Sabtu, 05 Januari 2019

Berpakaian secara Islami



BERPAKAIAN SECARA ISLAMI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Materi PAI di SMA & SMK
LOGO IAIN.jpg
Disusun Oleh:
Liya Rizki Fadillah                 (210315058)

Kelas/Semester:
PAI.B/IV

Dosen Pengampu:
Erwin Yudi Prahara, M.Ag

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
MARET 2017


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada era modern ini tren busana muslimah semakin berkembang dan meluas digunakan oleh kaum hawa. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, hal ini tentu sesuatu yang menggembirakan. Hampir pada semua kalangan mulai anak-anak sampai mereka yang berusia lansa tidak canggung mengenakan jilbab di semua area, baik area publik ataupun yang lainnya.
Akan tetapi jika perilaku berbusana muslimah hanya disebabkan oleh tren semata dan bukan atas kesadaran keagamaan yang memerintahkan untuk menutup aurat, hal ini akan sia-sia.
Untuk itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai makna aurat, makna jilbab dan busana muslimah, ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis tentang perintah berbusana muslim/muslimah, syarat pada busana muslimah, dan yang terakhir adalah etika berpakaian yang dianjurkan Nabi saw.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa makna aurat?
2.      Apa makna jilbab dan busana muslimah?
3.      Bagaimana dalil Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadis tentang perintah berbusana muslim/muslimah?
4.      Apa syarat yang harus dipenuhi pada busana muslimah?

5.      Bagaimana etika berpakaian yang dianjurkan Nabi saw.?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui makna aurat.
2.      Mengetahui makna jilbab dan busana muslimah.
3.      Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis tentang perintah berbusana muslim/muslimah.
4.      Mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi pada busana muslimah.
5.      Mengetahui etika berpakaian yang dianjurkan Nabi saw.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Makna Aurat
Bagian-bagian badan yang tidak boleh terlihat, biasa dinamai aurat. Kata ini terambil dari bahasa Arab ‘aurah yang oleh sementara ulama dinyatakan terambil dari kata ‘awara yang berarti hilang perasaan. Jika kata tersebut dikaitkan dengan mata, maka ia berarti hilang potensi pandangannya (buta) tetapi biasanya ia hanya digunakan bagi yang buta sebelah. Dari makna-makna di atas kata aurat dipahami dalam arti sesuatu yang buruk, atau sesuatu yang hendaknya diawasi karena ia kosong, atau rawan dan dapat menimbulkan bahaya dan rasa malu.[1]
Menurut istilah dalam hukum Islam, aurat adalah batas minimal dari bagian tubuh yang wajib ditutupi karena perintah Allah Swt.[2]
B.     Makna Jilbab dan Busana Muslim/Muslimah
Secara etimologi, jilbab adalah sebuah pakaian yang longgar untuk menutup seluruh tubuh perempuan kecuali muka dan kedua telapak tangan. Dalam bahasa Arab, jilbab dikenal dengan istilah khimar, dan dalam bahasa Inggris jilbab dikenal dengan istilah veil. Selain kata jilbab untuk menutup bagian dada hingga kepala wanita untuk menutup aurat perempuan, dikenal pula istilah kerudung, hijab, dan sebagainya. Pakaian adalah barang yang dipakai (baju, celana, dan sebagainya). Dalam bahasa

Indonesia, pakaian juga disebut busana.  Jadi, busana muslimah artinya pakaian yang dipakai oleh perempuan. Pakaian perempuan yang beragama Islam disebut busana muslimah. Berdasarkan makna tersebut, busana muslimah dapat diartikan sebagai pakaian wanita Islam yang dapat menutup aurat yang diwajibkan agama untuk menutupinya, gunanya untuk kemaslahatan dan kebaikan bagi wanita itu sendiri serta masyarakat di mana ia berada. Perintah menutup aurat sesungguhnya adalah perintah Allah Swt. yang dilakukan secara bertahap. Perintah menutup aurat bagi kaum perempuan pertama kali diperintahkan kepada istri-istri Nabi Muhammad saw. agar tidak berbuat seperti kebanyakan perempuan pada waktu itu (Q.S. al-Ahzab/33: 32-33). Setelah itu, Allah Swt. memerintahkan kepada istri-istri Nabi Saw. agar tidak berhadapan langsung dengan laki-laki yang bukan mahramnya (Q.S. al-Ahzab/33:53). Selanjutnya, karena istri-istri Nabi Muhammad saw. juga perlu keluar rumah untuk mencari kebutuhan rumah tangganya, maka Allah Swt. memerintahkan mereka untuk menutup aurat apabila hendak  keluar rumah (Q.S. al-Ahzab/33:59). Dalam ayat ini, Allah Swt. memerintahkan untuk memakai jilbab, bukan hanya kepada istri-istri Nabi Muhammad saw. dan anak-anak perempuannya, tetapi juga kepada istri-istri orang-orang yang beriman. Dengan demikian, menutup aurat atau berbusana muslimah adalah wajib hukumnya bagi seluruh wanita yang beriman.[3]
C.    Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadis tentang Perintah Berbusana Muslim/Muslimah
1.      Q.S. al-Ahzab/33:59
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# @è% y7Å_ºurøX{ y7Ï?$uZt/ur Ïä!$|¡ÎSur tûüÏZÏB÷sßJø9$# šúüÏRôム£`ÍköŽn=tã `ÏB £`ÎgÎ6Î6»n=y_ 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& br& z`øùt÷èムŸxsù tûøïsŒ÷sム3 šc%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÎÒÈ  
Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]

2.      Q.S. An-Nµr/24:31
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ ( Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ)  ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&  ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr&  ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r&  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/  ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷ƒr& Írr& šúüÏèÎ7»­F9$# ÎŽöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# šúïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàtƒ 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[5]

a.      Kandungan Q.S. al-Ahzāb/33:59
Dalam ayat ini, Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyampaikan kepada para istrinya dan juga sekalian wanita mukminah termasuk anak-anak perempuan beliau untuk memanjangkan jilbab mereka dengan maksud agar dikenali dan membedakan dengan perempuan nonmukminah. Hikmah lain adalah agar mereka tidak diganggu. Karena dengan mengenakan jilbab, orang lain mengetahui bahwa dia adalah seorang mukminah yang baik.
Pesan al-Qur’an ini datang menanggapi adanya gangguan kafir Quraisy terhadap para mukminah terutama para istri Nabi Muhammad saw. yang menyamakan mereka dengan budak. Karena pada masa itu, budak tidak mengenakan jilbab. Oleh karena itulah, dalam rangka melindungi kehormatan dan kenyamanan para wanita, ayat ini diturunkan.
Islam begitu melindungi kepentingan perempuan dan memperhatikan kenyamanan mereka dalam bersosialisasi. Banyak kasus terjadi karena seorang individu itu sendiri yang tidak menyambut ajakan al-Qur’an untuk berjilbab. Kita pun masih melihat di sekeliling kita, mereka yang mengaku dirinya muslimah, masih tanpa malu mengumbar auratnya.[6]
b.      Kandungan Q.S. an-Nµr/24:31
Dalam ayat ini, Allah Swt. berfirman kepada seluruh hamba-Nya yang mukminah agar menjaga kehormatan diri mereka dengan cara menjaga pandangan, menjaga kemaluan, dan menjaga aurat. Dengan menjaga ketiga hal tersebut, dipastikan kehormatan mukminah akan terjaga. Ayat ini merupakan kelanjutan dari perintah Allah Swt. kepada hamba-Nya yang mukmin untuk menjaga pandangan dan menjaga kemaluan. Ayat ini Allah Swt. khususkan untuk hamba-Nya yang beriman, berikut penjelasannya.
Pertama, menjaga pandangan. Pandangan diibaratkan “panah setan” yang siap ditembakkan kepada siapa saja. “Panah setan” ini adalah panah yang jahat yang merusakkan dua pihak sekaligus, si pemanah dan yang terkena panah. Rasulullah saw. juga bersabda pada hadis yang lain, “Pandangan mata itu merupakan anak panah yang beracun yang terlepas dari busur iblis, barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah Swt., maka Allah Swt. akan memberinya ganti dengan manisnya iman di dalam hatinya.”
Panah yang dimaksud adalah pandangan liar yang tidak menghargai kehormatan diri sendiri dan orang lain. Zina mata adalah pandangan haram. Al-Quran memerintahkan agar menjaga pandangan ini agar tidak merusak keimanan karena mata adalah jendela hati. Jika matanya banyak melihat maksiat yang dilarang, hasilnya akan langsung masuk ke hati dan merusak hati.
Kedua, menjaga kemaluan. Orang yang tidak dapat menjaga kemaluannya pasti tidak dapat menjaga pandangannya. Hal ini karena menjaga kemaluan tidak akan dapat dilakukan jika seseorang tidak dapat menjaga pandangannya. Menjaga kemaluan dari zina adalah hal yang sangat penting dalam menjaga kehormatan. Karena dengan terjerumusnya ke dalam zina, bukan hanya harga dirinya yang rusak, orang terdekat di sekitarnya seperti orang tua, istri/suami, dan anak akan ikut tercemar. “Dan, orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya, mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang sebaliknya, mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. al-Ma’ārij/70:29-31).
Allah Swt. sangat melaknat orang yang berbuat zina, dan menyamaratakan nya dengan orang yang berbuat syirik dan membunuh. Sungguh, tiga perbuatan dosa besar yang amat sangat dibenci oleh Allah Swt. Firman-Nya: “Dan, janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya, zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. al-Isrā’/17:32).
Ketiga, menjaga batasan aurat yang telah dijelaskan dengan rinci dalam hadis-hadis Nabi. Allah Swt. memerintahkan kepada setiap mukminah untuk menutup auratnya kepada mereka yang bukan mahram, kecuali yang biasa tampak dengan memberikan penjelasan siapa saja boleh melihat.  Di antaranya adalah suami, mertua, saudara laki-laki, anaknya, saudara perempuan, anaknya yang laki-laki, hamba sahaya, dan pelayan tua yang tidak ada hasrat terhadap wanita.
Di samping ketiga hal di atas, Allah Swt. menegaskan bahwa walaupun auratnya sudah ditutup namun jika berusaha untuk ditampakkan dengan berbagai cara termasuk dengan menghentakkan kaki supaya gemerincing perhiasannya terdengar, hal itu sama saja dengan membuka aurat. Oleh karena itu, ayat ini ditutup dengan perintah untuk bertaubat karena hanya dengan taubat dari kesalahan yang dilakukan dan berjanji untuk mengubah sikap, maka kita akan beruntung.[7]
3.      Hadis dari Ummu ‘Atiyyah
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِى اْلفِطْرِ وَاْلأَضْحَى اْلعَوَاتِقَ وَ اْلخُيَّضَ وَ ذَوَاتِ اْلخُذُوْرِ فَأَمَّا اْلحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَ يَشْهَدْنَ اْلخَيْرَ وَ دَعْوَةَ اْلمُسْلِمِيْنَ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللّهِ اِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا اُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا (رواه مسلم)
Artinya: Dari Umu ‘Atiyah, ia berkata, “Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fitri dan Adha, baik gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid, maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meninggalkan śalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah Saw., salah seorang di antara kami ada yang tidak memiliki jilbab?’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya.’” (H.R. Muslim).
a.      Kandungan Hadis
Kandungan hadis di atas adalah perintah Allah Swt. kepada para wanita untuk menghadiri prosesi salat ‘idul Fitri dan ‘idul Adha, walaupun dia sedang haid, sedang dipingit, atau tidak memiliki jilbab. Bagi yang sedang haid, maka cukup mendengarkan khutbah tanpa perlu melakukan salat berjama’ah seperti yang lain. Wanita yang tidak mempunyai jilbab pun dapat meminjamnya dari wanita lain.
Hal ini menunjukkan pentingnya dakwah/khutbah kedua salat ‘idain. Kandungan hadis yang kedua, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berisi tentang kemurkaan Allah Swt. terhadap orang yang menjulurkan pakaiannya dengan maksud menyombongkan diri.[8]
D.    Syarat yang harus dipenuhi pada Busana Muslimah
Islam tidak menentukan model pakaian untuk perempuan. Islam sebagai suatu agama yang sesuai untuk setiap masa dan dapat berkembang di setiap tempat, memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada kaum perempuan untuk merancang model pakaian yang sesuai dengan selera masing-masing, asal tidak keluar dari kriteria berikut, diantaranya:
1.      Busana dapat menutup seluruh aurat yang wajib ditutup.
2.      Busana tidak merupakan pakaian untuk dibanggakan atau busana yang menyolok mata. Maksudnya, dalam bentuk penampilan pakaian yang aneh-aneh ditengah orang banyak, karena memiliki warna yang menyolok dan lain daripada yang lain sehingga dapat merangsang perhatian orang untuk memperhatikannya, yang dapat menimbulkan rasa congkak, ketakjuban serta kebanggaan terhadap diri sendiri serta berlebih-lebihan.[9]
3.      Busana tersebut harus tebal dan tidak tipis.
4.      Busana yang akan dikenakan lebar dan tidak sempit.[10]
5.      Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
6.      Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.
7.      Bukan merupakan pakaian untuk mencari kemasyhuran.[11]
E.     Etika berpakaian yang dianjurkan Nabi saw.
Wajib bagi kita untuk memperhatikan etika berpakaian sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi saw.
1.      Berdo’a ketika memakai pakaian baru.
2.      Ketika memakai baju, dimulai dari bagian yang kanan.
3.      Tidak boleh memakai baju yang terbuat dari kulit binatang. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Jangan memakai sutera dan kulit macan.”
4.      Tidak terdapat gambar salib. Diriwayatkan dari Imran bin Hathan, bahwa Aisyah ra. mengatakan kepadanya bahwasanya Nabi saw. tidak meninggalkan sesuatu yang terdapat salib di rumahnya kecuali membuangnya.[12]




BAB III
KESIMPULAN
1.      Aurat terambil dari bahasa Arab ‘aurah yang oleh sementara ulama dinyatakan terambil dari kata ‘awara yang berarti hilang perasaan. Menurut istilah dalam hukum Islam, aurat adalah batas minimal dari bagian tubuh yang wajib ditutupi karena perintah Allah Swt.
2.      Busana muslimah dapat diartikan sebagai pakaian wanita Islam yang dapat menutup aurat yang diwajibkan agama untuk menutupinya, gunanya untuk kemaslahatan dan kebaikan bagi wanita itu sendiri serta masyarakat di mana ia berada.
3.      Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadis tentang Perintah Berbusana Muslim/Muslimah diantaranya terdapat pada Q.S. al-Ahzab/33:59, Q.S. An-Nµr/24:31, dan hadis dari Ummu ‘Atiyyah.
4.      Syarat yang harus dipenuhi pada busana muslimah yaitu: busana dapat menutup seluruh aurat yang wajib ditutup, busana tidak merupakan pakaian untuk dibanggakan atau busana yang menyolok mata, busana tersebut harus tebal dan tidak tipis, busana yang akan dikenakan lebar dan tidak sempit, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak menyerupai pakaian wanita kafir, dan bukan merupakan pakaian untuk mencari kemasyhuran.
5.      Etika berpakaian sebagaimana yang dianjurkan Nabi saw. seperti berdo’a ketika memakai pakaian baru, dimulai dari bagian yang kanan, tidak boleh memakai baju dari kulit binatang buas, dan tidak terdapat gambar salib.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani, 1999.

Amiruddin, Aam. Fiqih Kecantikan: Pnduan Cantik Sesuai Syari’at. Bandung: Khazanah Intelektual, 2010.


As-Sya’rawi, Syaikh Mutawalli. Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier. Jakarta: Amzah, 2009.


Jad, Syaikh Ahmad. Fikih Sunnah Wanita: Panduan Lengkap Menjadi Muslimah Shalehah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.


Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS, 2002.


Shihab, M. Quraish. Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati, 2010.


Suhendi, Endi dan Nelty Khairiyah. Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.


Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.





[1] M. Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 55-56.
[2] Endi Suhendi Zen dan Nelty Khairiyah, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016), 24.
[3] Ibid., 25.
[4] Aam Amiruddin, Fiqih Kecantikan: Panduan Cantik Sesuai Syari’at (Bandung: Khazanah Intelektual, 2010), 5.
[5] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2002), 56.
[6] Endi Suhendi Zen dan Nelty Khairiyah, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, 26-27.
[7] Ibid., 27-28.
[8] Ibid.,  28-29.
[9] Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 17.
[10] Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan, Sampai Wanita Karier (Jakarta: Amzah, 2009), 25.
[11] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), 88.
[12] Syaikh Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita: Panduan Lengkap Menjadi Muslimah Shalehah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), 372-373.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi)

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Tekno...