pertempuran di Asia Tengah pada tahun 751 H. Mereka ini adalah
ahli dalam perindustrian. Khalifah mengadakan proyek alih teknologi dari mereka
khususnya industri kertas. Dari sini muncullah kota-kota industri dan kota
kosmopolitan dengan beraneka hasil industrinya, seperti tekstil, sutra, wol,
gelas dan keramik.[12]
3.
Bidang Administrasi
Dalam
menjalankan tugasnya khalifah dibantu oleh wazir (perdana menteri). Wazir
di sini adalah orang terdekat khalifah dan orang kepercayaannya. Wazir berhak
memecat pegawai pemerintahan, kepala daerah, dan hakim. Urusan teknis masa
dinasti Abbasiyah dibagi menjadi tiga bagian: pertama, bagian
pengarsipan (diwan al-rasail); kedua, bagian pajak (diwan al-kharaj); ketiga,
bagian keuangan untuk menggaji tentara khalifah, pegawai istana, dan para
pensiunan.[13]
Adapun pendapatan negara pada saat pemerintahan bani Abbas ini secara umum:
a.
Pajak hasil bumi yang disebut
kharaj.
b.
Pajak jiwa yang disebut jizyah.
c.
Berbagai macam bentuk zakat.
d.
Pajak perniagaan dan cukai yang
disebut dengan syur.
e.
Pembayaran pihak musuh karena kalah
perang disebut fai’.
f.
Rampasan perang atau ghanimah.[14]
4.
Bidang Ilmu Pengetahuan
a.
Bidang Tafsir
Banyak ahli
tafsir yang muncul pada masa dinasti Abbasiyah, di antaranya adalah Syu’bat ibn
Hajjaj (160 H), Waki’ ibn al-Jarrah (197 H), Sufyan ibn Uyainat (198 H), Raul
ibn Ubadat al-Basri (205 H), Abd al-Razzaq ibn al-Hammam (211 H), ibn Majah
(273 H), Ibn Jarir al-Thabari (310 H), dan lain-lain.[15]
b.
Bidang Hadis
Pada masa ini,
lahirlah kitab sahih, sunan dan musnad, setelah al-Muwatta’. Imam Bukhari dan
Muslim menghimpun hadis ke dalam kitab sahih, sedangkan imam hadis terkenal
lainnya, seperti Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan ibn Majah masing-masing
menyusun kitab sunan. Demikian juga Imam Ahmad dengan kitab musnadnya.
Kitab-kitab hadis inilah, yang hingga sekarang dijadikan rujukan oleh para
ulama.[16]
c.
Bidang Fikih
Imam-imam
mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Yaitu
Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafi’i (767-820 M),
Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M). dalam pendapat-pendapat hukum Imam Abu
Hanifah banyak dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah. Pendapat
ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadis. Sedangkan Imam
Malik menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat hukum dua imam
tersebut di tengahi oleh ImamSyafi’i dan Imam Ahmad ibn Hanbal.
d.
Bidang Kalam
Tokoh-tokoh
yang terkenal pada masa ini antara lain. Al-Asy’ari (324 H), Al-Baqilani (403
H), Al-Juwaini (478 H), Al-Ghozali (505 H), Al-Maturidi (333 H).[17]
e.
Bidang Qiraat
Ulama-ulama
bidang ini yang terkenal adalah Yahya
ibn Haris al-Zimari (145 H), Hamzah ibn Habib al-Zayat (156 H), Abu Abdirahman
al-Muqri’ (213 H), Khalaf ibn Hisyam al-Bazaz (229 H), Ibn Zakwan (242 H).[18]
f.
Bidang Filsafat, Kedokteran,
Astronomi, Optika, Matematika, Kimia, dan Sejarah
Dalam bidang
filsafat tokoh-tokoh yang terkenal antara lain: Al-Kindi (873 H), Ibn Sina (428
H), Ibn Rusyd (428 H), Al-Farabi (339 H). Dalam bidang kedokteran adalah IBn
Sina dan Al-Razi. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai
astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolabe. Al-Fargani, yang dikenal
di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang
diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Gerard Cremona dan Johanes
Hispalensis. Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami yang di Eropa terkenal dengan
nama Alhazen adalah tokoh yang terkenal di bidang optika. Dalam bidang
matematika tokoh yang terkenal adalah Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang
menciptakan ilmu aljabar. Jabir ibn Hayyan adalah tokoh yang terkenal di bidang
kimia. Sedangkan al-Mas’udi terkenal di bidang sejarah.[19]
C.
Sebab-sebab
Kemunduran Dinasti Abbasiyah
1.
Faktor Internal
Sebagaimana
terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor penyebab
kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat
pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat,
sehingga benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani
Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan
sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa
mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor
lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor
tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai
berikut:
a.
Perebutan Kekuasaan di Pusat
Pemerintahan
Khilafah
Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib
kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah
berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri,
dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab.
Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah.
Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah
(kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas
ashabiyah tradisional.
Meskipun
demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti
dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka
adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab
('ajam) di dunia Islam.
Fanatisme
kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu,
para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim
(218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk masuk dalam
pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan,
diberi istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai
tempat yang mereka diami.
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta,
dominasi tentara Turki semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang
diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah
berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki.
Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih,
bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447 H), dan selanjutnya
beralih kepada Dinasti Seljuk,
bangsa Turki pada periode keempat (447-590 H).
b. Munculnya Dinasti-dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
Wilayah
kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas,
meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak
dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah
kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya
ditandai dengan pembayaran upeti.
Ada kemungkinan penguasa Bani
Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan pembayaran upeti.
Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk,
tingkat saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat
rendah dan juga para penguasa Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan
peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi. Selain itu, penyebab
utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya kekacauan
atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa
Persia dan Turki.
c. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode
pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang
masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal
penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat sangat maju terutama dalam bidang
pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa kemunduran
politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.
Setelah
khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan
oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu
perekonomian rakyat. Diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil
yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan
korupsi.
Kondisi
politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti
Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga
memerangi Khawarij yang mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun
140 H. Setelah al Manshur wafat digantikan oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi
kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan
mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana
seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin
dan Qaramithah
adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada
saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran
Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah
memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam
yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah.
Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan
penguasa. Al-Mutawakkil,
misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali
di Karballa
dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir
(861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah
"menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah
pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah
di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah
yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Selain itu
terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara
Ahlusunnah dengan Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan
menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil
(847-861 M), aliran Mu'tazilah
dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik daun.
Aliran Mu'tazilah
bangkit kembali pada masa Bani Buwaih.
Namun pada masa dinasti Seljuk
yang menganut paham Asy'ariyyah
penyingkiran golongan Mu'tazilah
mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
2. Faktor Eksternal
a. Perang Salib
Kekalahan
tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang
kristen terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk
yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan
sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah kesana. Oleh karena
itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat kristen Eropa
untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Perang salib yang berlangsung
dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan korban dan menguasai
beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M
mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota
Tyre.
b. Serangan Mongol
Orang-orang Mongolia adalah bangsa
yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China. Terdiri dari
kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H).
Sebagai awal penghancuran Bagdad
dan Khilafah Islam, orang-orang Mongol menguasai negeri-negeri Asia Tengah
Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil. Pada bulan September 1257,
Hulagu mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar
tembok kota sebelah luar diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan
jawaban. Maka pada Januari 1258, Hulagu khan menghancurkan tembok ibukota.
Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan berangkat ke base
pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh
hari kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya
menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40
hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang. Dan Dengan terbunuhnya
Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.[20]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Khilafah Abbasiyah merupakan
kelanjutan dari khilafah Umayyah. Pendiri dari khilafah ini adalah keturunan
Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn
Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial, dam budaya.
2.
Kemajuan yang dicapai dinasti
Abbasiyah meliputi kemajuan politik, kemajuan di bidang ekonomi, kemajuan di
bidang administrasi, dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan.
3.
Pada tahun 1258 M dinasti Abbasiyah
mengalami kemunduran. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhinya antara lain:
a.
Faktor internal: adanya perebutan kekuasaan
di pusat pemerintahan, munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri,
dan kemerosotan perekonomian.
b.
Faktor eksternal: adanya perang
salib dan serangan dari Mongol.
DAFTAR PUSTAKA
Fuadi, Imam. Sejarah
Peradaban Islam. Yogyakarta: Teras, 2011.
http://cicikcantik.blogspot.co.id/2016/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html,
Diakses pada tanggal 5 Oktober 2017, pukul 17.10.
Ilaihi, Wahyu
dan Harjani Hefni. Pengantar Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana, 2007.
Saefuddin,
Didin. Zaman Keemasan Islam. Jakarta: PT. Grasindo, 2002.
Suwito dan Fauzan. Sejarah
Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2005.
Syalabi, A.. Sejarah Peradaban
Islam 3. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997.
Syukur, Fatah. Sejarah Peradaban
Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011.
Thohir, Ajid. Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik,
dan Budaya Umat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Tim Catha Edukatif. Sejarah
Kebudayaan Islam. Sukoharjo: CV Sindunata, tanpa tahun.
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001.
Berilah tanda silang
(x) pada huruf a, b, c, atau d pada jawaban yang benar dan tepat!
1.
Daulah Bani
Abasiyah, berpusat di kota ….
a. Madinah
b. Mesir
c. Bagdad
d. Damaskus
a. Madinah
b. Mesir
c. Bagdad
d. Damaskus
2.
Pendiri Dinasti
Bani Umayah adalah ….
a.
Harun Al-Rasyid
b. Al-Makmun
c. Al-Mu’tasim
d. Abu Abbas As-Saffah
b. Al-Makmun
c. Al-Mu’tasim
d. Abu Abbas As-Saffah
3.
Khalifah pertama dari Dinasti Bani
Abasiyah adalah ….
a.
Abu Abbas As-Saffah
b. Ja’far Al-Manshur
c. Yazid bin Muawiyah
d. Harun Al-Rasyid
b. Ja’far Al-Manshur
c. Yazid bin Muawiyah
d. Harun Al-Rasyid
4.
Daulah Bani Abasiyah mencapai puncak
kejayaan pada masa khalifah ….
a. As-Safah
b. Harun Al-Rasyid
c. Sulaiman
d. Umar bin Abdul Azis
a. As-Safah
b. Harun Al-Rasyid
c. Sulaiman
d. Umar bin Abdul Azis
5. Dinasti
Abbasiyah berdiri pada tahun ….
a. 132 H
b. 136 H
c. 158 H
d. 169 H
a. 132 H
b. 136 H
c. 158 H
d. 169 H
6.
Ahli sejarah membagi perkembangan Bani
Abasiyah menjadi lima tahap, tahap pertama mendapat pengaruh dari ….
a. Persia
b. Turki
c. Yunani
d. Arab
a. Persia
b. Turki
c. Yunani
d. Arab
7.
Kekuasaan Daulah Bani Abasiyah
berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yakni selama … tahun.
a. 400
b. 500
c. 600
d. 700
a. 400
b. 500
c. 600
d. 700
8.
Khalifah yang memindahkan ibukota
pemerintahan dari Damaskus ke Bagdad adalah ….
a. Abu Ja’far al-Manshur
b. Harun Al-Rasyid
c. Al-Mu’tasim
d. As-Safah
a. Abu Ja’far al-Manshur
b. Harun Al-Rasyid
c. Al-Mu’tasim
d. As-Safah
9.
Ulama fikih yang memasukkan unsur
tradisi Madinah dalam mengambil keputusan hukum adalah ….
a. Imam Hanafi
b. Imam Malik
c. Imam Syafi’i
d. Imam Hambali
a. Imam Hanafi
b. Imam Malik
c. Imam Syafi’i
d. Imam Hambali
10.
Imam Ahmad ibn Hambal yang mazhabnya dikenal dengan mazhab Hambali, meninggal
dunia tahun ….
a. 780 M
b. 870 M
c. 855 M
d. 875 M
a. 780 M
b. 870 M
c. 855 M
d. 875 M
[1] Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial
Pendidikan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2005), 11.
[2] Ibid.
[3] Wahyu Ilaihi dan Harjani Hefni, Pengantar
Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007), 117.
[4] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam (Semarang:
PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 94.
[5] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di
Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya
Umat Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 44.
[6] Ibid., 45.
[7] Ibid., 53.
[8] A. Syalabi, Sejarah Peradaban Islam 3 (Jakarta:
PT. Al-Husna Zikra, 1997), 107.
[9] Ibid.
[11] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta:
Teras, 2011), 124.
[12] Ibid., 125.
[13] Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam (Jakarta:
PT. Grasindo, 2002), 79.
[14] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, 126.
[15] Tim Catha Edukatif, Sejarah Kebudayaan
Islam (Sukoharjo: CV Sindunata, tanpa tahun), 15.
[16] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam, 141.
[17] Tim Catha Edukatif, Sejarah Kebudayaan
Islam, 13.
[18] Ibid., 15.
[19] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2001), 56.
[20]
http://cicikcantik.blogspot.co.id/2016/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html,
Diakses pada tanggal 5 Oktober 2017, pukul 17.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar