Jumat, 04 Januari 2019

Teori Belajar Konstruktivisme: Implementasi dan Implikasinya dalam Pembelajaran PAI



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembelajaran Menurut Paradigma Konstruktivisme
Menurut Suparno, paham konstruktivistik pengetahuan merupakan kontruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa di transfer dari guru kepada orang lain karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Dalam konteks filsafat pendidikan, kontruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Kontruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Adapun menurut Tran Vui, kontruktivisme adalah suatu filsafat belajar yang dibangun atas pengalaman-pengalaman sendiri. Sedangkan teori konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain. Manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa teori konstruktivisme memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa.[1]
Menurut pendekatan konstrutivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya.[2] Pengetahuan bukanlah suatu yang tidak ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru.[3]
Proses belajar konstruktivistik jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar ke dalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutahkiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya daripada segi perolehan pengetahuan dari fakta-fakta yang terlepas. Oleh sebab itu pengelolaan pembelajaran harus diutamakan pada pengelolaan siswa dalam memproses gagasannya.[4]
Tujuan teori konstruktivisme adalah sebagai berikut:
1.      Adanya motivasi untuk siswa belajar dan bertanggung jawab atas dirinya.
2.      Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendri pertanyaannya.
3.      Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
4.      Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
5.      Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar.[5]
Adapun karakteristik/ciri pembelajaran secara konstruktivisme adalah:
1.      Memberi peluang kepada pembelajar untuk membina pengetahuan baru melalui keterlibatannya dalam dunia sebenarnya.
2.      Mendorong ide-ide pembelajar sebagai panduan merancang pengetahuan.
3.      Mendukung pembelajaran secara kooperatif.
4.      Mendorong dan menerima usaha dan hasil yang diperoleh pembelajar.
5.      Mendorong pembelajar mau bertanya dan berdialog dengan guru.
6.      Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
7.      Mendorong proses inkuiri pembelajar melalui kajian dan eksperimen.[6]
B.     Tokoh-tokoh Teori Belajar Konstruktivistik
1.      Teori konstruktivisme Piaget
Teori Piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna membangun struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan “Schema/skema (jamak=schemata/skemata)”, atau konsep jejaring untuk memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan di sekelilingnya. Konsep skema sendiri sebenarnya sudah dikembangkan oleh para ahli linguistik, psikologi kognitif dan psikolinguistik yang digunakan untuk menjelaskan dan memahami adanya interaksi antara sejumlah faktor kunci yang berpengaruh terhadap proses pemahaman. Secara ringkas dijelaskan bahwa menurut terori skema, seluruh pengetahuan diorganisasikan menjadi unit-unit, di dalam unit-unit pengetahuan ini, atau skemata ini, disimpanlah informasi. Sehingga skema dapat dimaknai sebagai suatu deskripsi umum atau suatu sistem konseptual utnuk memahami pengetahuan tentang bagaimana pengetahuan itu dinyatakan atau tentang bagaimana pengetahuan itu diterapkan.[7]
Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti sebuah kotak-kotak yang masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda, oleh karena itu, dalam proses belajar terjadi dua proses, yaitu proses organisasi informasi dan adaptasi. Proses organisasi adalah proses ketika manusia menghubungkan informasi yang diterimanaya dengan struktur pengetahuan yang sudah disimpan atau sudah ada sebelumnya dalam otak. Sedangkan proses adaptasi adalah proses berisi dua kegiatan. Pertama, menghubungkan atau mengintegrasi pengetahuan yang diterima manusia atau disebut asimilasi. Kedua, mengubah struktur pengetahuan baru sehingga akan terjadi kesinambungan (equilibrium).
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Piaget adalah:
a.       Skemat
Skema adalah suatu struktur mental atau kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya. Skema itu akan beradaptasi dan berubah selama perkembangan mental anak. Skema bukanlah benda nyata yang dapat dilihat, melainkan suatu rangkaian proses dalam sistem kesadaran orang, maka tidak memiiki bentuk fisik dan tidak dapat dilihat. Skema adalah hasil kesimpulan atau bentukan mental, konstruksi hipotesis, seperti intelek, kreativitas, kemampuan, dan naluri.
b.      Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, melainkan memperkembangkan skema.[8]
c.       Akomodasi
Sesuatu hal yang baru terkadang belum tentu kemudian langsung masuk dalam skema yang dimiliki seseorang sebab bisa jadi bertabrakan atau bertentangan dengan yang sudah ada dalam skema. Sesuatu yang baru ketika tidak bisa masuk dalam skema yang ada kemudian bukan harus dibuang jauh-jauh atau ditolak secara mentah-mentah. Ada dua jalan yang selanjutnya dapat dilakukan dan ini merupakan konsep akomodasi. Pertama, membentuk skema baru yang dapat dicocokkan dengan rangsangan yang baru atau kedua memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d.      Equilibiration
Equilibiration sama dengan keseimbangan. Fungsinya adalah melakukan penyeimbangan ketika ada konflik dalam diri anak saat melihat sesuatu yang berbda dengan sebelumnya. Menyeimbangkan bertujuan untuk semakin memantapkan si anak bahwa ternyata banyak hal baru yang tidak dan belum diketahui sebelumnya.[9]
Dampak teori konstruktivisme Piaget terhadap pembelajaran:
a.       Kurikulum: pendidik harus merencanakan kurikulum yang berkembang sesuai dengan peningkatan logika anak dan pertumbuhan konseptual anak.
b.      Pengajaran: guru harus lebih menekankan pentingnya peran pengalaman bagi anak, atau interaksi anak dengan lingkungan di sekelilingnya. Misalnya guru harus mencermati peran penting konsep-konsep fundamental, seperti kelestarian objek-objek, serta permainan-permainan yang menunjang struktur kognitif.[10]
2.      Teori Konstruktivisme Vygotsky
Konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vigotsky yang berwajah sosial mengatakan bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial dan fisik sehingga belajar selanjutnya lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Belajar sesungguhnya dilahirkan dari aktifitas sosial yang bermakna dan memberikan semangat pembangunan belajar diselenggarakan dengan sedemikian rupa dalam rangka mengembangkan dan membangun kesadaran terhadap alam sekitar. Belajar dalam konteks yang lebih luas adalah sebuah aktifitas yang berkenaan dengan bagaimana seseorang seharusnya bermakna bagi dirinya dan lingkungannya. Disebut belajar apabila sesuatu itu kemudian memberikan nilai tambah bagi kehidupan seseorang bersangkutan. Dinamakan belajar apabila sesuatu yang didapatkan dalam realitas sosial mampu menjadi pedoman dalam perjalanan hidupnya ke depan. Oleh sebab itu, belajar kemudian merupakan sebuah proses dan perjalanan sosial yang panjang yang harus dilalui seseorang untuk bisa mengerti dibalik setiap kegiatan yang dikerjakan setiap harinya.[11]
Dampak konsep Vigotsky terhadap pembelajaran adalah sebagai berikut:
a.       Kurikulum: karena anak belajar umumnya melalui interaksi, kurikulum harus dirancang untuk menekankan adanya interaksi antara pembelajar dengan tugas-tugas pembelajaran.
b.      Pengajaran: dengan bantuan yang sesuai oleh orang dewasa, anak-anak sering dapat melaksanakan tugas-tugas yang tidak mampu diselesaikannya sendiri.[12]
3.      Teori Konstruktivisme Driver dan Bell
Driver dan Bell mengajukan karakteristik teori belajar konstruktivistik sebagai berikut:
a.       Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif, tetapi memiliki tujuan.
b.      Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa.
c.       Pengetahuan bukan sesuatu yang dating dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal.
d.      Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
e.       Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
4.      Teori Konstruktivisme Tasker
Tasker mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut:
a.       Peran aktif siswa dalam mengonstruksi pengetahuan secara bermakna.
b.      Pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengonstruksian secara bermakna.
c.       Mengaitkan antara gagasan dan informasi baru yang diterima.
5.      Teori Konstruktivisme Wheatley
Wheatley mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:
a.       Pengetahuan tidak diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
b.      Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian diatas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif danlam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan, secara spesifik, Hudoyo mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah memperlajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan memengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
6.      Teori Konstruktivisme Hanbury
Hanbury mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu sebagai berikut:
a.       Siswa mengonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
b.      Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti.
c.       Strategi siswa lebih bernilai.
d.      Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Berdasarkan beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka, bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.[13]
C.     Kelebihan dan Kelemahan Teori Konstruktivisme
1.      Kelebihan
a.       Dalam proses membina pengetahuan, pembelajar berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjalankan ide-idenya, dan membuat keputusan.
b.      Karena pembelajar terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, pembelajar lebih paham dan dapat mengapilkasikannya dalam semua situasi.
c.       Karena pembelajar terlibat langsung secara aktif, pembelajar akan mengingat semua konsep lebih lama.
d.      Pembelajar akan lebih memahami keadaan lingkungan sosialnya, yang diperoleh dari interaksi dengan teman dan guru dalam membina pengetahuan baru.
e.       Karena pembelajar terlibat langsung secara terus-menerus, pembelajar akan paham, ingat, yakin, dan berinteraksi dengan sehat. Dengan demikian, pembelajar akan merasa senang belajar dan membina pengetahuan.
2.      Kelemahan
a.       Peran guru sebagai pendidik kurang mendukung.
b.      Karena cakupannya lebih luas, lebih sulit dipahami.[14]
D.    Implementasi dan Implikasi Teori Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Dalam upaya implementasi teori belajar konstruktivisme, Tytler mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, antara lain:
1.      Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dalam bahasanya sendiri.
2.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif.
3.      Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
4.      Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yeng telah dimiliki siswa.
5.      Mendororng siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
6.      Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.[15]
Peranan guru dalam pembelajaran konstruktif terlihat pada bagaimana ia memilih dan mengendalikan proses belajar mengajar, memberikan dukungan selektif terhadap interpretasi yang dikemukakan siswa, baik mengenai isi interpretasi maupun cara atau sikap memberikan interpretasi. Guru membuat para siswa sadar dan bertanggung jawab atas proses belajar mereka. Dengan penguasaan materi ajar yang luas dan mendalam, guru lebih mudah mengajukan pertanyaan yang meminta para siswa berfikir dan merangsang mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkualitas dalam usaha mengonstruksi pengetahuan. Dengan Vigotsky mengemukakan bahwa belajar harus berlangsung dalam kondisi sosial dan masyarakat Indonesia pluralistik sifatnya, proses belajar mengajar dapat digunakan guru untuk mencoba menanamkan kebiasaan-kebiasaan sebagai dampak positif dan meniadakan kebiasaan-kebiasaan sebagai dampak negatif dari sifat pluralistik masyarakat kita. Semua ini dapat dilakukan guru yang kaya pengetahuan melalui pendekatan dan metode mengajar serta mau dan mampu menerapkannya sesuai dengan materi ajar yang diajarkannya dan siswa yang dihadapinya.
Dengan sadar dan bertanggung jawab atas proses belajar mereka sendiri, para siswa berusaha melibatkan diri dalam proses perubahan konseptual dengan memperhatikan bimbingan guru dan kerja sama dengan teman-teman sekelas. Mereka berusaha mengonstruksi kebermaknaan tentang hal yang sedang mereka pelajari. Selain itu mereka berusaha menerima dan menerapkan kebiasaan-kebiasaan baik yang disarankan guru atau ditiru dari teman-teman sekelas, walaupun hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu kebiasaan mau bertanya dengan bahasa yang baik dan benar, mau menolong orang lain, meu menghargai pendapat orang lain, jujur, rendah hati, tidak mau menang sendiri, tidak egoistik, dan sebagainya. Selanjutnya dengan usaha ini, anak-anak didik kita bukan hanya memiliki pengetahuan melainkan juga peradaban untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan hidup.[16]
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi:
1.      Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak.
2.      Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak, dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
3.      Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.[17]
Implementasi pendekatan konstruktivis dalam pengajaran pada umumnya menerapkan secara luas pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dengan landasan berfikir, bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok kecil (small group discussion) ini umumnya terdiri dari empat orang. Sumber yang lain menyarankan antara 2-6 orang per kelompok. Di sinilah peran rekan sebaya yang lebih kompeten (capable peers) ditampilkan.
Secara rutin dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh guru, kelompok siswa tertentu bekerja sama saling membantu untuk menyelesaikan masalah kompleks tertentu. Hal ini dilandasi oleh prinsip Vigotsky tentang hakikat sosial, yakni belajar. Selain itu juga disarankan penerapan pembelajaran dengan penemuan (discovery learning) serta pembelajaran generatif (generative learning) dalam implementasi pendekatan konstruktivis. Esensi pembelajaran generatif adalah pengintegrasian aktif materi baru dengan skemata yang ada dan telah dibentuk oleh siswa.[18]
Implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak menurut Poediaji adalah sebagai berikut:
1.      Tujuan pendidikan menurut belajar konstruktivisme adalah menghasilan individu atau anak yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
2.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memecahkan masalah sering dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Peserta didik dihrapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanya berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.[19]
Dampak teori konstruktivisme secara umum yang merupakan gabungan penerapan baik dari konsep Piaget maupun Vigotsky terhadap pembelajaran, antara lain dapat berkenaan dengan:
1.      Tujuan pendidikan: menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.
2.      Kurikulum: konstruktivisme tidak memerlukan kurikulum yang distandarisasikan. Oleh karena itu, lebih diperlukan kurikulum yang telah disesuaikan dengan pengetahuan awal siswa. Juga diperlukan kurikulum yang lebih menekankan keterampilan pemecahan masalah (hands-on problem solving). Dengan kata lain kurikulum harus dirancang sedemikian rupa, sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan maupun keterampilan dapat dikonstruksin oleh peserta didik.
3.      Pengajaran: di bawah teori konstruktivisme, pendidik berfokus terhadap bagaimana menyusun hubungan antar fakta-fakta serta memperkuat perolehan pengetahuan yang baru bagi siswa. Pengajar harus menyusun strategi pembelajarannya dengan memperhatikan respon/tanggapan dari siswa serta mendorong siswa untuk menganalisis, manafsirkan dan meramalkan informasi. Guru juga harus berupaya dengan keras menghadirkan pertanyaan berujung terbuka (open-ended questions) dan mendororng terjadinya dialog yang ekstensif antarsiswa. Dalam konsep ini sebaiknya guru berfungsi sebagai fasilitator dan mediator dan teman (mitra belajar) yang membangun situasi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik.
4.      Pembelajar: diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
5.      Penilaian: konstruktivisme tidak memerlukan adanya tes yang baku sesuai dengan tingkat kelas. Namun, justru memerlukan suatu penilaian yang merupakan bagian dari proses pembelajaran (penilaian autentik) sehingga memungkinkan siswa berperan lebih besar dalam menilai dan mempertimbangkan kemajuannya atau hasil belajarnya sendiri. Hal ini merupakan alasan untuk menghadirkan portofolio sebagai model penilaian. Portofolio secara ringkas dapat dimaknai sebagai bukti-bukti fisik (hasil ujian, makalah, hasil keterampilan, piagam, piala, catatan anekdot, dan lain-lain) hasil belajar atau hasil kinerja siswa.[20]


       [1] Muhammad Thobroni & Arif Mustofa, Belajar & Pembelajaran (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2013), 107-108.
       [2] Tutik Rachmawati dan Daryanto, Teori Belajar dan Proses Pembelajaran yang Mendidik (Yogyakarta: GAVA MEDIA, 2015), 76.
       [3] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 56-57.
       [4] Ibid., 58.
       [5] Muhammad Thobroni & Arif Mustofa, Belajar & Pembelajaran, 124.
       [6] Ibid., 109.
       [7] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2014), 107-108.
       [8] Tutik Rachmawati dan Daryanto, Teori Belajar dan Proses Pembelajaran yang Mendidik, 70-71.
       [9] Moh. Yamin, Teori dan Metode Pembelajaran (Malang: Madani, 2015), 61-62.
       [10] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, 109.
       [11] Moh. Yamin, Teori dan Metode Pembelajaran, 62-63.
       [12] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, 118.
       [13] Muhammad Thobroni & Arif Mustofa, Belajar & Pembelajaran, 113-114.
       [14] Ibid., 120-121.
       [15] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, 109.
       [16] Ratna Wilis Dahar, Teori-Teori Belajar & Pembelajaran (Jakarta: ERLANGGA, 2011), 165-166.
       [17] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, 59. 
       [18] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, 115-116.
       [19] Muhammad Thobroni & Arif Mustofa, Belajar & Pembelajaran, 122.
       [20] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, 122-123.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi)

Tiga Dimensi Teknologi Pendidikan (Teori, Bidang Garapan, dan Profesi) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Tekno...