BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pembelajaran Menurut Paradigma
Konstruktivisme
Menurut Suparno, paham konstruktivistik pengetahuan merupakan
kontruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan
tidak bisa di transfer dari guru kepada orang lain karena setiap orang
mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Dalam konteks filsafat
pendidikan, kontruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang
berbudaya modern. Kontruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi)
pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau
kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengonstruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Adapun menurut Tran Vui, kontruktivisme adalah suatu filsafat
belajar yang dibangun atas pengalaman-pengalaman sendiri. Sedangkan teori
konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia
yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan
keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain.
Manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi,
dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori konstruktivisme memberikan
keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan
dirinya. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa.[1]
Menurut pendekatan konstrutivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan
fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi
kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya.[2]
Pengetahuan bukanlah suatu yang tidak ada dan tersedia dan sementara orang lain
tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus
menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya
pemahaman-pemahaman baru.[3]
Proses belajar konstruktivistik jika dipandang dari pendekatan
kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari
luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi
prosesnya daripada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas.
Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa
dalam memproses gagasannya.[4]
Tujuan teori konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1.
Adanya motivasi untuk siswa belajar
dan bertanggung jawab atas dirinya.
2.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk
mengajukan pertanyaan dan mencari sendri pertanyaannya.
3.
Membantu siswa untuk mengembangkan
pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
4.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk
menjadi pemikir yang mandiri.
5.
Lebih menekankan pada proses
belajar bagaimana belajar.[5]
Adapun
karakteristik/ciri pembelajaran secara konstruktivisme adalah:
1.
Memberi peluang kepada pembelajar
untuk membina pengetahuan baru melalui keterlibatannya dalam dunia sebenarnya.
2.
Mendorong ide-ide pembelajar
sebagai panduan merancang pengetahuan.
3.
Mendukung pembelajaran secara
kooperatif.
4.
Mendorong dan menerima usaha dan
hasil yang diperoleh pembelajar.
5.
Mendorong pembelajar mau bertanya
dan berdialog dengan guru.
6.
Menganggap pembelajaran sebagai
suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
7.
Mendorong proses inkuiri pembelajar
melalui kajian dan eksperimen.[6]
B.
Tokoh-tokoh Teori Belajar
Konstruktivistik
1.
Teori konstruktivisme Piaget
Teori Piaget
berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur kognitifnya
atau peta mentalnya yang diistilahkan “Schema/skema
(jamak=schemata/skemata)”, atau konsep jejaring untuk memahami dan
menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekelilingnya. Konsep skema
sendiri sebenarnya sudah dikembangkan oleh para ahli linguistik, psikologi
kognitif dan psikolinguistik yang digunakan untuk menjelaskan dan memahami
adanya interaksi antara sejumlah faktor kunci yang berpengaruh terhadap proses
pemahaman. Secara ringkas dijelaskan bahwa menurut terori skema, seluruh
pengetahuan diorganisasikan menjadi unit-unit, di dalam unit-unit pengetahuan
ini, atau skemata ini, disimpanlah informasi. Sehingga skema dapat dimaknai
sebagai suatu deskripsi umum atau suatu sistem konseptual utnuk memahami
pengetahuan tentang bagaimana pengetahuan itu dinyatakan atau tentang bagaimana
pengetahuan itu diterapkan.[7]
Menurut
Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah
kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda, oleh karena
itu, dalam proses belajar terjadi dua proses, yaitu proses organisasi informasi
dan adaptasi. Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan
informasi yang diterimanaya dengan struktur pengetahuan yang sudah disimpan
atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Sedangkan proses adaptasi adalah proses
berisi dua kegiatan. Pertama, menghubungkan atau mengintegrasi pengetahuan yang
diterima manusia atau disebut asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan
baru sehingga akan terjadi kesinambungan (equilibrium).
Proses
mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Piaget adalah:
a.
Skemat
Skema adalah suatu struktur mental
atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan
mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema itu akan beradaptasi dan berubah selama
perkembangan mental anak. Skema bukanlah benda nyata yang dapat dilihat,
melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang, maka tidak
memiiki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skema adalah hasil kesimpulan
atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas,
kemampuan, dan naluri.
b.
Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif
yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman
baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat
dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan
kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Asimilasi tidak
menyebabkan perubahan skema, melainkan memperkembangkan skema.[8]
c.
Akomodasi
Sesuatu hal yang baru terkadang
belum tentu kemudian langsung masuk dalam skema yang dimiliki seseorang sebab
bisa jadi bertabrakan atau bertentangan dengan yang sudah ada dalam skema.
Sesuatu yang baru ketika tidak bisa masuk dalam skema yang ada kemudian bukan
harus dibuang jauh-jauh atau ditolak secara mentah-mentah. Ada dua jalan yang
selanjutnya dapat dilakukan dan ini merupakan konsep akomodasi. Pertama,
membentuk skema baru yang dapat dicocokkan dengan rangsangan yang baru atau
kedua memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d.
Equilibiration
Equilibiration sama dengan
keseimbangan. Fungsinya adalah melakukan penyeimbangan ketika ada konflik dalam
diri anak saat melihat sesuatu yang berbda dengan sebelumnya. Menyeimbangkan
bertujuan untuk semakin memantapkan si anak bahwa ternyata banyak hal baru yang
tidak dan belum diketahui sebelumnya.[9]
Dampak teori
konstruktivisme Piaget terhadap pembelajaran:
a.
Kurikulum: pendidik harus
merencanakan kurikulum yang berkembang sesuai dengan peningkatan logika anak
dan pertumbuhan konseptual anak.
b.
Pengajaran: guru harus lebih
menekankan pentingnya peran pengalaman bagi anak, atau interaksi anak dengan
lingkungan di sekelilingnya. Misalnya guru harus mencermati peran penting
konsep-konsep fundamental, seperti kelestarian objek-objek, serta
permainan-permainan yang menunjang struktur kognitif.[10]
2.
Teori Konstruktivisme Vygotsky
Konstruktivisme
yang dikembangkan oleh Vigotsky yang berwajah sosial mengatakan bahwa belajar
bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik sehingga
belajar selanjutnya lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya
seseorang. Belajar sesungguhnya dilahirkan dari aktifitas sosial yang bermakna
dan memberikan semangat pembangunan belajar diselenggarakan dengan sedemikian
rupa dalam rangka mengembangkan dan membangun kesadaran terhadap alam sekitar. Belajar
dalam konteks yang lebih luas adalah sebuah aktifitas yang berkenaan dengan bagaimana
seseorang seharusnya bermakna bagi dirinya dan lingkungannya. Disebut belajar
apabila sesuatu itu kemudian memberikan nilai tambah bagi kehidupan seseorang
bersangkutan. Dinamakan belajar apabila sesuatu yang didapatkan dalam realitas
sosial mampu menjadi pedoman dalam perjalanan hidupnya ke depan. Oleh sebab
itu, belajar kemudian merupakan sebuah proses dan perjalanan sosial yang
panjang yang harus dilalui seseorang untuk bisa mengerti dibalik setiap
kegiatan yang dikerjakan setiap harinya.[11]
Dampak konsep
Vigotsky terhadap pembelajaran adalah sebagai berikut:
a.
Kurikulum: karena anak belajar
umumnya melalui interaksi, kurikulum harus dirancang untuk menekankan adanya
interaksi antara pembelajar dengan tugas-tugas pembelajaran.
b.
Pengajaran: dengan bantuan yang
sesuai oleh orang dewasa, anak-anak sering dapat melaksanakan tugas-tugas yang
tidak mampu diselesaikannya sendiri.[12]
3.
Teori Konstruktivisme Driver dan
Bell
Driver dan
Bell mengajukan karakteristik teori belajar konstruktivistik sebagai berikut:
a.
Siswa tidak dipandang sebagai
sesuatu yang pasif, tetapi memiliki tujuan.
b.
Belajar mempertimbangkan seoptimal
mungkin proses keterlibatan siswa.
c.
Pengetahuan bukan sesuatu yang
dating dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal.
d.
Pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
e.
Kurikulum bukanlah sekedar
dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
4.
Teori Konstruktivisme Tasker
Tasker
mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai
berikut:
a.
Peran aktif siswa dalam mengonstruksi
pengetahuan secara bermakna.
b.
Pentingnya membuat kaitan antara
gagasan dalam pengonstruksian secara bermakna.
c.
Mengaitkan antara gagasan dan
informasi baru yang diterima.
5.
Teori Konstruktivisme Wheatley
Wheatley
mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:
a.
Pengetahuan tidak diperoleh secara
pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
b.
Fungsi kognisi bersifat adaptif dan
membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua
pengertian diatas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif danlam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan, secara spesifik, Hudoyo mengatakan
bahwa seseorang akan lebih mudah memperlajari sesuatu bila belajar itu didasari
pada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari
suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan
memengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
6.
Teori Konstruktivisme Hanbury
Hanbury
mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu sebagai
berikut:
a.
Siswa mengonstruksi pengetahuan
dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
b.
Pembelajaran menjadi lebih bermakna
karena siswa mengerti.
c.
Strategi siswa lebih bernilai.
d.
Siswa mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Berdasarkan
beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka, bukan kepatuhan siswa dalam refleksi
atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.[13]
C.
Kelebihan dan Kelemahan Teori
Konstruktivisme
1.
Kelebihan
a.
Dalam proses membina pengetahuan,
pembelajar berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjalankan ide-idenya, dan
membuat keputusan.
b.
Karena pembelajar terlibat secara
langsung dalam membina pengetahuan baru, pembelajar lebih paham dan dapat
mengapilkasikannya dalam semua situasi.
c.
Karena pembelajar terlibat langsung
secara aktif, pembelajar akan mengingat semua konsep lebih lama.
d.
Pembelajar akan lebih memahami
keadaan lingkungan sosialnya, yang diperoleh dari interaksi dengan teman dan
guru dalam membina pengetahuan baru.
e.
Karena pembelajar terlibat langsung
secara terus-menerus, pembelajar akan paham, ingat, yakin, dan berinteraksi
dengan sehat. Dengan demikian, pembelajar akan merasa senang belajar dan
membina pengetahuan.
2.
Kelemahan
a.
Peran guru sebagai pendidik kurang
mendukung.
b.
Karena cakupannya lebih luas, lebih
sulit dipahami.[14]
D.
Implementasi dan Implikasi Teori
Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Dalam upaya
implementasi teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran
yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, antara lain:
1.
Memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengemukakan gagasan dalam bahasanya sendiri.
2.
Memberi kesempatan kepada siswa
untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan
imajinatif.
3.
Memberi kesempatan kepada siswa
untuk mencoba gagasan baru.
4.
Memberi pengalaman yang berhubungan
dengan gagasan yeng telah dimiliki siswa.
5.
Mendororng siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka.
6.
Menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.[15]
Peranan guru
dalam pembelajaran konstruktif terlihat pada bagaimana ia memilih dan mengendalikan
proses belajar mengajar, memberikan dukungan selektif terhadap interpretasi
yang dikemukakan siswa, baik mengenai isi interpretasi maupun cara atau sikap
memberikan interpretasi. Guru membuat para siswa sadar dan bertanggung jawab
atas proses belajar mereka. Dengan penguasaan materi ajar yang luas dan
mendalam, guru lebih mudah mengajukan pertanyaan yang meminta para siswa
berfikir dan merangsang mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
berkualitas dalam usaha mengonstruksi pengetahuan. Dengan Vigotsky mengemukakan
bahwa belajar harus berlangsung dalam kondisi sosial dan masyarakat Indonesia
pluralistik sifatnya, proses belajar mengajar dapat digunakan guru untuk
mencoba menanamkan kebiasaan-kebiasaan sebagai dampak positif dan meniadakan
kebiasaan-kebiasaan sebagai dampak negatif dari sifat pluralistik masyarakat
kita. Semua ini dapat dilakukan guru yang kaya pengetahuan melalui pendekatan
dan metode mengajar serta mau dan mampu menerapkannya sesuai dengan materi ajar
yang diajarkannya dan siswa yang dihadapinya.
Dengan sadar
dan bertanggung jawab atas proses belajar mereka sendiri, para siswa berusaha
melibatkan diri dalam proses perubahan konseptual dengan memperhatikan
bimbingan guru dan kerja sama dengan teman-teman sekelas. Mereka berusaha
mengonstruksi kebermaknaan tentang hal yang sedang mereka pelajari. Selain itu
mereka berusaha menerima dan menerapkan kebiasaan-kebiasaan baik yang
disarankan guru atau ditiru dari teman-teman sekelas, walaupun hal itu
membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu kebiasaan mau bertanya dengan bahasa
yang baik dan benar, mau menolong orang lain, meu menghargai pendapat orang
lain, jujur, rendah hati, tidak mau menang sendiri, tidak egoistik, dan
sebagainya. Selanjutnya dengan usaha ini, anak-anak didik kita bukan hanya memiliki
pengetahuan melainkan juga peradaban untuk menghadapi masa depan yang penuh
dengan tantangan hidup.[16]
Peranan kunci
guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1.
Menumbuhkan kemandirian dengan
menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2.
Menumbuhkan kemampuan mengambil
keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
siswa.
3.
Menyediakan sistem dukungan yang
memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk
berlatih.[17]
Implementasi
pendekatan konstruktivis dalam pengajaran pada umumnya menerapkan secara luas
pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dengan landasan berfikir,
bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit
jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya dalam
kelompok-kelompok kecil. Kelompok kecil (small group discussion) ini
umumnya terdiri dari empat orang. Sumber yang lain menyarankan antara 2-6 orang
per kelompok. Di sinilah peran rekan sebaya yang lebih kompeten (capable
peers) ditampilkan.
Secara rutin
dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh guru, kelompok siswa tertentu
bekerja sama saling membantu untuk menyelesaikan masalah kompleks tertentu. Hal
ini dilandasi oleh prinsip Vigotsky tentang hakikat sosial, yakni belajar.
Selain itu juga disarankan penerapan pembelajaran dengan penemuan (discovery
learning) serta pembelajaran generatif (generative learning) dalam
implementasi pendekatan konstruktivis. Esensi pembelajaran generatif adalah
pengintegrasian aktif materi baru dengan skemata yang ada dan telah dibentuk
oleh siswa.[18]
Implikasi dari teori belajar konstruktivisme
dalam pendidikan anak menurut Poediaji adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan pendidikan menurut belajar
konstruktivisme adalah menghasilan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berpikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2.
Kurikulum dirancang sedemikian rupa
sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah sering
dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
3.
Peserta didik dihrapkan selalu
aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanya
berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang
kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.[19]
Dampak teori konstruktivisme secara
umum yang merupakan gabungan penerapan baik dari konsep Piaget maupun Vigotsky
terhadap pembelajaran, antara lain dapat berkenaan dengan:
1.
Tujuan pendidikan: menghasilkan
individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
masalah yang dihadapi.
2.
Kurikulum: konstruktivisme tidak
memerlukan kurikulum yang distandarisasikan. Oleh karena itu, lebih diperlukan
kurikulum yang telah disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa. Juga diperlukan
kurikulum yang lebih menekankan keterampilan pemecahan masalah (hands-on
problem solving). Dengan kata lain kurikulum harus dirancang sedemikian
rupa, sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan maupun
keterampilan dapat dikonstruksin oleh peserta didik.
3.
Pengajaran: di bawah teori
konstruktivisme, pendidik berfokus terhadap bagaimana menyusun hubungan antar
fakta-fakta serta memperkuat perolehan pengetahuan yang baru bagi siswa.
Pengajar harus menyusun strategi pembelajarannya dengan memperhatikan
respon/tanggapan dari siswa serta mendorong siswa untuk menganalisis,
manafsirkan dan meramalkan informasi. Guru juga harus berupaya dengan keras
menghadirkan pertanyaan berujung terbuka (open-ended questions) dan
mendororng terjadinya dialog yang ekstensif antarsiswa. Dalam konsep ini
sebaiknya guru berfungsi sebagai fasilitator dan mediator dan teman (mitra
belajar) yang membangun situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik.
4.
Pembelajar: diharapkan selalu aktif
dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
5.
Penilaian: konstruktivisme tidak
memerlukan adanya tes yang baku sesuai dengan tingkat kelas. Namun, justru
memerlukan suatu penilaian yang merupakan bagian dari proses pembelajaran
(penilaian autentik) sehingga memungkinkan siswa berperan lebih besar dalam
menilai dan mempertimbangkan kemajuannya atau hasil belajarnya sendiri. Hal ini
merupakan alasan untuk menghadirkan portofolio sebagai model penilaian. Portofolio
secara ringkas dapat dimaknai sebagai bukti-bukti fisik (hasil ujian, makalah,
hasil keterampilan, piagam, piala, catatan anekdot, dan lain-lain) hasil
belajar atau hasil kinerja siswa.[20]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar