BERPAKAIAN
SECARA ISLAMI
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Materi
PAI di SMA & SMK”
Disusun Oleh:
Liya Rizki Fadillah
(210315058)
Kelas/Semester:
PAI.B/IV
Dosen
Pengampu:
Erwin Yudi Prahara, M.Ag
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
MARET 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada era modern ini tren busana muslimah semakin berkembang dan
meluas digunakan oleh kaum hawa. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, hal ini
tentu sesuatu yang menggembirakan. Hampir pada semua kalangan mulai anak-anak
sampai mereka yang berusia lansa tidak canggung mengenakan jilbab di semua area,
baik area publik ataupun yang lainnya.
Akan tetapi jika perilaku berbusana muslimah hanya disebabkan oleh
tren semata dan bukan atas kesadaran keagamaan yang memerintahkan untuk menutup
aurat, hal ini akan sia-sia.
Untuk itu, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai makna
aurat, makna jilbab dan busana muslimah, ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis tentang
perintah berbusana muslim/muslimah, syarat pada busana muslimah, dan yang
terakhir adalah etika berpakaian yang dianjurkan Nabi saw.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa makna aurat?
2.
Apa makna jilbab dan busana
muslimah?
3.
Bagaimana dalil Ayat-Ayat Al-Qur’an
dan Hadis tentang perintah berbusana muslim/muslimah?
4.
Apa syarat yang harus dipenuhi pada
busana muslimah?
5.
Bagaimana etika berpakaian yang
dianjurkan Nabi saw.?
C.
Tujuan
Pembahasan
1.
Mengetahui makna aurat.
2.
Mengetahui makna jilbab dan busana
muslimah.
3.
Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadis tentang perintah berbusana muslim/muslimah.
4.
Mengetahui syarat-syarat yang harus
dipenuhi pada busana muslimah.
5.
Mengetahui etika berpakaian yang
dianjurkan Nabi saw.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna Aurat
Bagian-bagian
badan yang tidak boleh terlihat, biasa dinamai aurat. Kata ini terambil
dari bahasa Arab ‘aurah yang oleh sementara ulama dinyatakan terambil
dari kata ‘awara yang berarti hilang perasaan. Jika kata tersebut
dikaitkan dengan mata, maka ia berarti hilang potensi pandangannya (buta) tetapi
biasanya ia hanya digunakan bagi yang buta sebelah. Dari makna-makna di atas
kata aurat dipahami dalam arti sesuatu yang buruk, atau sesuatu
yang hendaknya diawasi karena ia kosong, atau rawan dan dapat menimbulkan
bahaya dan rasa malu.[1]
Menurut
istilah dalam hukum Islam, aurat adalah batas minimal dari bagian tubuh yang
wajib ditutupi karena perintah Allah Swt.[2]
B.
Makna Jilbab
dan Busana Muslim/Muslimah
Secara etimologi, jilbab adalah sebuah pakaian
yang longgar untuk menutup seluruh tubuh perempuan kecuali muka dan kedua
telapak tangan. Dalam bahasa Arab, jilbab dikenal dengan istilah khimar,
dan dalam bahasa Inggris jilbab dikenal dengan istilah veil. Selain kata
jilbab untuk menutup bagian dada hingga kepala wanita untuk menutup aurat
perempuan, dikenal pula istilah kerudung, hijab, dan sebagainya. Pakaian adalah
barang yang dipakai (baju, celana, dan sebagainya). Dalam bahasa
Indonesia, pakaian juga disebut busana. Jadi, busana muslimah artinya pakaian yang
dipakai oleh perempuan. Pakaian perempuan yang beragama Islam disebut busana
muslimah. Berdasarkan makna tersebut, busana muslimah dapat diartikan sebagai
pakaian wanita Islam yang dapat menutup aurat yang diwajibkan agama untuk
menutupinya, gunanya untuk kemaslahatan dan kebaikan bagi wanita itu sendiri
serta masyarakat di mana ia berada. Perintah menutup aurat sesungguhnya adalah
perintah Allah Swt. yang dilakukan secara bertahap. Perintah menutup aurat bagi
kaum perempuan pertama kali diperintahkan kepada istri-istri Nabi Muhammad saw.
agar tidak berbuat seperti kebanyakan perempuan pada waktu itu (Q.S.
al-Ahzab/33: 32-33). Setelah itu, Allah Swt. memerintahkan kepada istri-istri
Nabi Saw. agar tidak berhadapan langsung dengan laki-laki yang bukan mahramnya (Q.S.
al-Ahzab/33:53). Selanjutnya, karena istri-istri Nabi Muhammad saw. juga perlu
keluar rumah untuk mencari kebutuhan rumah tangganya, maka Allah Swt.
memerintahkan mereka untuk menutup aurat apabila hendak keluar rumah (Q.S. al-Ahzab/33:59). Dalam ayat
ini, Allah Swt. memerintahkan untuk memakai jilbab, bukan hanya kepada
istri-istri Nabi Muhammad saw. dan anak-anak perempuannya, tetapi juga kepada
istri-istri orang-orang yang beriman. Dengan demikian, menutup aurat atau
berbusana muslimah adalah wajib hukumnya bagi seluruh wanita yang beriman.[3]
C.
Ayat-Ayat
Al-Qur’an dan Hadis tentang Perintah Berbusana Muslim/Muslimah
1.
Q.S. al-Ahzab/33:59
$pkr'¯»t
ÓÉ<¨Z9$#
@è%
y7Å_ºurøX{
y7Ï?$uZt/ur
Ïä!$|¡ÎSur
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
úüÏRôã
£`Íkön=tã
`ÏB
£`ÎgÎ6Î6»n=y_
4 y7Ï9ºs
#oT÷r&
br&
z`øùt÷èã
xsù
tûøïs÷sã
3 c%x.ur
ª!$#
#Yqàÿxî
$VJÏm§
ÇÎÒÈ
Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]
2.
Q.S. An-Nµr/24:31
@è%ur
ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9
z`ôÒàÒøót
ô`ÏB
£`ÏdÌ»|Áö/r&
z`ôàxÿøtsur
£`ßgy_rãèù
wur
úïÏö7ã
£`ßgtFt^Î
wÎ)
$tB
tygsß
$yg÷YÏB
( tûøóÎôØuø9ur
£`ÏdÌßJè¿2
4n?tã
£`ÍkÍ5qãã_
( wur
úïÏö7ã
£`ßgtFt^Î
wÎ)
ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9
÷rr&
ÆÎgͬ!$t/#uä
÷rr&
Ïä!$t/#uä
ÆÎgÏGs9qãèç/
÷rr&
ÆÎgͬ!$oYö/r&
÷rr&
Ïä!$oYö/r&
ÆÎgÏGs9qãèç/
÷rr&
£`ÎgÏRºuq÷zÎ)
÷rr&
ûÓÍ_t/
ÆÎgÏRºuq÷zÎ)
÷rr&
ûÓÍ_t/
£`ÎgÏ?ºuqyzr&
÷rr&
£`Îgͬ!$|¡ÎS
÷rr&
$tB
ôMs3n=tB
£`ßgãZ»yJ÷r&
Írr&
úüÏèÎ7»F9$#
Îöxî
Í<'ré&
Ïpt/öM}$#
z`ÏB
ÉA%y`Ìh9$#
Írr&
È@øÿÏeÜ9$#
úïÏ%©!$#
óOs9
(#rãygôàt
4n?tã
ÏNºuöqtã
Ïä!$|¡ÏiY9$#
( wur
tûøóÎôØo
£`ÎgÎ=ã_ör'Î/
zNn=÷èãÏ9
$tB
tûüÏÿøä
`ÏB
£`ÎgÏFt^Î
4 (#þqç/qè?ur
n<Î)
«!$#
$·èÏHsd
tmr&
cqãZÏB÷sßJø9$#
÷/ä3ª=yès9
cqßsÎ=øÿè?
ÇÌÊÈ
Artinya: “Katakanlah kepada
wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.”[5]
a.
Kandungan Q.S. al-Ahzāb/33:59
Dalam ayat
ini, Rasulullah saw. diperintahkan untuk menyampaikan kepada para istrinya dan
juga sekalian wanita mukminah termasuk anak-anak perempuan beliau untuk
memanjangkan jilbab mereka dengan maksud agar dikenali dan membedakan dengan
perempuan nonmukminah. Hikmah lain adalah agar mereka tidak diganggu. Karena
dengan mengenakan jilbab, orang lain mengetahui bahwa dia adalah seorang
mukminah yang baik.
Pesan
al-Qur’an ini datang menanggapi adanya gangguan kafir Quraisy terhadap para
mukminah terutama para istri Nabi Muhammad saw. yang menyamakan mereka dengan
budak. Karena pada masa itu, budak tidak mengenakan jilbab. Oleh karena itulah,
dalam rangka melindungi kehormatan dan kenyamanan para wanita, ayat ini
diturunkan.
Islam begitu
melindungi kepentingan perempuan dan memperhatikan kenyamanan mereka dalam
bersosialisasi. Banyak kasus terjadi karena seorang individu itu sendiri yang
tidak menyambut ajakan al-Qur’an untuk berjilbab. Kita pun masih melihat di
sekeliling kita, mereka yang mengaku dirinya muslimah, masih tanpa malu mengumbar
auratnya.[6]
b.
Kandungan Q.S. an-Nµr/24:31
Dalam ayat
ini, Allah Swt. berfirman kepada seluruh hamba-Nya yang mukminah agar menjaga
kehormatan diri mereka dengan cara menjaga pandangan, menjaga kemaluan, dan
menjaga aurat. Dengan menjaga ketiga hal tersebut, dipastikan kehormatan
mukminah akan terjaga. Ayat ini merupakan kelanjutan dari perintah Allah Swt.
kepada hamba-Nya yang mukmin untuk menjaga pandangan dan menjaga kemaluan. Ayat
ini Allah Swt. khususkan untuk hamba-Nya yang beriman, berikut penjelasannya.
Pertama,
menjaga pandangan. Pandangan diibaratkan “panah setan” yang siap ditembakkan
kepada siapa saja. “Panah setan” ini adalah panah yang jahat yang merusakkan
dua pihak sekaligus, si pemanah dan yang terkena panah. Rasulullah saw. juga
bersabda pada hadis yang lain, “Pandangan mata itu merupakan anak panah yang
beracun yang terlepas dari busur iblis, barangsiapa meninggalkannya karena
takut kepada Allah Swt., maka Allah Swt. akan memberinya ganti dengan manisnya
iman di dalam hatinya.”
Panah yang
dimaksud adalah pandangan liar yang tidak menghargai kehormatan diri sendiri
dan orang lain. Zina mata adalah pandangan haram. Al-Quran memerintahkan agar
menjaga pandangan ini agar tidak merusak keimanan karena mata adalah jendela
hati. Jika matanya banyak melihat maksiat yang dilarang, hasilnya akan langsung
masuk ke hati dan merusak hati.
Kedua, menjaga
kemaluan. Orang yang tidak dapat menjaga kemaluannya pasti tidak dapat menjaga
pandangannya. Hal ini karena menjaga kemaluan tidak akan dapat dilakukan jika
seseorang tidak dapat menjaga pandangannya. Menjaga kemaluan dari zina adalah
hal yang sangat penting dalam menjaga kehormatan. Karena dengan terjerumusnya
ke dalam zina, bukan hanya harga dirinya yang rusak, orang terdekat di
sekitarnya seperti orang tua, istri/suami, dan anak akan ikut tercemar. “Dan,
orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka
atau budak-budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya, mereka dalam hal ini
tiada tercela. Barangsiapa mencari yang sebaliknya, mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas.” (Q.S. al-Ma’ārij/70:29-31).
Allah Swt.
sangat melaknat orang yang berbuat zina, dan menyamaratakan nya dengan orang
yang berbuat syirik dan membunuh. Sungguh, tiga perbuatan dosa besar yang amat
sangat dibenci oleh Allah Swt. Firman-Nya: “Dan, janganlah kalian mendekati
zina. Sesungguhnya, zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk.” (Q.S. al-Isrā’/17:32).
Ketiga,
menjaga batasan aurat yang telah dijelaskan dengan rinci dalam hadis-hadis
Nabi. Allah Swt. memerintahkan kepada setiap mukminah untuk menutup auratnya
kepada mereka yang bukan mahram, kecuali yang biasa tampak dengan memberikan
penjelasan siapa saja boleh melihat. Di
antaranya adalah suami, mertua, saudara laki-laki, anaknya, saudara perempuan,
anaknya yang laki-laki, hamba sahaya, dan pelayan tua yang tidak ada hasrat
terhadap wanita.
Di samping
ketiga hal di atas, Allah Swt. menegaskan bahwa walaupun auratnya sudah ditutup
namun jika berusaha untuk ditampakkan dengan berbagai cara termasuk dengan
menghentakkan kaki supaya gemerincing perhiasannya terdengar, hal itu sama saja
dengan membuka aurat. Oleh karena itu, ayat ini ditutup dengan perintah untuk
bertaubat karena hanya dengan taubat dari kesalahan yang dilakukan dan berjanji
untuk mengubah sikap, maka kita akan beruntung.[7]
3.
Hadis dari Ummu ‘Atiyyah
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ:
اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَنْ نُخْرِجَهُنَّ
فِى اْلفِطْرِ وَاْلأَضْحَى اْلعَوَاتِقَ وَ اْلخُيَّضَ وَ ذَوَاتِ اْلخُذُوْرِ
فَأَمَّا اْلحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَ يَشْهَدْنَ اْلخَيْرَ وَ
دَعْوَةَ اْلمُسْلِمِيْنَ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللّهِ اِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ
لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا اُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا (رواه مسلم)
Artinya: Dari Umu ‘Atiyah, ia
berkata, “Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Fitri dan
Adha, baik gadis yang menginjak akil balig, wanita-wanita yang sedang haid,
maupun wanita-wanita pingitan. Wanita yang sedang haid tetap meninggalkan
śalat, namun mereka dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslim. Aku
bertanya, ‘Wahai Rasulullah Saw., salah seorang di antara kami ada yang tidak
memiliki jilbab?’ Rasulullah Saw. menjawab, ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan
jilbabnya kepadanya.’” (H.R. Muslim).
a.
Kandungan Hadis
Kandungan
hadis di atas adalah perintah Allah Swt. kepada para wanita untuk menghadiri
prosesi salat ‘idul Fitri dan ‘idul Adha, walaupun dia sedang haid, sedang
dipingit, atau tidak memiliki jilbab. Bagi yang sedang haid, maka cukup
mendengarkan khutbah tanpa perlu melakukan salat berjama’ah seperti yang lain.
Wanita yang tidak mempunyai jilbab pun dapat meminjamnya dari wanita lain.
Hal ini
menunjukkan pentingnya dakwah/khutbah kedua salat ‘idain. Kandungan hadis yang
kedua, yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berisi tentang kemurkaan Allah Swt.
terhadap orang yang menjulurkan pakaiannya dengan maksud menyombongkan diri.[8]
D.
Syarat yang
harus dipenuhi pada Busana Muslimah
Islam tidak menentukan model pakaian untuk
perempuan. Islam sebagai suatu agama yang sesuai untuk setiap masa dan dapat
berkembang di setiap tempat, memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada kaum
perempuan untuk merancang model pakaian yang sesuai dengan selera
masing-masing, asal tidak keluar dari kriteria berikut, diantaranya:
1.
Busana dapat menutup seluruh aurat
yang wajib ditutup.
2.
Busana tidak merupakan pakaian
untuk dibanggakan atau busana yang menyolok mata. Maksudnya, dalam bentuk
penampilan pakaian yang aneh-aneh ditengah orang banyak, karena memiliki warna
yang menyolok dan lain daripada yang lain sehingga dapat merangsang perhatian
orang untuk memperhatikannya, yang dapat menimbulkan rasa congkak, ketakjuban
serta kebanggaan terhadap diri sendiri serta berlebih-lebihan.[9]
3.
Busana tersebut harus tebal dan
tidak tipis.
4.
Busana yang akan dikenakan lebar
dan tidak sempit.[10]
5.
Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
6.
Tidak menyerupai pakaian wanita
kafir.
7.
Bukan merupakan pakaian untuk
mencari kemasyhuran.[11]
E.
Etika
berpakaian yang dianjurkan Nabi saw.
Wajib bagi kita untuk memperhatikan etika
berpakaian sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi saw.
1.
Berdo’a ketika memakai pakaian
baru.
2.
Ketika memakai baju, dimulai dari
bagian yang kanan.
3.
Tidak boleh memakai baju yang
terbuat dari kulit binatang. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah, ia
berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Jangan memakai sutera dan kulit macan.”
4.
Tidak terdapat gambar salib.
Diriwayatkan dari Imran bin Hathan, bahwa Aisyah ra. mengatakan kepadanya
bahwasanya Nabi saw. tidak meninggalkan sesuatu yang terdapat salib di rumahnya
kecuali membuangnya.[12]
BAB III
KESIMPULAN
1.
Aurat terambil dari bahasa Arab ‘aurah
yang oleh sementara ulama dinyatakan terambil dari kata ‘awara yang
berarti hilang perasaan. Menurut istilah dalam hukum Islam, aurat adalah
batas minimal dari bagian tubuh yang wajib ditutupi karena perintah Allah Swt.
2.
Busana muslimah dapat diartikan
sebagai pakaian wanita Islam yang dapat menutup aurat yang diwajibkan agama
untuk menutupinya, gunanya untuk kemaslahatan dan kebaikan bagi wanita itu
sendiri serta masyarakat di mana ia berada.
3.
Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadis
tentang Perintah Berbusana Muslim/Muslimah diantaranya terdapat pada Q.S.
al-Ahzab/33:59, Q.S. An-Nµr/24:31, dan hadis dari Ummu ‘Atiyyah.
4.
Syarat yang harus dipenuhi pada
busana muslimah yaitu: busana dapat menutup seluruh aurat yang wajib ditutup,
busana tidak merupakan pakaian untuk dibanggakan atau busana yang menyolok
mata, busana tersebut harus tebal dan tidak tipis, busana yang akan dikenakan
lebar dan tidak sempit, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak menyerupai
pakaian wanita kafir, dan bukan merupakan pakaian untuk mencari kemasyhuran.
5.
Etika berpakaian sebagaimana yang
dianjurkan Nabi saw. seperti berdo’a ketika memakai pakaian baru, dimulai dari
bagian yang kanan, tidak boleh memakai baju dari kulit binatang buas, dan tidak
terdapat gambar salib.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jamal,
Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah. Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Amiruddin, Aam. Fiqih
Kecantikan: Pnduan Cantik Sesuai Syari’at. Bandung: Khazanah Intelektual,
2010.
As-Sya’rawi, Syaikh Mutawalli. Fikih
Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan, Sampai
Wanita Karier. Jakarta: Amzah, 2009.
Jad, Syaikh Ahmad. Fikih Sunnah
Wanita: Panduan Lengkap Menjadi Muslimah Shalehah. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008.
Muhammad, Husein. Fiqh
Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS,
2002.
Shihab, M. Quraish. Jilbab:
Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati, 2010.
Suhendi, Endi dan Nelty Khairiyah. Pendidikan
Agama Islam dan Budi Pekerti. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2016.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih
Perempuan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
[1] M. Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita
Muslimah (Jakarta: Lentera Hati, 2010), 55-56.
[2] Endi Suhendi Zen dan Nelty Khairiyah, Pendidikan
Agama Islam dan Budi Pekerti (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2016), 24.
[3] Ibid., 25.
[4] Aam Amiruddin, Fiqih Kecantikan: Panduan
Cantik Sesuai Syari’at (Bandung: Khazanah Intelektual, 2010), 5.
[5] Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi
Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2002), 56.
[6] Endi Suhendi Zen dan Nelty Khairiyah, Pendidikan
Agama Islam dan Budi Pekerti, 26-27.
[7] Ibid., 27-28.
[8] Ibid., 28-29.
[9] Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan
Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 17.
[10] Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fikih
Perempuan (Muslimah): Busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan, Sampai
Wanita Karier (Jakarta: Amzah, 2009), 25.
[11] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah (Jakarta:
Pustaka Amani, 1999), 88.
[12] Syaikh Ahmad Jad, Fikih Sunnah Wanita:
Panduan Lengkap Menjadi Muslimah Shalehah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2008), 372-373.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar