Jumat, 04 Januari 2019

Pemikiran Pendidikan Islam Naquib Al-Attas



PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM NAQUIB AL-ATTAS
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Pendidikan Islam
LOGO IAIN.jpg
Disusun Oleh: Kelompok 29
Liya Rizki Fadillah                 (210315058)

Kelas/Semester:
PAI.B/IV

Dosen Pengampu:
Dr. M. Miftahul Ulum, M.Ag.

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
JUNI 2017


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyak tokoh atau ulama’ yang mengkaji tentang filsafat pendidikan Islam. Salah satunya adalah Syed Naquib Al-Attas. Beliau adalah salah satu tokoh yang prihatin dengan pendidikan. Salah satu pemikiran terpenting Naquib Al-Attas, adalah masalah ilmu, tepatnya ketiadaan ilmu dan otoritas dalam hal ilmu di kalangan umat Islam. Ilmu di sini dipahami dalam arti yang amat luas, mencakup ilmu-ilmu dasar tentang Islam yang harus dimiliki setiap muslim, ilmu tentang sejarah dan tradisi Islam, maupun ilmu tentang kondisi umat Islam saat ini. Selain itu, beliau juga menyumbangkan pemikirannya mengenai pendidikan Islam.
Untuk itu dalam makalah ini kami akan membahas pemikiran Naquib Al-Attas tentang pendidikan Islam, yang mencakup di antaranya: pengertian pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, pendidik, peserta didik, dan kurikulum.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Muhammad Naquib Al-Attas?
2.      Bagaimana pemikiran pendidikan Islam Muhammad Naquib Al-Attas?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Muhammad Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Bila dilihat dari garis keturunannya, al Attas termasuk orang yang beruntung secara intern. Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar Sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.[1]
Ketika berusia 5 tahun, al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di sini al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka al-Attas dan keluarga pindah lagi ke Indonesia. Kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah ‘urwah al-wusqa, Sukabumi selama 5 tahun.
Terusik oleh panggilan nuraninya untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya di Sukabumi, sekembalinya ke Malaysia, al-Attas memasuki dunia militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir penjajah Jepang. Dalam bidang kemiliteran ini al-Attas telah menunjukkan kelasnya, sehingga atasannya memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan militer yang lebih tinggi.[2]
Setelah Malaysia merdeka (1957), al-Attas mengundurkan diri dari dinas militer dan mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelektual. Untuk itu, al-Attas sempat masuk Universitas Malaya selama dua tahun. Berkat kecerdasan dan ketekunannya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies, Mc. Gill, Canada. Belum puas dengan pengembangan intelektualnya, al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. Di sinilah dia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran metodologis. Salah satu pengaruh yang besar dalam diri al-Attas, adalah asumsi yang mengatakan bahwa terdapat integritas antara realitas metafisis, kosmologis, dan psikologis.
Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, al-Attas memulai dengan jabatan di jurusan Kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan tahun 1966-1970. Di sini dia menekankan arti pentingnya kajian Melayu. Sebab mengkaji sejarah Melayu dengan sendirinya juga mendalami proses Islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Berdirinya Universitas Kebangsaan Malaysia, tidak bisa dilepaskan dari peranannya. Karena al-Attas sangat intens dalam memasyarakatkan budaya Melayu, maka bahasa pengantar yang digunakan dalam universitas tersebut adalah bahasa Melayu.
Pada tahun 1977 tepatnya bulan April, al-Attas menyampaikan sebuah makalah yang berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Ains of Education dihadapan peserta Konperensi Dunia pertama tentang pendidikan Islam di Makkah al-Mukarramah. Selanjutnya sebagai realisasi dari ide-ide cemerlang al-Attas, Organisasi Konperensi Islam (OKI) memberi kepercayaan kepadanya untuk mendirikan sebuah Universitas Internasional di Malaysia pada tahun 1984. Kemudian pada tanggal 22 November 1978 berdirilah secara resmi ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) dengan al-Attas sebagai ketuanya.[3]
B.     Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Naquib Al-Attas
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Sebelum menguraikan tentang pendidikan Islam yang dikonsepkan Al-Attas perlu ditegaskan di sini bahwa istilah ta’dib merupakan istilah yang dipakai oleh Al-Attas untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Secara bahasa ta’dib merupakan bentuk mashdar dari kata addaba (Bahasa Arab) yang berarti adab, mendidik. Sedangkan Al-Zajjaj, sebagaimana dikutip Al-Attas, mengartikannya sebagai cara Tuhan mengajarkan Nabi-Nya (Al-Attas, 1988: 60). Al-Attas sendiri memberikan makna ta’dib dengan pendidikan. Dalam bukunya Islam dan Sekularisme, ia menulis bahwa pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia yaitu ta’dib (Al-Attas 1981: 222). Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ta’dib dalam terminologi Al-Attas sederhana dapat dipahami sebagai suatu muatan atau kekurangan yang mesti ditanamkam dalam proses pendidikan Islam (ta’dib).[4]
Selanjutnya, Al-Attas mengatakan bahwa adab yang diturunkan dari akar kata yang sama dengan ta’dib,  secara singkat dapat dikatakan sebagai lukisan keadilan yang dicerminkan oleh kearifan, ini adalah pengakuan atas berbagai hierarki dalam tata tingkat wujud, eksistensi, pengetahuan, dan perbuatan, seiring yang sesuai dengan pengakuan itu. Adab berarti pula melibatkan tindakan untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa yakni pencapaian dan sifat-sifat yang baik oleh pikiran jiwa untuk menunjukkan yang betul melawan yang keliru, yang benar melawan yang salah, agar terhindar dari noda dan cela. Menurut Al-Attas, pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapa pun ilmiahnya, tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan sesuatu.
Al-Attas melanjutkan bahwa pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia, ini adalah ta’dib. Jadi, adab adalah apa yang diterapkan kepada manusia bila ia harus melakukannya dengan berhasil dan baik dalam hidup ini atau di hari kemudian. Bagi Al-Attas, pendidikan dalam arti Islam adalah sesuatu yang khusus untuk manusia, maka pengenalan dan pengakuan mesti diterapkan. Lebih lanjut ia mengatakan, “Mengingat makna pendidikan dan pengetahuan hanya berkenaan dengan manusia saja, dan sebagai terusannya dengan masyarakat pula, maka pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan mesti paling utama diterapkan pada pengenalan dan pengakuan manusia itu sendiri tentang tempatnya yang tepat, yaitu kedudukannya dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya, keluarganya, kelompoknya, komunitasnya, serta kepada disiplin pribadinya, di dalam mengaktualisasikam dalam diri pengenalan dengan pengakuan”.
Dari acuan di atas dapat dipahami bahwa hakikat pendidikan Islam adalah ta’dib, penanaman adab itu sendiri pada manusia. Oleh karenanya, dia menganjurkan menggunakan istilah ta’dib untuk menunjuk pengertian pendidikan Islam.[5] Akhirnya dengan merujuk pada konsep ta’dib (adab), Al-Attas mendefinisikan pendidikan dan prosesnya sebagai berikut: “yaitu pengenalan dan pengakuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga hal ini dapat membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan”.
Pemikiran pendidikan Al-Attas lebih menekankan pada penanaman adab (ta’dib) pada diri manusia di dalam proses pendidikan, yakni suatu pengenalan atau penyadaran terhadap manusia kan posisinya dalam tatanan kosmik. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai tetapi sarat nilai, yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pemiliknya untuk mengamalkannya demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.[6]
2.      Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan adalah masalah inti dalam pendidikan. Hakekat atau Tujuan pendidikan harus berorientasi kepada manusia, oleh sebab itu   pendidikan dan manusia tidak bisa dipisah-pisahkan.
Tujuan pendidikan Menurut Al-Attas, sebagaimana di kutip oleh Ismail SM. Bahwa tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri sendiri sebagai manusia maupun sebagai diri individu.[7] Ismail SM menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah lebih berorientasi pada Individu. Al Attas menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk dan menghasilkan manusia yang “baik”. Baik dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia.[8]
Al-Attas dalam memformulasikan tujuan pendidikan Islam sepertinya lebih menitikberatkan pada pembentukan aspek pribadi individu, tetapi tidak berarti mengabaikan terbentuknya sebuah masyarakat yang ideal. Sebagaimana dikemukakannya, karena masyarakat terdiri dari perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranya menjadi orang-orang baik, berarti pula, menghasilkan suatu masyarakat yang baik. Konsep pendidikan Islam pada dasarnya berusaha mewujudkan manusia yang baik atau manusia universal (al-insan al-kamil), yakni sesuai dengan fungsi diciptakannya manusi yang dimana ia membawa dua misi, yaitu sebagai abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah fi al-ardh (wakil Tuhan di muka bumi).
Jadi dapat dipahami bahwa Al-Attas menghendaki agar pendidikan Islam mampu mewujudkan insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan otoritatif dalam ilmu pengetahuan, dengan kata lain, manusia yang mencerminkan pribadi Nabi Saw. Selain itu, tampak bahwa ia lebih melihat dominasi individu terhadap masyarakat daripada kebalikannya, dan tidak tampak ke arah sintesis dari keduanya, sebab ia meyakini pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat akan menjadi baik apabila individu baik. Hal tersebut merupakan akibat logis dari pandangan dunianya, yakni secara emanasi kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari Tuhan melimpah lebih dahulu melalui individu, karena individu menempati posisi yang lebih tinggi dalam hierarki realitas dibandingkan dengan masyarakat.[9]
3.      Pendidik
Sifat utama yang harus ada pada diri pendidik adalah niat yang lurus dan teladan. Niat yang lurus adalah menjalankan tugas/amanah semata-mata sebagai ibadah kepada Allah. Sementara sikap teladan akan menghasilkan asumsi positif bagi peserta didik dari pendidik.
Pendidikan Islam ditempuh dengan landasan dan sumber yang jelas, yang pemahaman dan penafsiran serta penjelasannya membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar-benar otoritatif. Al-Qur’an sendiri menyerukan manusia untuk menyerahkan amanah kepada yang otoritatif dibidangnya. Oleh karena itu, peran seorang guru dianggap sangat penting dalam membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkannya.[10]
Pendidik harus berpegang pada asas utamanya sebagai pengemban amanah yang menuntun arah dan tujuan yang hendak dicapai. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang diformulasikan Al-Attas, ta’dib ialah pembentukan Akhlak. Maka pendidik harus terlebih dahulu menjadi sosok teladan yang patut, berwibawa, dan taat pada perintah Allah SWT.  
4.      Peserta Didik
Peserta didik hendaklah tidak tergesa-gesa dalam belajar, tetapi perlu menyiapkan waktu untuk mencari guru yang terbaik pada bidang yang digemarinya. Sangat penting juga bagi pencari ilmu untuk mencari guru yang memiliki reputasi yang tinggi untuk memperoleh gelar tertentu.[11]
Jadi, peserta didik bebas untuk menentukan kepada siapa dan dimana ia ingin menggali ilmu yang diinginkanya, namun dengan memperhatikan kualitas/mutu seorang guru atau lembaga pendidikan yang akan mengantarkannya untuk mencapai tujuan tersebut agar tidak lepas dari hakikat utama pembelajaran, yakni mencapai derajat insan kamil. Di sini tergambar bahwa seorang pendidik terhadap peserta didik merupakan motivator (pendorong), reinforce (pemberdaya), dan instructor (pelatih) yang mengarahkan peserta didik.
5.      Kurikulum
Kurikulum merupakan parangkat lunak lembaga pendidikan. Menurut Muhammad Naquib Al-Attas, kurikulum pendidikan Islam adalah upaya peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikannya yakni insan kamil, sementara manusia secara natural memiliki dua sisi yakni fisik dan spiritual. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam harus memenuhi dual hal tersebut yaitu aspek fisikal yang berhubungan dengan pengetahuanya ilmu-ilmu fisikal dan teknikal atau fardu kifayah, sedangkan keadaan spiritualnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardu ‘ain.
Naquib al-Attas memetakan dua ilmu tersebut sebagai berikut;
a. Fardu ain (ilmu-ilmu Agama) terdiri dari al-Qur’an, sunnah, syariat, teologi, metafisika Islam, dan ilmu bahasa.
b. Fardu kifayah terdiri dari ilmu kemanusiaan, ilmu alam, ilmu terapan, ilmu teknologi, perbandingan agama, ilmu linguistik, dan sejarah Islam.[12]


BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Bila dilihat dari garis keturunannya, Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara intern. Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan Johor. Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, Al-Attas memulai dengan jabatan di jurusan kajian melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan tahun 1966-1970. Pada tanggal 22 November 1978 berdirilah secara resmi ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Vilization) dengan Al-Attas sebagai ketuanya, yang mana dalam lembaran pengajaran dan penelitiannya dikhususkan pada pemikiran Islam terutama filsafat sebagai jantung proses islamisasi.
2.      Syed Muhammad Naquib Al-Attas membangun konsep pendidikan dengan sejumlah pemikirannya, di antaranya adalah: pengertian pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, pendidik, peserta didik, dan kurikulum. Yang masing-masing pemikiran tersebut sudah dijelaskan di atas.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet. IV. Bandung: Mizan, 1994.


Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. The Concept of Education in Islam, Terj. Haidar Bagir, Konsep Pendidikan dalam Islam. Bandung: Mizan, 1988.


Kurniawan, Syamsul & Erwin Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.


Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers, 2002.


Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia, 2011.


SM., Ismail. Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.




[1] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), 299.
[2] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 118.
[3] Ibid., 118-121.
[4] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 179.
[5] Ibid., 179-182.
[6] Ibid., 185-186.
[7] Ismail SM., Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1999, 283.
[8] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, 188.
[9] Ibid., 188-189.
[10] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept of Education in Islam, Terj. Haidar Bagir, Konsep Pendidikan dalam Islam (Bandung: Mizan, 1988), 10.
[11] Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam: Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet. IV. (Bandung: Mizan, 1994), 71.
[12] Ibid., 75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi)

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Tekno...