SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
A.
PENGERTIAN
SUMBER HUKUM ISLAM
Kata-kata sumber dalam hukum Islam
merupakan terjemah dari kata mashadir yang berarti wadah ditemukannya dan
ditimbanya norma hukum. Sumber hukum Islam yang utama adalah Al Qur’an dan
sunah. Selain menggunakan kata sumber, juga digunakan kata dalil yang berarti
keterangan yang dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran. Selain itu,
ijtihad, ijma’, dan qiyas juga merupakan sumber hukum karena sebagai alat bantu
untuk sampai kepada hukum-hukum yang dikandung oleh Al Qur’an dan sunah
Rasulullah SAW.
Secara sederhana hukum adalah
“seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok
masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu;
berlaku mengikat, untuk seluruh anggotanya”. Bila definisi ini dikaitkan dengan
Islam atau syara’ maka hukum Islam berarti: “seperangkat peraturan bedasarkan
wahyu Allah SWT dan sunah Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia yang
dikenai hukum (mukallaf) yang diakui dan diyakini mengikat semua yang beragama Islam”.
Maksud kata “seperangkat peraturan” disini adalah peraturan yang dirumuskan
secara rinci dan mempunyai kekuatan yang mengikat, baik di dunia maupun di
akhirat.
B.
MACAM-MACAM
SUMBERHUKUM ISLAM
1.
Al Qur’an
a.
Pengertian Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari
Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al
Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum
Islam yang utama. Setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh kepada
hukum-hukum yang terdapat di dalamnya agar menjadi manusia yang taat kepada
Allah SWT, yaitu menngikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnannya.
Al Qur’an memuat berbagai pedoman
dasar bagi kehidupan umat manusia.
1)
Tuntunan yang berkaitan dengan
keimanan/akidah, yaitu ketetapan yantg berkaitan dengan iman kepada Allah SWT,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, serta qadha dan qadar.
2)
Tuntunan yang berkaitan dengan
akhlak, yaitu ajaran agar orang muslim memilki budi pekerti yang baik serta
etika kehidupan.
3)
Tuntunan yang berkaitan dengan
ibadah, yakni shalat, puasa, zakat dan haji.
4)
Tuntunan yang berkaitan dengan amal
perbuatan manusia dalam masyarakat.
b.
Isi kandungan Al Qur’an
Isi kandungan Al Qur’an dilihat
dari segi kuantitas dan kualitas:
1)
Segi Kuantitas
Al Quran terdiri dari 30 Juz, 114
surat, 6.236 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata.
2)
Segi Kualitas
Isi pokok Al Qur’an (ditinjau dari
segi hukum) terbagi menjadi 3 (tiga) bagian:
a)
Hukum yang berkaitan dengan ibadah:
hukum yang mengatur hubungan rohaniyah dengan Allah SWT dan hal – hal lain yang
berkaitan dengan keimanan. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid atau
Ilmu Kalam.
b)
Hukum yang berhubungan dengan
Amaliyah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar.
Hukum ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut hukum syariat. Ilmu yang
mempelajarinya disebut Ilmu Fiqih.
c)
Hukum yang berkaitan dngan akhlak.
Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat – sifat mulia sekaligus
menjauhi perilaku – perilaku tercela.
Bila ditinjau dari Hukum Syara
terbagi menjadi dua kelompok:
a)
Hukum yang berkaitan dengan amal
ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan sebagainya yang
berkaitan dengan hubungan manusia dengan tuhannya.
b)
Hukum yang berkaitan dengan amal
kemasyarakatan (muamalah) seperti perjanjian perjanjian, hukuman (pidana),
perekonomian, pendidikan, perkawinan dan lain sebagainya.
Hukum yang berkaitan dengan
muamalah meliputi:
a)
Hukum yang berkaitan dengan
kehidupan manusia dalam berkeluarga, yaitu perkawinan dan warisan.
b)
Hukum yang berkaitan dengan
perjanjian, yaitu yang berhubungan dengan jual beli (perdagangan),
gadai-menggadai, perkongsian dan lain-lain. Maksud utamanya agar hak setiap
orang dapat terpelihara dengan tertib.
c)
Hukum yang berkaitan dengan gugat
menggugat, yaitu yang berhubungan dengan keputusan, persaksian dan sumpah.
d)
Hukum yang berkaitan dengan
jinayat, yaitu yang berhubungan dengan penetapan hukum atas pelanggaran
pembunuhan dan kriminalitas.
e)
Hukum yang berkaitan dengan
hubungan antar agama, yaitu hubungan antar kekuasan Islam dengan non-Islam
sehingga tercpai kedamaian dan kesejahteraan.
f)
Hukum yang berkaitan dengan batasan
pemilikan harta benda, seperti zakat, infaq dan sedekah.
Ketetapan hukum yang terdapat dalam
Al Qur’an ada yang rinci dan ada yang garis besar. Ayat ahkam (hukum) yang
rinci umumnya berhubungan dengan masalah ibadah, kekeluargaan dan warisan. Pada
bagian ini banyak hukum bersifat ta’abud (dalam rangka ibadah kepada Allah
SWT), namun tidak tertutup peluang bagi akal untuk memahaminya sesuai dengan
perubahan zaman. Sedangkan ayat ahkam (hukum) yang bersifat garis besar,
umumnya berkaitan dengan muamalah, seperti perekonomian, ketata negaraan,
undang-undang sebagainya. Ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan masalah ini
hanya berupa kaidah-kaidah umum, bahkan seringkali hanya disebutkan
nilai-nilainya, agar dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
Selain ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan hukum, ada juga yang berkaitan dengan masalah dakwah, nasehat, tamsil, kisah sejarah dan lain-lainnya. Ayat yang berkaitan dengan masalah-masalah tersebut jumlahnya banyak sekali.
2.
Hadits
Hadits merupakan segala tingkah
laku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan
(taqrir). Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an.
Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan
yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan
firman Allah SWT:
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ
فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ ٧
Artinya: “ … Apa yang diberikan
Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah, …” (QS Al Hasyr: 7)
Perintah meneladani Rasulullah SAW
ini disebabkan seluruh perilaku Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur
dan merupakan cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka
akan mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah SAW
memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai sumber hukum
Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW: yang artinya: “Aku
tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak akan sesat selama kalian
berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunah rasulnya”. (HR
Imam Malik)
Hadits merupakan sumber hukum Islam
yang kedua memilki fungsi sebagai berikut:
a.
Memperkuat hukum-hukum yang telah
ditentukan oleh Al Qur’an, sehingga kedunya (Al Qur’an dan Hadits) menjadi
sumber hukum untuk satu hal yang sama. Misalnya Allah SWT didalam Al Qur’an
menegaskan untuk menjauhi perkataan dusta, sebagaimana ditetapkan dalam
firmannya:
وَٱجۡتَنِبُواْ
قَوۡلَ ٱلزُّورِ ٣٠
Artinya:
“…Jauhilah perbuatan dusta…” (QS Al Hajj: 30)
Ayat diatas juga diperkuat oleh
hadits-hadits yang juga berisi larangan berdusta.
b.
Memberikan rincian dan penjelasan
terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat umum. Misalnya, ayat Al Qur’an
yang memerintahkan shalat, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya
bersifat garis besar. Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana
cara melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak memarkan
cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah dijelaskan oelh rasullah
SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al Qur’an Allah SWT mengharamkan
bangkai, darah dan daging babi. Firman Allah sebagai berikut:
حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ
وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ ٣
Artinya: “Diharamkan bagimu bangkai, darah,dan daging babi…” (QS Al Maidah: 3)
Dalam ayat tersebut, bangkai itu
haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana yang boleh dimakan.
Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa ada bangkai yang boleh dimakan,
yakni bangkai ikan dan belalang. Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Dihalalkan
bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai
adalah ikan dan belalalng, sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…”
(HR Ibnu Majjah)
c.
Menetapkan hukum atau aturan-aturan
yang tidak didapati dalam Al Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang
dijilat anjing, dengan membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan
tanah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Mennyucikan bejanamu
yang dijilat anjing adlah dengan cara membasuh sebanyak tujuh kali salah
satunya dicampur dengan tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)
Hadits menurut sifatnya mempunyai
klasifikasi sebagai berikut:
a.
Hadits Shohih, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak
ber illat, dan tidak janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit
yang samar-samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits.
b.
Hadits Hasan, adalah hadits yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil, tapi tidak begitu kuat ingatannya
(hafalannya), bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illat dan kejanggalan
pada matannya. Hadits Hasan termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah
untuk sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting.
c.
Hadits Dhoif, adalah hadits yang
kehilangan satu syarat atau lebih syarat-syarat hadits shohih atau hadits
hasan. Hadits dhoif banyak macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu
sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadits shohih atau
hasan yang tidak dipenuhi.
Adapun syarat-syarat suatu hadits
dikatakan hadits yang shohih, yaitu:
a.
Rawinya bersifat adil
b.
Sempurna ingatan
c.
Sanadnya tidak terputus
d.
Hadits itu tidak berilat, dan
e.
Hadits itu tidak janggal
3.
Ijtihad
Ijtihad ialah
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkan suatu masalah yang tidak ada
ketetapannya, baik dalam Al Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal
pikiran yang sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan
hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan sumber hukum yang
ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi Muhammad SAW dengan sahabat yang
bernama muadz bin jabal, ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW,
bertanya kepada Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan
pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz menjawab, “Saya akan
menetapkan hukumdengan Al Qur’an, Rasul bertanya lagi, “Seandainya tidak
ditemukan ketetapannya di dalam Al Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan
dengan Hadits”. Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan
ketetapannya dalam Al Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad
dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-nepukkan bahu
Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz ini menajdikan ijtihad sebagai
dalil dalam menetapkan hukum Islam setelah Al Qur’an dan hadits.
Untuk
melakukan ijtihad (mujtahid) harus memenuhi bebrapa syarat berikut ini:
a.
mengetahui isi Al Qur’an dan
Hadits, terutama yang bersangkutan dengan hukum.
b.
memahami bahasa arab dengan segala
kelengkapannya untuk menafsirkan Al Qur’an dan hadits.
c.
mengetahui soal-soal ijma.
d.
menguasai ilmu ushul fiqih dan
kaidah-kaidah fiqih yang luas.
Islam
menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan
sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah
SAW bersabda yang artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara
melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua
pahala dan apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia melakukan ijtihad
dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Islam bukan
saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai hasil ijtihad, tetapi juga
menegaskan bahwa adanya beda pendapat tersebut justru akan membawa rahmat dan
kelapangan bagi umat manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabdayang artinya:
”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa rahmat” (HR Nashr Al
muqaddas).
Dalam
berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan qiyas. Ijma’ adalah
kese[akatan dari seluruh imam mujtahid dan orang-orang muslim pada suatu masa
dari beberapa masa setelah wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’
diperbolehkan, bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah
SWT:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ ٥٩
Artinya: “Hai orang-oran yang
beriman, taatilah Allah dan rasuknya dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa:
59)
Dalam ayat ini
ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai kekuasaan dibidangnya,
seperti pemimpin pemerintahan, termasuk imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’
ulama dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam. Contoh ijam’ ialah
mengumpulkan tulisan wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi
mushaf Al Qur’an, seperti sekarang ini.
Qiyas
(analogi) adalah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan
kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya terdapat persamaan
illat atau sebab-sebabnya. Contohnya, mengharamkan minuman keras, seperti bir
dan wiski. Haramnya minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut
dalam Al Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu
sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan hukmnya dalam Al
Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena mengandung persamaan dengan khamar yang
ada hukumnya dalam Al Qur’an.
Sebelum
mengambil keputusan dengan menggunakan qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun
Qiyas, yaitu:
a.
Dasar (dalil)
b.
Masalah yang akan diqiyaskan
c.
Hukum yang terdapat pada dalil
d.
Kesamaan sebab/alasan antara dalil
dan masalah yang diqiyaskan.
Bentuk Ijtihad
yang lain diantaranya:
a.
Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan
hukum suatu perbuatan yang tidak dijelaskan secara kongret dalam Al Qur’an dan
hadits yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan umum atau unutk
kepentingan keadilan.
b.
Istishab, yaitu meneruskan
berlakunya suatu hukum yang telah ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai
ada dalil lain yang mengubah kedudukan dari hukum tersebut.
c.
Istidlal, yaitu menetapkan suatu
hukum perbuatan yang tidak disebutkan secara kongkret dalam Al Qur’an dan
hadits dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau kebiasaan
masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah hukum-hukum agama yang
diwahyukan sebelum Islam. Adat istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa
diakui atau dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran Al
Qur’an dan hadits.
d.
Maslahah mursalah, ialah maslahah
yang sesuai dengan maksud syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil
secara langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti mengharuskan
seorang tukang mengganti atau membayar kerugian pada pemilik barang, karena
kerusakan diluar kesepakatan yang telah ditetapkan.
e.
Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati
oelh segolongan manusia dalam perkembangan hidupnya.
f.
Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan
yang menjadi jalan untuk mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.
C.
PEMBAGIAN HUKUM DALAM ISLAM
Hukum dalam Islam ada lima yaitu:
1.
Wajib, yaitu perintah yang harus
dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang
mebgerjakannya akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan berdosa.
2.
Sunah, yaitu anjuran. Jika
dikerjakan dapat pahala, jika tidak dikerjakan tidak berdosa
3.
Haram, yaitu larangan keras. Kalau
dikerjakan berdosa jika tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala,
sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW dalam sebuah haditsnya yang
artinya:
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya. Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
4.
Makruh, yaitu larangan yang tidak
keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan
diberi pahala.
5.
Mubah, yaitu sesuatu yang boleh
dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu
juga kalau ditinggalkan.
Sumber:
https://sitinuralfiah.wordpress.com/bahan-ajar-2/sumber-sumber-hukum-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar