TAAT PADA PERATURAN DAN
BERKOMPETISI
DALAM KEBAIKAN
A.
Pentingnya
Taat kepada Aturan
1.
Pengertian
taat pada aturan
Taat memiliki arti tunduk (kepada
Allah Swt., pemerintah, dsb.) tidak berlaku curang, dan atau setia. Aturan
adalah tindakan atau perbuatan yang harus dijalankan. Taat pada aturan adalah
sikap tunduk kepada tindakan atau perbuatan yang telah dibuat baik oleh Allah
Swt., nabi, pemimpin, atau yang lainnya. Di sekolah terdapat aturan, di rumah
terdapat aturan, di lingkungan masyarakat terdapat aturan, di mana saja kita
berada, pasti ada aturannya.[1]
Aturan dibuat tentu saja dengan
maksud agar terjadi ketertiban dan ketenteraman. Mustahil aturan dibuat tanpa
ada tujuan. Oleh karena itu, wajib hukumnya kita menaati aturan yang berlaku.
Aturan yang paling tinggi adalah aturan yang dibuat oleh Allah Swt., yaitu
terdapat pada al-Qur’ān. Sementara di bawahnya ada aturan yang dibuat oleh Nabi
Muhammad saw., yang disebut sunah atau hadis. Di bawahnya lagi ada aturan yang
dibuat oleh pemimpin, baik pemimpin pemerintah, negara, daerah, maupun pemimpin
yang lain, termasuk pemimpin keluarga.[2]
Peranan pemimpin sangatlah penting.
Sebuah institusi, dari terkecil sampai pada suatu negara sebagai institusi
terbesar, tidak akan tercapai kestabilannya tanpa ada pemimpin. Tanpa adanya
seorang pemimpin dalam sebuah negara, tentulah negara tersebut akan menjadi lemah
dan mudah terombang-ambing oleh kekuatan luar. Oleh karena itu, Islam
memerintahkan umatnya untuk taat kepada pemimpin karena dengan ketaatan rakyat
kepada pemimpin (selama tidak maksiat), akan terciptalah keamanan dan
ketertiban serta kemakmuran.[3]
2.
Penjelasan
ayat tentang taat pada aturan
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ
مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن
كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
٥٩
Artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang
kekuasaan)) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisā/4: 59)
Asbābu al-Nuzūl atau sebab turunnya
ayat ini menurut Ibn Abbas adalah berkenaan dengan Abdullah bin Huzaifah bin
Qays as-Samhi ketika Rasulullah saw.
mengangkatnya menjadi pemimpin dalam sariyyah (perang yang tidak diikuti
oleh Rasulullah saw.). As-Sady berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Amr bin Yasir dan Khalid bin Walid ketika keduanya diangkat oleh
Rasulullah saw. sebagai pemimpin dalam sariyah. Q.S. an-Nisā/4: 59
memerintahkan kepada kita untuk menaati perintah Allah Swt., perintah
Rasulullah saw., dan ulil amri. Tentang pengertian ulil amri, di bawah ini ada
beberapa pendapat.[4]
No
|
Nama ulama
|
Pendapatnya
|
1
|
Abu Jafar Muhammad bin Jarir at-Thabari
|
Arti ulil amri adalah umāra, ahlul ‘ilmi wal
fiqh (mereka yang memiliki ilmu dan penge- tahuan akan fiqh). Sebagian ulama
yang lain berpendapat bahwa sahabat-sahabat Rasulullah saw. itulah yang
dimaksud dengan ulil amri.
|
2
|
Al-Mawardi
|
Ada empat pendapat
dalam mengartikan kalimat "ulil amri", yaitu: (1) umāra (para
pemimpin yang konotasinya adalah pemimpin masalah keduniaan), (2) ulama dan
fuqaha, (3) sahabat-sahabat Rasulullah saw., (4) dua sahabat saja, yaitu Abu
Bakar dan Umar.
|
3
|
Ahmad Mustafa al-Maraghi
|
Bahwa ulil amri itu adalah umara, ahli
hikmah, ulama, pemimpin pasukan dan seluruh pe- mimpin lainnya.
|
Kita memang diperintah oleh Allah
Swt. untuk taat kepada ulil amri (apa pun pendapat yang kita pilih tentang
makna ulil amri). Namun, perlu diperhatikan bahwa perintah taat kepada ulil
amri tidak digandengkan dengan kata “taat”; sebagaimana kata “taat” yang
digandengkan dengan Allah Swt. dan rasul-Nya. Quraish Shihab, Mufassir
Indonesia, memberi ulasan yang menarik: “Tidak disebutkannya kata “taat” pada
ulil amri untuk memberi isyarat bahwa ketaatan kepada mereka tidak berdiri
sendiri, tetapi berkaitan atau bersyarat dengan ketaatan kepada Allah Swt. dan
rasul-Nya. Artinya, apabila perintah itu bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
Allah dan rasul-Nya, tidak dibenarkan untuk taat kepada mereka.[5]
Lebih lanjut Rasulullah saw menegaskan dalam hadis berikut ini:
Artinya: “Dari Abi Abdurahman, dari
Ali sesungguhnya Rasulullah bersabda... Tidak boleh taat terhadap perintah
bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal yang
makruf.” (H.R. Muslim)
Umat Islam wajib menaati perintah
Allah Swt. dan rasul-Nya dan diperintahkan pula untuk mengikuti atau menaati
pemimpinnya. Tentu saja, apabila pemimpinnya memerintahkan kepada hal-hal yang
baik. Apabila pemimpin tersebut mengajak kepada kemungkaran, wajib hukumnya
untuk menolak.[6]
B.
Kompetisi Dalam
Kebaikan
1.
Pengertian
kompetisi dalam kebaikan
Hidup adalah
kompetisi. Bukan hanya untuk menjadi yang terbaik, tetapi juga kompetisi untuk
meraih cita-cita yang diinginkan. Namun sayang, banyak orang terjebak pada
kompetisi semu yang hanya memperturutkan syahwat hawa nafsu duniawi dan jauh
dari suasana robbani. Kompetisi harta-kekayaan, kompetisi usaha-pekerjaan,
kompetisi jabatan- kedudukan dan kompetisi lainnya, yang semuanya bak
fatamorgana. Indah menggoda, tetapi sesungguhnya tiada. Itulah kompetisi yang
menipu. Bahkan, hal yang sangat memilukan ialah tak jarang dalam kompetisi
selalu diiringi “suuẓan” buruk sangka, bukan hanya kepada manusia, tetapi juga
kepada Allah Swt. Lebih merugi lagi jika rasa iri dan riya ikut bermain dalam
kompetisi tersebut.[7]
2.
Kompetisi
dalam kebaikan menurut Al-Qur’an
Lalu,
bagaimanakah selayaknya kompetisi bagi orang-orang yang beriman? Allah Swt
telah memberikan pengarahan bahkan penekanan kepada orang-orang beriman untuk
berkompetisi dalam kebaikan sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an yang artinya: “dan bagi tiap-tiap umat
ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah
(dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu”.
Penjelasan
ayat
Dengan
memerhatikan terjemahan lengkap dari surat tersebut dapat diketahui bahwa ayat
tersebut memerintahkan kepada kita umat islam, khususnya untuk selalu
berlomba-lomba dalam kebaikan. Inilah inti perintah ayat Al-Qur’an tersebut.[8]
Di awal ayat,
Allah menegaskan bahwa untuk masing-masing umat atau bangsa, Allah telah
menetapkan kiblat atau arah yang dapat diikuti. Kiblat tersebut juga berupa
sekumpulan ajaran yang dapat dijadikan pedoman dalam rangka beribadah
kepada-Nya. Di ayat lain Allah juga menegaskan bahwa masing-masing umat
diberikan syariat dan tata cara tersendiri dalam rangka beribadah kepada Allah.[9]
Dari sini,
dapat dipahami bahwa Allah memberikan berbagai aturan dan jalan untuk sampai
kepada-Nya. Syariat dan jalan itu diberikan oleh Allah kepada umat manusia
melalui para nabi dan rasul. Syariat dapat berbeda-beda namun memiliki tujuan
yang sama, yakni dalam rangka beribadah kepada Allah.[10]
Seandainya
Allah menghendaki, Allah akan menjadikan allah akan menjadikan umat manusia
menjadi satu umat saja. Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian. Oleh karena
itu, manusia dijadikan berbeda-beda dalam banyak hal termasuk syariatnya.
Dengan perbedaan ini, akan tumbuh gairah untuk melakukan perlombaan dalam
kebaikan. Kita sebagai umat Islam tentunya harus dapat menampilkan diri sebagai
umat yang terbaik. Jangan sampai kita tertinggal oleh umat lain yang malah
tidak memiliki syariat yang jelas dan benar seperti yang kita miliki. Untuk
menjadi terbaik, umat Islam harus benar-benar dapat menampilkan dirinya sebagai
umat yang memiliki aturan-aturan yang terbaik. Hal yang baik inilah yang harus
ditunjukkan oleh umat lain. Perintah berkompetisi dalam kebaikan memberikan
motivasi yang tinggi kepada umat Islam agar menjadi umat yang terbaik.[11]
C.
Hikmah Menjalankan
Perintah Taat pada Peraturan dan Berkompetisi dalam Kebaikan[12]
1.
Berkesempatan untuk menjadi hamba
yang dimuliakan Allah swt
2.
Berpeluang juga menjadi hamba yang
paling terbaik
3.
Berpeluang menjadi hamba yang
paling bermanfaat
4.
Berpeluang untuk menjadi orang yang
paling dicintai Allah
5.
Semua aktifitas bisa berjalan
dengan baik
6.
Menjadi pribadi yang lebih disiplin
7.
Tidak akan terjerumus pada suatu
hal yang mendorong kearah maksiat
Sumber:
1.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XI (Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014).
2.
Suparmin dan Sahitya, Al-Qur’an-Hadis
Madrasah Aliyah (Semarang: Rahma Media Pustaka, Tanpa Tahun).