PEMIKIRAN
PENDIDIKAN ISLAM NAQUIB AL-ATTAS
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat
Pendidikan Islam”
Disusun Oleh:
Kelompok 29
Liya Rizki Fadillah
(210315058)
Kelas/Semester:
PAI.B/IV
Dosen
Pengampu:
Dr. M. Miftahul Ulum, M.Ag.
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
JUNI 2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak tokoh
atau ulama’ yang mengkaji tentang filsafat pendidikan Islam. Salah satunya
adalah Syed Naquib Al-Attas. Beliau adalah salah satu tokoh yang prihatin
dengan pendidikan. Salah satu pemikiran terpenting Naquib Al-Attas, adalah
masalah ilmu, tepatnya ketiadaan ilmu dan otoritas dalam hal ilmu di kalangan
umat Islam. Ilmu di sini dipahami dalam arti yang amat luas, mencakup ilmu-ilmu
dasar tentang Islam yang harus dimiliki setiap muslim, ilmu tentang sejarah dan
tradisi Islam, maupun ilmu tentang kondisi umat Islam saat ini. Selain itu,
beliau juga menyumbangkan pemikirannya mengenai pendidikan Islam.
Untuk itu
dalam makalah ini kami akan membahas pemikiran Naquib Al-Attas tentang
pendidikan Islam, yang mencakup di antaranya: pengertian pendidikan Islam,
tujuan pendidikan Islam, pendidik, peserta didik, dan kurikulum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana riwayat hidup Muhammad
Naquib Al-Attas?
2.
Bagaimana pemikiran pendidikan
Islam Muhammad Naquib Al-Attas?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Muhammad Naquib
Al-Attas
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada
tanggal 5 September 1931. Bila dilihat dari garis keturunannya, al Attas
termasuk orang yang beruntung secara intern. Sebab dari kedua belah pihak, baik
pihak ayah maupun ibu merupakan orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli
Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong
bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar Sayyed yang dalam tradisi Islam orang
yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.[1]
Ketika berusia 5 tahun, al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke
Malaysia. Di sini al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary
School sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan
yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka al-Attas dan keluarga pindah lagi
ke Indonesia. Kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah ‘urwah al-wusqa,
Sukabumi selama 5 tahun.
Terusik oleh panggilan nuraninya untuk mengamalkan ilmu yang telah
diperolehnya di Sukabumi, sekembalinya ke Malaysia, al-Attas memasuki dunia
militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir
penjajah Jepang. Dalam bidang kemiliteran ini al-Attas telah menunjukkan kelasnya,
sehingga atasannya memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan militer
yang lebih tinggi.[2]
Setelah Malaysia merdeka (1957), al-Attas mengundurkan diri dari
dinas militer dan mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelektual.
Untuk itu, al-Attas sempat masuk Universitas Malaya selama dua tahun. Berkat
kecerdasan dan ketekunannya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk
melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies, Mc. Gill, Canada. Belum puas
dengan pengembangan intelektualnya, al-Attas kemudian melanjutkan studi ke
School of Oriental and African Studies di Universitas London. Di sinilah dia
bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai pengaruh
besar dalam diri al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran
metodologis. Salah satu pengaruh yang besar dalam diri al-Attas, adalah asumsi
yang mengatakan bahwa terdapat integritas antara realitas metafisis,
kosmologis, dan psikologis.
Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, al-Attas memulai dengan
jabatan di jurusan Kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan
tahun 1966-1970. Di sini dia menekankan arti pentingnya kajian Melayu. Sebab
mengkaji sejarah Melayu dengan sendirinya juga mendalami proses Islamisasi di
Indonesia dan Malaysia. Berdirinya Universitas Kebangsaan Malaysia, tidak bisa
dilepaskan dari peranannya. Karena al-Attas sangat intens dalam memasyarakatkan
budaya Melayu, maka bahasa pengantar yang digunakan dalam universitas tersebut
adalah bahasa Melayu.
Pada tahun 1977 tepatnya bulan April, al-Attas menyampaikan sebuah
makalah yang berjudul Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and
the Definition and Ains of Education dihadapan peserta Konperensi Dunia
pertama tentang pendidikan Islam di Makkah al-Mukarramah. Selanjutnya sebagai
realisasi dari ide-ide cemerlang al-Attas, Organisasi Konperensi Islam (OKI)
memberi kepercayaan kepadanya untuk mendirikan sebuah Universitas Internasional
di Malaysia pada tahun 1984. Kemudian pada tanggal 22 November 1978 berdirilah
secara resmi ISTAC (International Institute of Islamic Thought and
Civilization) dengan al-Attas sebagai ketuanya.[3]
B.
Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad
Naquib Al-Attas
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Sebelum
menguraikan tentang pendidikan Islam yang dikonsepkan Al-Attas perlu ditegaskan
di sini bahwa istilah ta’dib merupakan istilah yang dipakai oleh
Al-Attas untuk menunjuk arti pendidikan Islam. Secara bahasa ta’dib merupakan
bentuk mashdar dari kata addaba (Bahasa Arab) yang berarti adab,
mendidik. Sedangkan Al-Zajjaj, sebagaimana dikutip Al-Attas, mengartikannya
sebagai cara Tuhan mengajarkan Nabi-Nya (Al-Attas, 1988: 60). Al-Attas sendiri
memberikan makna ta’dib dengan pendidikan. Dalam bukunya Islam dan
Sekularisme, ia menulis bahwa pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan
adab pada manusia yaitu ta’dib (Al-Attas 1981: 222). Dari sini dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan ta’dib dalam terminologi Al-Attas
sederhana dapat dipahami sebagai suatu muatan atau kekurangan yang mesti
ditanamkam dalam proses pendidikan Islam (ta’dib).[4]
Selanjutnya,
Al-Attas mengatakan bahwa adab yang diturunkan dari akar kata yang sama dengan ta’dib,
secara singkat dapat dikatakan
sebagai lukisan keadilan yang dicerminkan oleh kearifan, ini adalah pengakuan
atas berbagai hierarki dalam tata tingkat wujud, eksistensi, pengetahuan, dan
perbuatan, seiring yang sesuai dengan pengakuan itu. Adab berarti pula
melibatkan tindakan untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa yakni pencapaian dan
sifat-sifat yang baik oleh pikiran jiwa untuk menunjukkan yang betul melawan
yang keliru, yang benar melawan yang salah, agar terhindar dari noda dan cela.
Menurut Al-Attas, pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapa pun
ilmiahnya, tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak
ditanamkan sesuatu.
Al-Attas
melanjutkan bahwa pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada
manusia, ini adalah ta’dib. Jadi, adab adalah apa yang diterapkan kepada
manusia bila ia harus melakukannya dengan berhasil dan baik dalam hidup ini
atau di hari kemudian. Bagi Al-Attas, pendidikan dalam arti Islam adalah
sesuatu yang khusus untuk manusia, maka pengenalan dan pengakuan mesti
diterapkan. Lebih lanjut ia mengatakan, “Mengingat makna pendidikan dan
pengetahuan hanya berkenaan dengan manusia saja, dan sebagai terusannya dengan
masyarakat pula, maka pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang tepat dari
segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan mesti paling utama diterapkan pada
pengenalan dan pengakuan manusia itu sendiri tentang tempatnya yang tepat,
yaitu kedudukannya dan kondisinya dalam kehidupan sehubungan dengan dirinya,
keluarganya, kelompoknya, komunitasnya, serta kepada disiplin pribadinya, di
dalam mengaktualisasikam dalam diri pengenalan dengan pengakuan”.
Dari acuan di
atas dapat dipahami bahwa hakikat pendidikan Islam adalah ta’dib, penanaman
adab itu sendiri pada manusia. Oleh karenanya, dia menganjurkan menggunakan
istilah ta’dib untuk menunjuk pengertian pendidikan Islam.[5]
Akhirnya dengan merujuk pada konsep ta’dib (adab), Al-Attas
mendefinisikan pendidikan dan prosesnya sebagai berikut: “yaitu pengenalan dan
pengakuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang
tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan
sedemikian rupa sehingga hal ini dapat membimbing ke arah pengenalan dan
pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan”.
Pemikiran
pendidikan Al-Attas lebih menekankan pada penanaman adab (ta’dib) pada
diri manusia di dalam proses pendidikan, yakni suatu pengenalan atau penyadaran
terhadap manusia kan posisinya dalam tatanan kosmik. Penekanan pada segi adab
dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh diamalkan secara baik dan tidak
disalahgunakan menurut kehendak pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai
tetapi sarat nilai, yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pemiliknya untuk
mengamalkannya demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.[6]
2.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan
pendidikan adalah masalah inti dalam pendidikan. Hakekat atau Tujuan pendidikan
harus berorientasi kepada manusia, oleh sebab itu pendidikan dan manusia tidak bisa
dipisah-pisahkan.
Tujuan
pendidikan Menurut Al-Attas, sebagaimana di kutip oleh Ismail SM. Bahwa tujuan
mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri sendiri
sebagai manusia maupun sebagai diri individu.[7]
Ismail SM menegaskan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah lebih berorientasi
pada Individu. Al Attas menjelaskan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah
untuk membentuk dan menghasilkan manusia yang “baik”. Baik dalam konsep manusia
yang baik berarti tepat sebagai manusia adab yakni meliputi kehidupan material
dan spiritual manusia.[8]
Al-Attas dalam
memformulasikan tujuan pendidikan Islam sepertinya lebih menitikberatkan pada
pembentukan aspek pribadi individu, tetapi tidak berarti mengabaikan
terbentuknya sebuah masyarakat yang ideal. Sebagaimana dikemukakannya, karena
masyarakat terdiri dari perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian
besar di antaranya menjadi orang-orang baik, berarti pula, menghasilkan suatu
masyarakat yang baik. Konsep pendidikan Islam pada dasarnya berusaha mewujudkan
manusia yang baik atau manusia universal (al-insan al-kamil), yakni
sesuai dengan fungsi diciptakannya manusi yang dimana ia membawa dua misi,
yaitu sebagai abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah fi al-ardh
(wakil Tuhan di muka bumi).
Jadi dapat
dipahami bahwa Al-Attas menghendaki agar pendidikan Islam mampu mewujudkan
insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan otoritatif dalam ilmu
pengetahuan, dengan kata lain, manusia yang mencerminkan pribadi Nabi Saw. Selain
itu, tampak bahwa ia lebih melihat dominasi individu terhadap masyarakat daripada
kebalikannya, dan tidak tampak ke arah sintesis dari keduanya, sebab ia
meyakini pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat akan menjadi baik apabila
individu baik. Hal tersebut merupakan akibat logis dari pandangan dunianya,
yakni secara emanasi kebaikan dan kebenaran yang bersumber dari Tuhan melimpah
lebih dahulu melalui individu, karena individu menempati posisi yang lebih
tinggi dalam hierarki realitas dibandingkan dengan masyarakat.[9]
3.
Pendidik
Sifat utama
yang harus ada pada diri pendidik adalah niat yang lurus dan teladan. Niat yang
lurus adalah menjalankan tugas/amanah semata-mata sebagai ibadah kepada Allah.
Sementara sikap teladan akan menghasilkan asumsi positif bagi peserta didik
dari pendidik.
Pendidikan
Islam ditempuh dengan landasan dan sumber yang jelas, yang pemahaman dan
penafsiran serta penjelasannya membutuhkan ilmu pengetahuan yang benar-benar
otoritatif. Al-Qur’an sendiri menyerukan manusia untuk menyerahkan amanah
kepada yang otoritatif dibidangnya. Oleh karena itu, peran seorang guru
dianggap sangat penting dalam membantu peserta didik untuk mencapai tujuan
pendidikan yang diharapkannya.[10]
Pendidik harus
berpegang pada asas utamanya sebagai pengemban amanah yang menuntun arah dan
tujuan yang hendak dicapai. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang diformulasikan
Al-Attas, ta’dib ialah pembentukan Akhlak. Maka pendidik harus terlebih dahulu
menjadi sosok teladan yang patut, berwibawa, dan taat pada perintah Allah
SWT.
4.
Peserta Didik
Peserta didik
hendaklah tidak tergesa-gesa dalam belajar, tetapi perlu menyiapkan waktu untuk
mencari guru yang terbaik pada bidang yang digemarinya. Sangat penting juga
bagi pencari ilmu untuk mencari guru yang memiliki reputasi yang tinggi untuk
memperoleh gelar tertentu.[11]
Jadi, peserta
didik bebas untuk menentukan kepada siapa dan dimana ia ingin menggali ilmu
yang diinginkanya, namun dengan memperhatikan kualitas/mutu seorang guru atau lembaga
pendidikan yang akan mengantarkannya untuk mencapai tujuan tersebut agar tidak
lepas dari hakikat utama pembelajaran, yakni mencapai derajat insan kamil.
Di sini tergambar bahwa seorang pendidik terhadap peserta didik merupakan
motivator (pendorong), reinforce (pemberdaya), dan instructor
(pelatih) yang mengarahkan peserta didik.
5.
Kurikulum
Kurikulum
merupakan parangkat lunak lembaga pendidikan. Menurut Muhammad Naquib Al-Attas,
kurikulum pendidikan Islam adalah upaya peserta didik dalam mencapai tujuan
pendidikannya yakni insan kamil, sementara manusia secara natural memiliki dua
sisi yakni fisik dan spiritual. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Islam
harus memenuhi dual hal tersebut yaitu aspek fisikal yang berhubungan dengan
pengetahuanya ilmu-ilmu fisikal dan teknikal atau fardu kifayah, sedangkan
keadaan spiritualnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardu ‘ain.
Naquib
al-Attas memetakan dua ilmu tersebut sebagai berikut;
a. Fardu ain
(ilmu-ilmu Agama) terdiri dari al-Qur’an, sunnah, syariat, teologi, metafisika
Islam, dan ilmu bahasa.
b. Fardu
kifayah terdiri dari ilmu kemanusiaan, ilmu alam, ilmu terapan, ilmu teknologi,
perbandingan agama, ilmu linguistik, dan sejarah Islam.[12]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas
dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Bila dilihat
dari garis keturunannya, Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara intern.
Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang
yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda.
Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan Johor. Memasuki tahapan
pengabdian kepada Islam, Al-Attas memulai dengan jabatan di jurusan kajian
melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan tahun 1966-1970. Pada
tanggal 22 November 1978 berdirilah secara resmi ISTAC (International
Institute of Islamic Thought and Vilization) dengan Al-Attas sebagai ketuanya,
yang mana dalam lembaran pengajaran dan penelitiannya dikhususkan pada
pemikiran Islam terutama filsafat sebagai jantung proses islamisasi.
2.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas membangun
konsep pendidikan dengan sejumlah pemikirannya, di antaranya adalah: pengertian
pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam, pendidik, peserta didik, dan
kurikulum. Yang masing-masing pemikiran tersebut sudah dijelaskan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Attas, Naquib. Konsep
Pendidikan dalam Islam: Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam,
terj. Haidar Baqir. cet. IV. Bandung: Mizan, 1994.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. The
Concept of Education in Islam, Terj. Haidar Bagir, Konsep Pendidikan dalam
Islam. Bandung: Mizan, 1988.
Kurniawan, Syamsul & Erwin
Mahrus. Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2013.
Nizar, Samsul. Filsafat
Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta:
Ciputat Pers, 2002.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat
Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta:
Kalam Mulia, 2011.
SM., Ismail. Pemikiran
Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999.
[1] Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya (Jakarta:
Kalam Mulia, 2011), 299.
[2] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam:
Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
118.
[3] Ibid., 118-121.
[4] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 179.
[5] Ibid., 179-182.
[6] Ibid., 185-186.
[7] Ismail SM., Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian
Tokoh Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1999, 283.
[8] Syamsul Kurniawan & Erwin Mahrus, Jejak
Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, 188.
[9] Ibid., 188-189.
[10] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Concept
of Education in Islam, Terj. Haidar Bagir, Konsep Pendidikan dalam Islam
(Bandung: Mizan, 1988), 10.
[11] Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam
Islam: Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar
Baqir. cet. IV. (Bandung: Mizan, 1994), 71.
[12] Ibid., 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar