Model
Pegembangan Kurikulum
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Pengembangan
Kurikulum”
Disusun Oleh: kelompok 5:
Syukur Mahanani
(210315074)
Rischa Yurita (210315066)
Liya Rizki Fadillah (210315058)
Kelas/Semester:
TB.B/III
Dosen
Pengampu:
Siti Rohmaturrosyidah Ratnawati, M. Pd.I.
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) PONOROGO
OKTOBER 2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Model – model pengembangan kurikulum memegang peranan penting dalam
kegiatan pengembangan kurikulum. Sungguh sangat naif bagi para pelaku
pendidikan di lapangan terutama guru, kepala sekolah, pengawas bahkan anggota
komite sekolah jika tidak memahami dengan baik keberadaan, kegunaan dan urgensi
setiap model–model pengembangan kurikulum. Salah satu fungsi pendidikan dan
kurikulum bagi masyarakat adalah menyiapkan peserta didik untuk kehidupan di
kemudian hari. Oleh karena itu ada beberapa ciri dasar yang dapat disimpulkan
atas penyelenggaraan kurikulum dan pendidikan yaitu sadar akan tujuan,
orientasi ke hari depan, dan sadar akan penyesuaian.
Pengembangan kurikulum tidak dapat lepas dari berbagai aspek yang
mempengaruhinya, seperti cara berpikir, sistem nilai (nilai moral, keagamaan,
politik,budaya, dan sosial), proses pengembangan, kebutuhan peserta didik,
kebutuhan masyarakat maupun arah program pendidikan. Model pengembangan
kurikulum merupakan suatu alternatif prosedur dalam rangka mendesain,
menerapkan, dan mengevaluasi suatu kurikulum. Banyak model dalam pengembangan
kurikulum yang dapat diterapkan dalam proses pendidikan, untuk lebih jelasnya
maka makalah ini akan membahas mengenai model–model pengembangan kurikulum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian model pengembangan
kurikulum?
2.
Apa macam-macam model pengembangan
kurikulum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Model
Model atau konstruksi merupakan ulasan teoritis tentang suatu
konsepsi dasar. Dalam pengembangan kurikulum, model dapat merupakan ulasan
teoritis tentang suatu proses kurikulum secara menyeluruh atau dapat pula
merupakan ulasan tentang salah satu bagian kurikulum.[1]
Menurut Good dan Travers sebagaimana yang dikutip oleh Wina Sanjaya
dalam bukunya yang berjudul Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), model adalah
abstraksi dunia nyata atau representasi peristiwa kompleks atau sistem, dalam
bentuk naratif, matematis, grafis, serta lambang-lambang lainnya.
Model berfungsi sebagai sarana untuk mempermudah berkomunikasi,
atau sebagai petunjuk yang bersifat perspektif untuk mengambil keputusan, atau
sebagai petunjuk perencanaan untuk kegiatan pengelolaan. Sementara menurut
Nadler sebagaimana yang dikutip oleh Wina Sanjaya dalam judul buku yang sama,
menjelaskan bahwa model yang baik adalah model yang menolong si pengguna untuk
mengerti dan memahami suatu proses secara mendasar dan menyeluruh.
Menurut beliau manfaat model adalah:
1.
Model dapat menjelaskan beberapa
aspek perilaku dan interaksi manusia.
2.
Model dapat mengintegrasikan
seluruh pengetahuan hasil observasi dan penelitian.
3.
Model dapat menyederhanakan suatu
proses yang bersifat kompleks.
4.
Model dapat digunakan sebagai
pedoman untuk melakukan kegiatan.[2]
Pada intinya
model pengembangan kurikulum adalah acuan atau langkah yang digunakan untuk
mengembangkan dan menyusun sesuatu, dalam hal ini adalah kurikulum yang
berfungsi untuk mempermudah, memberi petunjuk, memahami dan mengerti suatu
proses perencanaan bagi si pengguna.
B.
Macam-Macam Model Pengembangan
Kurikulum
Robert S. Zais dalam bukunya “Curriculum: Principles and
Foundation” mengemukakan delapan model pengembangan kurikulum. Model-model
itu adalah:
1.
The Administrative (Line-Staff)
Model
Pengembangan
kurikulum model ini sering disebut dengan istilah dari atas ke bawah (top
down) atau lini staf (line-staff procedure), artinya pengembangan
kurikulum ini dimulai dengan langkah pertama dari para pejabat tingkat atas
untuk membuat keputusan dan kebijakan berkaitan dengan pengembangan kurikulum.
Tim ini sekaligus sebagai tim pengarah dari pengembangan kurikulum. Langkah
kedua adalah membentuk tim panitia pelaksana atau komisi untuk mengembangkan
kurikulum yang didukung oleh beberapa anggota yang terdiri atas beberapa ahli,
yaitu ahli pendidikan, kurikulum, disiplin ilmu, tokoh masyarakat, tim
pelaksana pendidikan, dan pihak dunia kerja.[3]
Tugasnya
adalah merumuskan tujuan kurikulum yang spesifik, menyusun materi, kegiatan
pembelajaran, sistem penilaian, dan sebagainya sesuai dengan kebijakan steering
committee. Hasil pekerjaannya direvisi oleh panitia pengarah. Jika
dipandang perlu (tetapi hal ini jarang terjadi) akan diadakan uji coba (try-out)
untuk meneliti kelayakan pelaksanaannya. Hal ini dikerjakan oleh suatu komisi
yang ditunjuk oleh panitia pengarah, dan keanggotaannya terdiri atas sebagian
besar kepala-kepala sekolah. Apabila pekerjaan itu telah selesai, diserahkan
kembali kepada panitia pengarah untuk ditelaah kembali, baru kemudian
diimplementasikan.[4]
2.
The Grass-Roots Model
Langkah-langkahnya:
inisiatif pengembangan datangnya dari bawah (para pengajar), tim pengajar dari
beberapa sekolah ditambah nara sumber lain dari orang tua peserta didik atau
masyarakat luas yang relevan, pihak atasan memberikan bimbingan dan dorongan,
untuk pemantapan konsep pengembangan yang telah dirintisnya diadakan lokakarya
untuk mencari input yang diperlukan.[5]
Model grass-roots
ini didasarkan atas empat prinsip, yaitu:
a.
Kurikulum akan bertambah baik, jika
kemampuan profesional guru bertambah baik.
b.
Kompetensi guru akan bertambah
baik, jika guru terlibat secara pribadi di dalam merevisi kurikulum.
c.
Jika guru terlibat dalam merumuskan
tujuan yang ingin dicapai, menyeleksi, mendefinisikan dan memecahkan masalah,
mengevaluasi hasil, maka hasil pengembangan kurikulum akan lebih bermakna.
d.
Hendaknya diantara guru-guru
terjadi kontak langsung sehingga mereka dapat saling memahami dan mencapai
suatu consensus tentang prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan rencana.[6]
3.
The Demonstration Model
Model
demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, datang dari bawah. Model
ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan
ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini umumnya berskala
kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu komponen kurikulum
atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum. Karena sifatnya ingin mengubah
atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan kurikulum sering mendapat
tantangan dari pihak-pihk tertentu.[7]
Menurut Smith,
Stanley, dan Shores yang dikutip oleh Nana Syaodih Sukmadinata dalam bukunya
yang berjudul Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik, ada dua
variasai model demonstrasi ini. Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau
beberapa sekolah ditunjuk untuk melaksanakan suatu percobaan tentang
pengembangan kurikulum. Bentuk yang kedua, kurang bersifat formal. Beberapa
orang guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada, mencoba mengadakan
penelitian dan pengembangan sendiri. Mereka mencoba menggunakan hal-hal lain yang
berbeda dengan yang berlaku. Dengan kegiatan ini mereka mengharapkan ditemukan
kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih baik, untuk kemudian
digunakan di daerah yang lebih luas.[8]
Keuntungan
model demonstrasi antara lain: disebabkan kurikulum yang dihasilkan telah
melalui uji coba dalam praktik yang nyata, maka dapat memberikan alternatif yang
dapat bekerja; perubahan kurikulum pada bagian tertentu cenderung lebih mudah
disepakati dan diterima daripada perubahan secara keseluruhan; mudah untuk
mengatasi hambatan; dan menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara
sumber. Sedangkan kelemahan utama model ini adalah dapat menghasilkan
antagonisme baru. Guru-guru yang tidak terlibat di dalam proses pengembangan
cenderung bersikap apatis, curiga, tidak percaya, dan cemburu. Akibatnya,
mereka akan menerima kurikulum baru itu dengan setengah hati.[9]
4.
Beauchamp’s System Model
Model ini
dinamakan sistem Beauchamp, karena memang diciptakan dan dikembangkan oleh
Beauchamp seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan ada lima langkah dalam
proses pengembangan kurikulum:
a.
Menetapkan wilayah atau arena yang
akan melakukan perubahan suatu kurikulum.
b.
Menetapkan orang-orang yang akan
terlibat dalam proses pengembangan kurikulum.
c.
Menetapkan prosedur yang akan
ditempuh, yaitu dalam hal merumuskan tujuan umum dan khusus, memilih isi dan
pengalaman belajar serta menetapkan evaluasi.
d.
Implementasi kurikulum.
e.
Melaksanakan evaluasi kurikulum.[10]
5.
Taba’s Inverted Model
Model terbalik
ini dikembangkan oleh Hilda Taba atas dasar data induktif yang disebut model
terbalik.[11]
Dikatakan terbalik karena model ini merupakan cara yang lazim ditempuh secara
deduktif sehingga model ini sifatnya lebih induktif. Model ini dimulai dengan
melaksanakan eksperimen, diteorikan, kemudian diimplementasikan. Hal ini
dilakukan untuk menyesuaikan antara teori dan praktik, serta menghilangkan
sifat keumuman dan keabstrakan kurikulum, sebagaimana sering terjadi apabila
dilakukan tanpa kegiatan eksperimental.[12]
Langkah-langkahnya
sebagai berikut:
a.
Mendiagnosis kebutuhan, merumuskan
tujuan, menentukan materi, menemukan penilaian, memperhatikan antara luas dan
dalamnya bahan, kemudian disusunlah suatu unit kerikulum.
b.
Mengadakan try out.
c.
Mengadakan revisi atas dasar try
out.
d.
Menyusun kerangka kerja teori.
e.
Mengemukakan adanya kurikulum baru
yang akan didesiminasikan.[13]
6.
Roger’s Interpersonal Relations
Model
Model ini
berasal dari seorang psikolog Carl Rogers. Dia berasumsi bahwa “kurikulum
diperlukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes, dan adaptif
terhadap situasi perubahan.” Kurikulum demikian hanya dapat disusun dan
diterapkan oleh pendidik yang terbuka, luwes dan berorientasi pada proses.[14]
Langkah-langkah
dalam model ini adalah:
a.
Diadakannya kelompok untuk dapatnya
interpersonal di tempat yang tidak sibuk.
b.
Kurang lebih dalam satu minggu para
peserta mengadakan saling tukar pengalaman, di bawah pimpinan staf pengajar.
c.
Kemudian diadakan pertemuan dengan
masyarakat yang lebih luas lagi dalam satu sekolah, sehingga hubungan
interpersonal akan menjadi lebih sempurna. Yaitu hubungan antara guru dengan
guru, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik dalam
suasana yang akrab.
d.
Selanjutnya pertemuan diadakan
dengan mengikutsertakan anggota yang lebih luas lagi, yaitu dengan
mengikutsertakan para pegawai administrasi dan orang tua peserta didik. Dalam
situasi yang demikian di harapkan masing-masing person akan saling menghayati
dan lebih akrab, sehingga memudahkan berbagai pemecahan problem sekolah yang
dihadapi.[15]
7.
The Systematic
Action-Research Model
Model
kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan
perubaahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian
orang tua, siswa guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan
kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini
mnekankan pada tiga hal itu: hubungan insani, sekolah dan organisasi
masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan profesional.[16]
Adapun
langkah-langkahnya adalah:
a.
Dirasa adanya problem proses
belajar mengajar di sekolah yang perlu diteliti.
b.
Mencari sebab-sebab terjadinya
problem dan sekaligus dicari pemecahannya. Kemudian menentukan putusan apa yang
perlu diambil sehubungan dengan masalah yang timbul tersebut.
c.
Melaksanakan putusan yang telah
diambil.[17]
d.
Mencari fakta secara meluas.
e.
Menilai tentang kekuatan dan
kelemahannya.[18]
8.
Emerging Technical Model
Model
teknologis ini terdiri atas tiga variasi model, yaitu model analisis tingkah
laku, model analisis sistem, dan model berdasarkan komputer.
Model analisis
tingkah laku memulai kegiatannya dengan jalan melatih kemampuan anak mulai dari
yang sederhana sampai pada yang kompleks secara bertahap. Model analisis sistem
memulai kegiatannya dengan jalan menjabarkan tujuan-tujuan secara khusus (output),
kemudian menyusun alat-alat ukur untuk menilai keberhasilannya, selanjutnya
mengidentifikasi sejumlah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyelenggaraannya.
Model berdasarkan komputer memulai kegiatannya dengan jalan mengidentifikasi
sejumlah unit-unit kurikulum lengkap dengan tujuan-tujuan pembelajaran
khususnya. Setelah itu, guru dan peserta didik diwawancarai tentang pencapaian
tujuan-tujuan tersebut dan data itu disimpan dalam komputer. Data komputer
tersebut dimanfaatkan dalam menyusun materi pelajaran untuk peserta didik.[19]
Selain
model-model di atas, masih ada juga model yang lainnya:
1.
Model Ralph Tyler
Ada empat
tahapan yang harus dilakukan dalam pengembangan kurikulum model Ralph Tyler,
yaitu menentukan tujuan pendidikan, menentukan proses pembelajaraan, menentukan
organisasi kurikulum, menentukan evaluasi pembelajaran.[20]
Secara jelas
tentang model pengembangan kurikulum, dapat dilihat pada gambar berikut:
Objectivies What
edicational purposes should to seek to attain?
Selecting learning experience What educational experience can be
provided that are likely to attain these purposes?
Organizing learning experience How can these educational experience be
effectively organized?
Evaluation How can we determine whether
these purposes are being attained?
2.
Model Dynamic Skilbeck
Menurut
Skilbeck, model pengembangan kurikulum yang ia namakan model Dynamic, adalah
model pengembangan kurikulum pada level sekolah (School Nased Curriculum
Development).
Skilbeck
menjelaskan model ini diperuntukkan untuk setiap guru yang ingin mengembangkan
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. Langkah-langkahnya adalah:
a.
Menganalisis situasi.
b.
Memformulasikan tujuan.
c.
Menyusun program.
d.
Interpretasi dan implementasi.
Untuk lebih
mudah memahami model yang ditawarkan Skilbeck, gambar berikut mungkin bias
membantu:
|
|
|
3.
Model Wheeler
Menurut Wheeler,
pengembangan kurikulum merupakan suatu proses yang membentuk lingkaran. Proses
pengembangan kurikulum terjadi secara terus menerus. Wheeler berpendapat proses
pengembangan kurikulum terdiri dari lima fase (tahap), yakni:
a.
Menentukan tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum bisa merupakan tujuan yang bersifat nurmatif yang
mengandung tujuan filosofis atau tujuan pembelajaran umum yang bersifat
praktis. Sedangkan tujuan khusus adalah tujuan yang bersifat spesifik dan
objektif yakni tujuan yang mudah diukur ketercapaiannya.
b.
Menentukan pengalaman belajar yang
mungkin dapat dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dalam
langkah pertama.
c.
Menentukan isi atau materi
pembelajaran sesuai dengan pengalaman belajar.
d.
Mengorganisasi atau menyatukan
pengalaman belajar dengan isi atau materi belajar.
e.
Melakukan evaluasi setiap fase
pengembanagn dan pencapaiaan tujuan.
Bagaimana
proses pengembangan kurikulum dan komponen-komponn apa saja dalam setiap
pengembangan dapat di lihat pada gambar berikut:
4.
Model Nicholls
Model
pengembangan kurikulum Nicholls menggunakan pendekatan siklus seperti Wheeler.
Model Nicholls digunakan apabila ingin menyusun kurikulum baru yang diakibatkan
oleh terjadinya perubahan situasi.
Ada lima
langkah pengembangan kurikulum menurut Nicholls, yaitu:
a.
Analisis situasi
b.
Menentukan tujuan khusus
c.
Menentukan dan mengorganisasi isi
pelajaran
d.
Menentukan dan mengorganisasi
metode
e.
Evaluasi.[22]
Langkah-langkah
tersebut digambarkan Nicholls sebagaimana di bawah ini:
5.
Kurikulum Terpadu (Integrated
Curriculum)
Model
pengembangan kurikulum terpadu (integrated curriculum) mengikuti cara yang
pada dasarnya mengandung aspek-aspek yang sama dengan pengembangan kurikulum
lainya, hanya saja setiap kurikulum memiliki variasi menurut hakikat kurikulum
bersangkutan. Kurikulum terpadu dasarnya pada pemecahan suatu problem, yakni
“problem sosial” (social problem) yang dianggap penting dan menarik
bagianak didik.
Dalam
melaksanakan kurikulum terpadu, disusunlah unit sumber (research unit)
yang mencakup bahan (subject matter), kegiatan belajar (learning
activity), dan sumber-sumber (resources) yang sangat luas.[23]
Dari
macam-macam model pengembangan kurikulum yang telah dijelaskan diatas,
sebenarnya masih banyak model pengembangan kurikulum yang lainnya.
Namun pada
dasarnya semua kurikulum tersebut memiliki komponen tujuan, bahan, proses
belajar mengajar, dan penilaian atau evaluasi yang sama.[24]
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan:
1.
Model pengembangan kurikulum adalah
acuan atau langkah yang digunakan untuk mengembangkan dan menyusun sesuatu,
dalam hal ini adalah kurikulum yang berfungsi untuk mempermudah, memberi
petunjuk, memahami dan mengerti suatu proses perencanaan bagi si pengguna.
2.
Menurut Robert S. Zais, ada delapan
model pengembangan kurikulum yaitu: The Administrative (Line-Staff) model,
The Grass-Roots Model, The Demonstration Model, Beauchamp’s System Model,
Taba’s Inverted Model, Roger’s Interpersonal Relations Model, The System
Action-Research Model, dan Emerging Technical Model. Akan tetapi
selain itu juga masih ada banyak model pengembangan kurikulum yang lainnya
seperti: Model Ralph Tyler, Model Dynamic Skilbeck, Model Wheeler, Model
Nicholls, Kurikulum Terpadu (Integrated Curriculum), dan lain
sebagainya. Namun pada dasarnya semua kurikulum tersebut memiliki komponen
tujuan, bahan, proses belajar mengajar, dan penilaian atau evaluasi yang sama
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zainal. Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Dakir. Perencanaan dan Pengembangan
Kurikulum. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004.
Hamid, Hamdani. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.
Idi, Abdullah. Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktik. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
Sanjaya, Wina. Kurukulum dan
Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembaangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Pemnembangan
Kurikulum: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014.
[1] Zainal Arifin, Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum (Bandung, PT Remaja Rodakarya, 2014), 137.
[2] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran:
Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), 82.
[3] Hamdani Hamid, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), 133-134.
[4] Zainal Arifin, Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum, 138.
[5] Dakir, Perencanaan dan Pengembangan
Kurikulum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 96.
[6] Zainal Arifin, Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum, 139.
[7] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014), 165.
[8] Ibid.
[9] Zainal Arifin, Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum, 140.
[10] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran:
Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), 91-92.
[11] Dakir, Perencanaan dan Pengembangan
Kurikulum, 97.
[12] Zainal Arifin, Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum, 141.
[13] Dakir, Perencanaan dan Pengembangan
Kurikulum, 97-98.
[14] Zainal Arifin, Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum, 142.
[15] Dakir, Perencanaan dan Pengembangan
Kurikulum, 98.
[16] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktik, 169.
[17] Dakir, Perencanaan dan Pengembangan
Kurikulum, 99.
[18] Zainal Arifin, Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum, 143.
[19] Ibid.
[20] Hamdani Hamid, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan, 133.
[21] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran:
Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), 96.
[22] Ibid., 94-96.
[23] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum:
Teori dan Praktik (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), 177.
[24] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar