PERKEMBANGAN
ISLAM DI INDONESIA
A.
MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Menurut hasil seminar “Masuknya Islam di Indonesia,” pada tanggal
17-20 Maret 1963 di Medan yang dihadiri oleh sejumlah budayawan sejarawan
Indonesia, disebutkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pertama kali pada
abad pertama Hijriah (kira-kira abad 8 Masehi).
Islam masuk ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu:
1.
Jalur utara, dengan rute: Arab
(Mekah dan Madinah) – Damaskus – Bagdad – Gujarat (Pantai Barat India) –
Srilangka – Indonesia.
2.
Jalur selatan, dengan rute: Arab
(Mekah dan Madinah) – Yaman – Gujarat – Srilangka – Indonesia.
Daerah pertama dari kepulauan Indonesia yang dimasuki Islam adalah
pantai Sumatera bagian utara. Berawal dari daerah itulah Islam mulai menyebar
ke berbagai pelosok Indonesia, yaitu: wilayah-wilayah Pulau Sumatera (selain
pantai Sumatera bagian utara), Pulau Jawa, Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan,
Kepulauan Maluku dan sekitarnya, dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Hal itu
disebabkan antara lain sebagai berikut:
1.
Adanya dorongan kewajiban bagi
setiap Muslim/Muslimah, khususnya para ulamanya, untuk berdakwah mensyiarkan
Islam sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
2.
Adanya kesungguhan hati dan
keuletan para juru dakwah untuk berdakwah secara terus-menerus kepada keluarga,
para tetangga, dan masyarakat sekitarnya.
3.
Persyaratan untuk memasuki Islam
sangat mudah, seseorang telah dianggap masuk Islam hanya dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat.
4.
Ajaran Islam tentang persamaan dan
tidak adanya sistem kasta dan diskriminasi mudah menarik simpati rakyat,
terutama dari lapisan bawah.
5.
Banyak raja-raja Islam yang ada di
berbagai wilayah Indonesia ikut berperan aktif melaksanakan kegiatan dakwah
islamiah, khususnya terhadap rakyat mereka.
B.
PERKEMBANGAN
ISLAM DI INDONESIA
Berikut ini perkembangan Islam di Indonesia.
1. Sumatera
Daerah yang
dimasuki Islam dari kepulauan Indonesia adalah Sumatera bagian utara, seperti
Pasai dan Perlak. Karena wilayah Sumatera bagian Utara letaknya di tepi Selat
Malaka, tempat lalu lintas kapal-kapal dagang dari India ke Cina.
Para pedagang
dari India, yakni bangsa Arab, Persia, dan Gujarat, yang juga para mubalig
Islam, banyak yang menetap di Bandar-bandar sepanjang Sumatera Utara. Mereka
menikah dengan wanita-wanita pribumi yang sebelumnya telah diIslamkan, sehingga
terbentuknya keluarga Muslim. Mereka mensyiarkan Islam dengan cara bijaksana,
baik dengan lisan maupun sikap dan perbuatan, terhadap sanak famili, para
tetangga, dan masyarakat sekitarnya.
Hingga
akhirnya berdiri kerajaan Islam pertama, yaitu Samudra Pasai. Kerajaan ini
berdiri pada tahun 1261 M, di pesisir timur Laut Aceh Lhokseumawe (Aceh Utara),
rajanya bernama Merah Silu, bergelar Sultan Al-Malik As-Saleh. Beliau menikah
dengan putri Raja Perlak yang memeluk agama Islam.
Samudra Pasai
makin berkembang dalam bidang politik, ekonomi, dan kebudayaan. Seiring dengan
kemajuan kerajaan Samudra Pasai yang sangat pesat, pengembangan agama Islam pun
mendapat perhatian dan dukungan penuh. Samudra Pasai terkenal dengan sebutan
Serambi Mekah.
2.
Jawa
Penemuan nisan
makam Siti Fatimah binti Maimun di daerah Leran/Gresik yang wafat tahun 1101 M
dijadikan tonggak awal kedatangan Islam di Jawa. Hingga pertengahan abad ke-13,
bukti-bukti kepurbakalaan maupun berita-berita asing tentang masuknya Islam di
Jawa sangatlah sedikit. Baru sejak akhir abad ke-13 M hingga abad-abad
berikutnya, terutama sejak Majapahit mencapai puncak kejayaannya, bukti-bukti
proses pengembangan Islam ditemukan lebih banyak lagi. Misalnya, penemuan kuburan
Islam di Troloyo, Trowulan, dan Gresik, juga berita Ma Huan (1416 M) yang
menceritakan tentang adanya orang-orang Islam yang bertempat tinggal di Gresik.
Pertumbuhan
masyarakat Muslim di sekitar Majapahit sangat erat kaitannya dengan
perkembangan hubungan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan orang-orang
Islam yang telah memiliki kekuatan politik dan ekonomi di Kerajaan Samudra
Pasai dan Malaka. Pengembangan Islam di tanah Jawa dilakukan oleh para ulama
dan mubalig yang kemudian terkenal dengan sebutan Wali Sanga (sembilan wali).
a.
Maulana Malik Ibrahim atau Sunan
Gresik
Maulana Malik
Ibrahim merupakan wali tertua di antara Wali Sanga yang mensyiarkan agama Islam
di Jawa Timur, sehingga dikenal pada dengan nama Sunan Gresik. Maulana Malik
Ibrahim menetap di Gresik dengan mendirikan masjid dan pesantren, tempat
mengajarkan Islam kepada para santri dan kepada para penduduk agar menjadi umat
Islam yang bertakwa. Beliau wafat pada tahun 1419 M (882 H) dan dimakamkan di
Gapura Wetan, Gresik.
b.
Sunan Ampel
Sunan Ampel
nama aslinya adalah Raden Rahmat. Lahir pada tahun 1401 M dan wafat pada tahun
1481 M serta dimakamkan di di desa Ampel. Sunan Ampel menikah dengan seorang
putri Tuban bernama Nyi Ageng Manila dan dikaruniai empat orang anak, yaitu:
Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Nyi Ageng
Maloka, dan putri yang menjadi istri Sunan Kalijaga.
Jasa-jasa
Sunan Ampel antara lain:
1)
Mendirikan pesantren di Ampel
Denta, dekat Surabaya.
2)
Berperan aktif dalam membangun
masjid agung Demak, yang dibangun pada tahun 1479 M.
3)
Memelopori berdirinya kerajaan
Islam Demak dan ikut menobatkan Raden Fatah sebagai sultan pertamanya.
c.
Sunan Bonang
Sunan Bonang
nama aslinya adalah Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel. Lahir pada tahun
1465 M dan wafat tahun 1515 M. semasa hidupnya beliau mempelajari Islam dari
ayahnya sendiri, kemudian bersama Raden Paku merantau ke Pasai untuk mendalami
Islam. Jasa beliau sangat besar dalam penyiaran Islam.
d.
Sunan Giri (1365-1428)
Beliau adalah
seorang wali yang sangat besar pengaruhnya di Jawa, terutama di Jawa Timur.
Ayahnya, Maulana Ishak, berasal dari Pasai dan ibunya, Sekardadu, putri Raja
Blambangan Minak Sembayu. Belajar Islam di pesantren Ampel Denta dan Pasai.
Sunan Giri
(Raden Paku) mendirikan pesantren di Giri, kira-kira 3 km dari Gresik. Selain
itu, beliau mengutus para mubalig untuk berdakwah ke daerah Madura, Bawean,
Kangean, bahkan ke Lombok, Makassar, Ternate, dan Tidore.
e.
Sunan Drajat
Nama aslinya
adalah Syarifuddin, putra Sunan Ampel dan adik Sunan Bonang. Beliau berjasa
dalam mensyiarkan Islam dan mendidik para santri sebagai calon mubalig.
f.
Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung
Jati lebih dikenal dengan sebutan Syarif Hidayatullah. Beliau berjasa dalam
menyebarkan Islam di Jawa Barat dan berhasil mendirikan dua buah kerajaan
Islam, yakni Banten dan Cirebon. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570 M
dan dimakamkan di Gunung Jati (7 km sebelah utara Cirebon).
g.
Sunan Kudus
Nama aslinya
adalah Ja’far Sadiq, lahir pada pertengahan abad ke-15 dan wafat pada tahun
1550 M (960 H). Beliau berjasa dalam menyebarkan Islam di daerah Kudus dan
sekitarnya, Jawa Tengah bagian utara. Sunan Kudus membangun sebuah masjid yang
terkenal sebagai Masjid Menara Kudus. Sunan Kudus juga terkenal sebagai seorang
sastrawan, di antara karya sastranya yang terkenal adalah gending Maskumambang
dan Mijil.
h.
Sunan Kalijaga
Nama aslinya
adalah Raden Mas Syahid, salah seorang Wali Sanga yang terkenal karena berjiwa
besar, toleran, dan juga pujangga. Beliau adalah seorang mubalig yang berdakwah
sambil berkelana. Di dalam dakwahnya Sunan Kalijaga sering menggunakan kesenian
rakyat (gamelan, wayang, serta lagu-lagu daerah). Belau wafat pada akhir ke-16
dan dimakamkan di desa Kadilangu sebelah timur laut kota Demak.
i.
Sunan Muria
Nama aslinya
Raden Umar Said, putra dari Sunan Kalijaga. Beliau seorang mubalig yang
berdakwah ke pelosok-pelosok desa dan daerah pegunungan. Di dalam dakwahnya
beliau menggunakan sarana gamelan serta kesenian daerah lainnya. Beliau
dimakamkan di Gunung Muria, yang terletak di sebelah utara kota Kudus.
3.
Sulawesi
Menurut berita
Tom Pires, pada awal abad ke-16 di Sulawesi banyak kerajaan-kerajaan kecil yang
sebagian masih memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Di antara
kerajaan-kerajaan itu yang paling terkenal dan besar adalah kerajaan Gowa
Tallo, Bone, Wajo, dan Sopang.
Pada tahun
1562-1565 M, di bawah pimpinan Raja Tumaparisi Kolama, kerajaan Gowa Tallo
berhasil menaklukkan daerah Selayar, Bulukumba, Maros, Mandar, dan Luwu. Pada
masa itu, di Gowa Tallo telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim
dalam jumlah yang cukup besar. Atas jasa Dato Ribandang dan Dato Sulaemana,
penyebaran dan pengembangan Islam lebih intensif dan mendapat kemajuan yang
pesat. Pada tanggal 22 September 1605 Raja Gowa yang bernama Karaeng Tonigallo
masuk Islam yang kemudian bergelar Sultan Alaudin. Beliau berhubungan baik
dengan Ternate, bahkan secara pribadi beliau bersahabat baik dengan Sultan
Babullah dari Ternate.
Setelah resmi
menjadi kerajaan bercorak Islam, Gowa melakukan perluasan kekuasaannya. Daerah
Wajo dan Sopeng berhasil ditaklukkan pada tahun 1611 M. Sejak saat itu Gowa
menjadi pelabuhan transit yang sangat ramai.
4.
Kalimantan
Sebelum Islam
masuk ke Kalimantan, di Kalimantan Selatan terdapat kerajaan-kerajaan Hindu
yang berpusat di negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang terletak di hulu sungai
Nagara dan Amuntai Kimi. Kerajaan-kerajaan ini sudah menjalin hubungan dengan
Majapahit, bahkan salah seorang raja Majapahit menikah dengan Putri Tunjung
Buih. Hal tersebut tercatat dalam Kitab “Negara Kertagama” karya Empu Prapanca.
Menjelang
kedatangan Islam, Kerajaan Daha diperintah oleh Maha Raja Sukarana. Setelah
beliau meninggal digantikan oleh Pangeran Tumenggung. Hal ini menimbulkan
kemelut keluarga, karena Pangeran Samudra (cucu Maha Raja Sukarama) merasa
lebih berhak atas takhta kerajaan. Akhirnya Pangeran Samudra dinobatkan menjadi
Raja Banjar oleh para pengikut setianya, yang membawahi daerah Masik, Balit,
Muhur, Kuwin dan Balitung, yang terletak di hilir sungai Nagara.
Berdasarkan
hikayat Banjar, Pangeran Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak (Sultan Trenggono)
untuk memerangi Kerajaan Daha, dengan perjanjian apabila Kerajaan Daha dapat
dikalahkan maka Pangeran Samudra beserta rakyatnya bersedia masuk Islam.
Ternyata berkat bantuan tentara Demak, Pangeran Tumenggung dari Kerajaan Daha
dapat ditundukkan sesuai dengan perjanjian, akhirnya Raja Banjar, Pangeran
Samudra beserta segenap rakyatnya masuk Islam dan bergelar Sultan Suryamullah.
Menurut A.A Cense dalam bukunya, “De Kroniek van Banjarmasin 1928,” peristiwa
itu terjadi pada tahun 1550 M.
5.
Maluku dan Sekitarnya
Antara tahun
1400-1500 M (abad ke-15) Islam telah masuk dan berkembang di Maluku, dibawa
oleh para pedagang Muslim dari Pasai, Malaka, dan Jawa. Mereka yang sudah
beragama Islam banyak yang pergi ke pesantren-pesantren di Jawa Timur untuk mempelajari
Islam.
Raja-raja di
Maluku yang masuk Islam di antaranya:
a.
Raja Ternate, yang kemudian
bergelar Sultan Mahrum (1465-1486). Setelah beliau meninggal, digantikan oleh
Sultan Zaenal Abidin yang besar jasanya dalam mensyiarkan Islam di kepulauan
Maluku dan Irian, bahkan sampai ke Filipina.
b.
Raja Tidore, yang kemudian bergelar
Sultan Jamaludin.
c.
Raja Jailolo, yang berganti nama
dengan Sultan Hasanuddin.
d.
Raja Bacan, yang masuk Islam pada
tahun 1520 dan bergelar Sultan Zaenal Abidin.
Selain Islam
masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian. Daerah-daerah Irian
Jaya yang dimasuki Islam adalah Miso, Jalawati, Pulau Waigio dan Pulau Gebi.
C.
HIKMAH
PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
1. Masa
Penjajahan
a. Peranan Umat
Islam pada Masa Penjajahan
Dengan
dianutnya agama Islam oleh mayoritas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah
banyak mendatangkan perubahan. Perubahan-perubahan itu antara lain:
1) Masyarakat
Indonesia dibebaskan dari pemujaan berhala dan pendewaan raja-raja serta
dibimbing agar menghambakan diri kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
2) Rasa persamaan
dan rasa keadilan yang diajarkan Islam, (lihat Q.S. An-Nahl: 90), mampu
mengubah masyarakat Indonesia yang dulunya menganut system kasta dan diskriminasi
menjadi masyarakat yang setiap anggotanya mempunyai kedudukan, harkat,
martabat, dan hak-hak yang sama.
3) Semangat cinta
tanah air dan rasa kebangsaan yang didengungkan Islam dengan semboyan “Hubbul
Watan Minal-Iman” (cinta tanah air sebagian dari iman) mampu mengubah cara
berpikir masyarakat Indonesia, khususnya para pemuda, yang dulunya bersifat
sekatrian (lebih mementingkan sukunya dan daerahnya) menjadi bersifat
nasionalis (lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara).
4) Semboyan yang
diajarkan Islam yang berbunyi “Islam adalah agama yang cinta damai, tetapi
lebih cinta kemerdekaan” telah mampu mendorong masyarakat Indonesia untuk
melakukan usaha-usaha mewujudkan kemerdekaan bangsanya dengan berbagai cara.
Allah SWT
berfirman, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Q.S. Al-Baqarah: 190).
Menurut Islam,
berperang dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa,
negara, dan agama merupakan “Jihad bi sabilillah” yang hukumnya wajib.
Sedangkan umat Islam yang mati dalam “Jihad fi sabilillah” tersebut dianggap
mati syahid, yang imbalannya adalah surga.
b. Perlawanan
Kerajaan Islam dalam Menentang Penjajahan
1) Perlawanan
terhadap Penjajah Portugis
Bangsa
Portugis datang dari Eropa Barat ke Dunia Timur, termasuk Indonesia, dengan
semboyan “gold (tambang emas), glory (kemuliaan, keagungan), dan gospel
(penyebaran agama Nasrani).”
Bangsa
Portugis melakukan berbagai usaha dengan menghalalkan segala cara. Antara lain
pada tahun 1511 mereka merebut Bandar Malaka, yang waktu itu berada di bawah
kekuasaan Sultan Mahmud Syah (1488 – 1511).
Sikap bangsa
Portugis yang kasar dan angkuh, yang bermaksud merebut kekuasaan dan memaksakan
kemauannya dalah perdagangan, menyebabkan kerajaan-kerajaan Islam yang ada di
Indonesia bangkit untuk memberikan perlawanan mengusir penjajah Portugis dari
bumi Nusantara.
Pada tahun
1526 bala tentara Demak di bawah pimpinan panglima perang Fatahillah berangkat
melalui jalan laut menuju Sunda Kelapa untuk mengusir penjajah Portugis.
Setibanya di Sunda Kelapa, Fatahillah dan bala tentaranya mengepung Sunda
Kelapa dan terjadilah pertempuran sengit melawan penjajah Portugis. Dalam
pertempuran ini Fatahillah dan bala tentaranya memperoleh kemenangan. Sunda
Kelapa direbut dari tangan penjajah. Kemudian Sunda Kelapa diganti namanya
menjadi Jayakarta (Jakarta). Peristiwa ini terjadi pada tanggal 22 Juni 1527 M
yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya kota Jakarta. Portugis dan
Spanyol mengadakan Perjanjian Tordesilas (1529) yang isinya:
a) Maluku menjadi
milik Portugis
b) Filipina
Selatan menjadi milik Spanyol
c) Perlawanan
terhadap Penjajah Belanda
Bangsa
Indonesia kembali dijajah oleh bangsa Belanda, yang untuk pertama kali berlabuh
di Banten pada tahun 1596 dipimpin oleh Cornelis de Houtman. Tujuan kedatangan
Belanda ke Indonesia sama dengan tujuan penjajah Portugis, yakni untuk
memaksakan praktik monopoli perdagangan dalam menanamkan kekuasaan terhadap
kerajaan-kerajaan yang ada di wilayah Nusantara. Penjajah Belanda menempuh
berbagai usaha dan menghalalkan segala cara. Misalkan, menerapkan politik
Divide et Impera, muslihat damai, mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya dari
bumi Nusantara untuk membangun bangsanya, dan membiarkan rakyat Indonesia
berada dalam kemiskinan dan keterbelakangan.
Sejarah
mencatat dengan tinta emas, sederetan nama para pejuang kusuma bangsa yang
menderita, bahkan berkorban jiwa dalam berperang melawan penjajah Belanda, demi
tegaknya kemerdekaan bangsa dan negara tercinta Indonesia.
Di pulau Jawa
nama-nama tersebut antara lain: Sultan Ageng Tirtayasa, Kyai Tapa dan Bagus
Buang dari Kesultanan Banten, Sultan Ageng dari Kesultanan Mataram, dan
Pangeran Diponegoro dari Kesultanan Yogyakarta.
Dari
Kesultanan Aceh kita bisa mengenal sederetan nama para panglima perang Islam,
seperti: Panglima Polim, Panglima Ibrahim, Teuku Cek Ditiro, Cut Nyak Dien,
Habib Abdul Rahman, Imam Leungbatan, dan Sultan Alaudin Muhammad Daud Syah.
Dari Maluku,
yakni dari Kesultanan Ternate dan Tidore, tercatat nama-nama para pejuang
kusuma bangsa seperti Saidi, Sultan Jamaluddin, dan Pangeran Neuku.
Dari Sulawesi
Selatan, yakni dari kerajaan Gowa-Tallo dan Bone, terkenal nama pahlawan bangsa
seperti Sultan Hasanuddin dan Lamadu Kelleng yang bergelar Arung Palaka.
Sedangkan dari
Kalimantan Selatan, rakyat yang mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat
pajak yang tinggi dan kewajiban kerja paksa serempak mengangkat senjata di
bawah pimpinan para panglima perang, seperti: Pangeran Antasari, Kyai Demang
Lemam, Berasa, Haji Masrin, Haji Bayasin, Kyai Langlang, Pangeran Hidayat,
Pangeran Maradipa, dan Tumenggung Mancanegara.
Demikianlah
nama-nama para pahlawan Islam sebagai para pejuang kusuma bangsa dari berbagai
kepulauan di Nusantara, yang telah berperang melawan imperialism Belanda.
Sayangnya, perlawanan mereka dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Hal ini
disebabkan antara lain karena perlawanan mereka lebih bersifat lokal regional
sporadis (tidak merata) dan kurang terkoordinasi serta persenjataan pihak kaum
imperialis jauh lebih canggih.
2. Masa Perang
Kemerdekaan
a. Peranan Ulama
Islam Pada Masa Perang Kemerdekaan
Peranan ulama
Islam Indonesia pada masa perang kemerdekaan ada dua macam:
1) Membina kader
umat Islam, melalui pesantren dan aktif dalam pembinaan masyarakat.
2) Turut bejuang
secara fisik sebagai pemimpin perang.
Para pahlawan
Islam yang telah berjuang melawan imperialis Portugis dan Belanda, seperti:
Fatahillah, Sultan Baabullah, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, dan Habib
Abdurrahman, adalah juga para ulama yang beriman dan bertakwa, yang berakhlak
baik dan bermanfaat bagi orang banyak sehingga mereka menjadi panutan umat.
b. Peranan
Organisasi dan Pondok Pesantren Pada Masa Perang Kemerdekaan
Organisasi-organisasi
tersebut adalah:
1) Serikat Dagang
Islam/Serikat Islam
Serikat Dagang
Islam didirikan oleh Haji Samanhudi dan Mas Tirta Adisuryo pada tahun 1905 di
Kota Solo. Tujuan organisasi ini pada awalnya adalah menggalang kekuatan para
pedagang Islam melawan monopoli pedagang Cina (yang mendapat perlakuan istimewa
dari penjajahan Belanda) dan memajukan agama Islam.
Pada tahun
1912 Serikat Dagang Islam diubah menjadi Serikat Islam (SI), bertujuan bukan
hanya untuk memajukan para pedagang Islam, tetapi lebih luas lagi, yaitu untuk
menghapus penderitaan, penghinaan, dan ketidakadilan yang menimpa seluruh
rakyat Indonesia akibat ulah penjajahan Belanda.
Pada tahun
1914 telah berdiri 56 perkumpulan lokal Serikat Islam yang telah resmi
berbentuk badan hukum yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Untuk
menyeragamkan gerak dan langkah, pada tanggal 18 Maret 1916 dibentuk wadah
Serikat Islam Sentral, yang diketuai oleh Haji Omar Said Cokroaminoto.
Pada bulan
Juni 1916 Serikat Islam mengadakan kongresnya yang pertama yang dinamai Kongres
Nasional Serikat Islam. Di dalam kongres itu dijelaskan bahwa istilah
“Nasional” digunakan untuk mempertegas bahwa Serikat Islam mencita-citakan
adanya suatu “Nation” bagi rakyat Indonesia (baca penduduk pribumi).
Pada tahun
1923 Sentral Serikat Islam mengubah namanya menjadi Partai Serikat Islam (PSI).
Gagasan gerakan Islam Internasional ini dikemukakan oleh Kyai Haji Agus Salim,
dengan nama pan-Islamisme.
2)
Muhammadiyah
Organisasi
Islam Muhammadiyah didirikan di kota Yogyakarta oleh K.H. Ahmad Dahlan pada
tanggal 18 November 1912. Peranan Muhammadiyah pada masa penjajahan Belanda
lebih dititikberatkan pada usaha-usaha mencerdaskan rakyat Indonesia dan
meningkatkan kesejahteraan mereka, yakni dengan mendirikan sekolah-sekolah,
baik sekolah umum maupun sekolah agama, rumah sakit, panti asuhan, rumah-rumah
penampungan bagi warga miskin dan perpustakaan-perpustakaan.
Pada tahun
1925, tidak lama setelah pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan wafat, Muhammadiyah
sudah tersebar di semua kota besar di seluruh Indonesia serta berhasil membangun
dan mengelola 1774 buah sekolah, 31 buah perpustakaan, 834 masjid, puluhan
rumah sakit, panti asuhan, dan rumah-rumah penampungan bagi warga miskin.
3)
Nahdlatul Ulama (NU)
NU didirikan
di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926. Dua tokoh penting dalam upaya
pembentukan NU adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah. Pada masa
penjajahan Belanda, NU senantiasa berjuang menentang penjajah dan pernah
mengeluarkan pernyataan politik yang isinya:
a)
Menolak kerja rodi yang dibebankan
oleh penjajah kepada rakyat.
b)
Menolak rencana ordonansi
(peraturan pemerintah) tentang perwakinan tercatat.
c)
Menolak diadakannya Milisi (wajib
militer).
d)
Menyokong GAPI dalam menuntut
Indonesia yang memiliki parlemen kepada pemerintah colonial Belanda.
4)
Pondok Pesantren
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang penyelenggaraan
pendidikannya bersifat tradisional dan sederhana. Mata pelajaran yang diajarkan
di pesantren adalah: Ilmu Tauhid, Fikih Islam, Akhlak, Ushul Fikih, Nahwu,
Saraf, dan Ilmu Mantik. Sumber pelajaraannya, biasanya kitab-kitab berbahasa
Arab yang tidak berharakat atau gundul, yang biasa disebut dengan “Kitab
Kuning”.
3.
Masa Pembangunan
a.
Peranan Umat Islam pada Masa
Pembangunan
Dalam usaha
mempertahankan kemerdekaan negara Republik Indonesia, umat Islam yang merupakan
mayoritas penduduk, tampil di barisan terdepan dan perjuangan, baik perjuangan
fisik (berperang) maupun perjuangan diplomasi. Di tahun-tahun awal kelahirannya
sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, bangsa Indonesia harus menghadapi
Jepang (September 1945), negara Sekutu (November 1945 – Maret 1946), dan
Belanda (Agresi Belanda I pada 21 Juli 1947 dan Agresi Belanda II pada 19
Desember 1948).
Selain itu,
kemerdekaan negara Republik Indonesia dipertahankan melalui usaha-usaha
diplomatic, yaitu perundingan antara Indonesia dan Belanda, misalnya:
perundingan Linggarjati (November 1946), perjanjian Renville (Desember 1947),
perjanjian Roem Royen (April 1949), dan Konferensi Meja Bundar di Den Haag (2
November 1949).
b.
Peranan Organisasi Islam dalam Masa
Pembangunan
Organisasi
Islam yang ada pada masa pembangunan ini cukup banyak, antara lain:
Muhammadiyah; Nahdlatul Ulama (NU); Himpunan Mahasiswa Islam (HIM), berdiri
tahun 1947 di Yogyakarta; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), berdiri
pada 17 April 1960 dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berdiri pada 26 Juli 1975.
Peranan
Muhammadiyah dalam masa pembangunan antara lain:
1)
Melakukan usaha-usaha agar
masyarakat Indonesia berilmu pengetahuan tinggi, berbudi luhur, dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2)
Melakukan usaha-usaha di bidang
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, antara lain mendirikan Rumah Sakit,
Poliklinik, BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak), Panti Asuhan, dan Pos Santunan
Sosial.
Nahdlatul
Ulama, yang pernah berkiprah di bidang politik, dalam perkembangan selanjutnya
melalui Munas NU pada tanggal 18 – 21 Desember 1984 di Situbondo, dengan tegas
menyatakan bahwa NU meninggalkan aktivitas politik dan kembali ke khittah
(tujuan dasar). Usaha-usaha NU antara lain:
1)
Mendirikan madrasah-madrasah,
seperti Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan Perguruan Tinggi.
2)
Mendirikan, mengelola, dan
mengembangkan pesantren-pesantren.
3)
Membantu dan mengurusi anak-anak yatim dan
fakir miskin.
Majelis Ulama
Indonesia adalah organisasi keulamaan yang bersifat independen, tidak
berafiliasi kepada salah satu aliran politik, mazhab atau aliran keagamaan
Islam yang ada di Indonesia. Adapun peranan Majelis Ulama Indonesia pada masa
pembangunan adalah:
1)
Memberikan fatwa dan nasihat
keagamaan dalam masalah sosial kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam
pada umumnya, sebagai amar ma’ruf nahi mungkar dalam usaha meningkatkan
ketahanan nasional.
2)
Memperkuat Ukhuwah Islamiah dan
melaksanakan kerukunan antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan
kesatuan nasional.
3)
MUI adalah penghubung antara Ulama
dan Umara serta menjadi penerjemah timbale-balik antara pemerintah dan umat
Islam Indonesia guna menyukseskan pembangunan nasional.
Organisasi ini
pertama kali diketuai oleh Prof. DR. B.J. Habibie, yang kemudian menjadi
presiden ketiga Republik Indonesia.
c.
Peranan Lembaga Pendidikan Islam
dalam Pembangunan
Lembaga
pendidikan Islam adalah badan yang berhubungan dengan pendidikan Islam untuk
memenuhi kebutuhan umatnya di bidang pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan
Islam di Indonesia ada yang didirikan dan dikelola langsung oleh pemerintah
(Departemen Agama), seperti: Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah
Tsanawiyah Negeri (MTsN), Madrasah Aliyah Negeri (MAN), dan Institut Agama
Islam Negeri (IAIN). IAIN sekarang berubah menjadi UIN (Unversitas Islam
Negeri) yang tidak hanya mendalami ilmu tentang keislaman, seperti Fakultas
Syariah dan Ushuluddin, tetapi juga mendalami ilmu pengetahuan umum, seperti
Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran. Adapun peranan-peranan kelembagaan
Islam dalam pembangunan antara lain:
1)
Melakukan usaha-usaha agar
masyarakat Indonesia bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
2)
Menumbuhkan kesadaran berbangsa dan
bernegara.
3)
Memupuk persatuan dan kesatuan
umat.
4)
Mencerdaskan bangsa Indonesia.
5)
Mengadakan pembinaan mental
spiritual.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar